-->








Tiga Organisasi Kepemudaan Surati Presiden Jokowi Soal Kasus Hukum Tio Achriyat

20 April, 2017, 09.23 WIB Last Updated 2017-04-20T06:23:57Z
IST
BANDA ACEH - Forum Mahasiswa dan Pemuda Untuk Keadilan yang terdiri dari 3 organisasi kepemudaan yakni MeuSeRaYA, GeMAS dan SIMAK melalui Surat Nomor: 001/MeuSeRaYa-SIMAK-GeMaS/IV/2017, mengirimkan Surat Permohonan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Berdasarkan Norma-Norma Hukum
kepada Presiden RI, Joko Widodo.

Selanjutnya, surat tersebut juga dikirimkan kepada Menkumham RI, Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Ketua MA, Ketua Komisi Kejaksaan RI, Ketua Komisi Yudisial RI dan Ketua Komisi I DPR RI.

Surat tersebut sehubungan dengan upaya mendorong terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D ayat 1.

Menurut keterangan Delky Nofrizal Qutni selaku Sekretaris Jenderal Forum Mahasiswa dan Pemuda Selatan Raya Aceh (MeuSeRaYa) bersama Koordinator Solidaritas Independen Mahasiswa Anti Korupsi (SIMAK) dan Koordinator Gerakan Mahasiswa Aceh Selatan (GeMAS), kepada redaksi LintasAtjeh.com, Kamis (20/04/2017), mengatakan bahwa sejak terdakwa (Tio Achriyat) diperiksa sebagai saksi sampai ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Aceh Selatan pada Januari 2016 lalu,  telah menjadi pertanyaan besar di kalangan publk terkait posisi terdakwa ditetapkan sebagai tersangka. 

"Apakah sebagai Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Aceh Selatan atau sebagai anggota tim panitia 9 pengadaan tanah. Jika sebagai panitia 9 tentu ada yang lebih patut lagi yang bertanggung jawab dalam perkara ini," ujarnya.

Apalagi, tegas dia, terdakwa Tio Achriyat pada pengadaan tanah terminal C Labuhanhaji tahap II tahun anggaran 2011 tidak ikut terlibat dan tidak pernah membubuhi tanda tangan persetujuan hasil rapat panitia.

Selanjutnya, kata dia, kami dari elemen mahasiswa dan pemuda wilayah Selatan Aceh sebagai control social manyampaikan penilaian terkait pengadaan tanah pembangunan terminal tipe C Labuhanhaji Aceh Selatan yang saat ini disidangkan pada pengadilan Tipikor Banda Aceh. 

Sebelum perkara ini diputuskan pada tanggal 25 April 2017 mendatang, perlu kami sampaikan sebagai berikut :

1. Perkara pengadaan tanah terminal tipe C Labuhanhaji yang sudah 2 (dua) kali dilakukan P19 dan dikembalikan oleh Jaksa kepada penyidik Polres Aceh Selatan disebabkan  berkas tersebut tidak lengkap antara lain antara lain JPU meminta tersangka lainnya, alat bukti materil atas kerugian negara yg dilakukan oleh tio achriyat (baik alat bukti formil dan materil), mana saksi ahli dan lain-lain. Dari hal tersebut, terlihat adanya indikasi  perkara ini dipaksakan agar naik ke tahap persidangan, sehingga terbukti tidak dapatnya pihak JPU memberikan bukti formil dan materil dalam persidangan.

2. Sesungguhnya dakwaan yang telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tersebut merupakan rumusan dakwaan yang membingungkan, subjek hukum dakwaan yang bersifat tebang pilih, kesalahan dalam mendakwakan Terdakwa (error in persona) serta suatu dakwaan yang nyata-nyata dipaksakan untuk dapat disidangkan ke pengadilan. Jaksa Penuntut Umum harus melihat dan mengkaji lagi dimana letak penyalahgunaan kewenangan yang ada pada Terdakwa, baik selaku anggota Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum maupun sebagai Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Aceh Selatan. Karena, pada faktanya adalah selaku anggota Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Terdakwa telah melaksanakan kewenangan yang ada pada Terdakwa sebagaimana mestinya. Begitu juga selaku kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Aceh Selatan, Terdakwa telah melaksanakan dan menjalankan tugas dan kewenangan yang ada sesuai dengan aturannya. Fakta lainnya adalah proses pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan terminal type C Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan tahun 2010-2011 telah selesai dilaksanakan dan tanah serta bangunan tersebut telah terdaftar sebagai aset daerah dalam hal ini aset Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Aceh Selatan.

3. Adanya indikasi rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi oleh kepolisian mengingat adanya perbedaan pernyataan saksi di persidangan dengan BAP Kepolisian. Salah satunya terbukti dari penegasan wakil ketua tim panitia 9, Nasarurahman menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menyampaikan kesaksian sebagaimana tertulis dalam BAP Kepolisian.

4. Berdasarkan kesaksian sekretaris panitia yang merupakan ex officio kepala BPN dipersidangan menyatakan proses pengadaan tanah tersebut sudah sesuai prosedur bahkan range yang ditetapkan oleh panitia penaksir Rp 45.000 sampai dengan Rp 100.000 dan diputuskan oleh panitia 9 dengan harga Rp.69.000,-. Harga tersebut belum melebihi batas maksimal harga, sehingga secara jelas hal ini tidak dapat dikatakan dugaan kerugian Negara dalam perkara tersebut. Jadi dakwaan yang dituduhkan tersebut tidak sesuai Pasal 2 dan 3 UU Tipikor pasca keputusan MK yang menyatakan harus ada kerugian Negara. Dari sejumlah fakta tersebut sesuai hemat kami sangatlah wajar jika terdakwa Drs. Tio Achriyat dinyatakan tidak bersalah dan tidak melakukan perbuatan melawan hukum serta dibebaskan dari tuduhan tersebut.

5. Berdasarkan keterangan ahli Dr. Syarifuddin Hasyim dalam persidangan mengungkapkan bahwasanya seorang Kepala Dinas mempunyai kewenangan hak Diskresi untuk mempercepat terlaksananya pembangunan untuk kepentingan umum. Menurut Ahli, justru negara akan dirugikan bilamana Terdakwa tidak mempercepat pekerjaan persiapan dikarenakan telah ada dana otonomi khusus untuk pembangunan fisik terminal Type-C Desa Padang Bakau Kecamatan Labuhanhaji Kabupaten Aceh Selatan. Jadi berdasarkan fakta serta alasan ini maka dalil Jaksa Penuntut Umum yang pada intinya terlebih dahulu penandatanganan kontrak sebelum selesai adanya pelepasan hak oleh pemilik tanah sama sekali tidak berdasar dan tidak terbukti di persidangan. Disamping itu, meskipun penandatanganan kontrak proyek fisik tersebut dilakukan pada tanggal 28 Juli 2010, namun pelaksanaan pekerjaan dilakukan pada bulan oktober 2010, setelah dilakukan pemebebasan lahan oleh Pemda Aceh selatan pada bulan September 2010.

6. Hasil audit BPKP nomor SR-3013/PW01/5 / 2015 tanggal 31 Desember 2015 yang menyebutkan bahwa adanya kerugian Negara dari hasil pembelian tanah sebesar sebesar Rp. 582. 162.350,-  tidak dapat dibuktikan di persidangan. Bahkan sekretaris panitia yg ex officio adalah kepala BPN juga menyatakan proses pengadaan tanah tersebut sudah sesuai prosedur bahkan range yang ditetapkan oleh panitia penaksir Rp. 45.000 s/d Rp. 100.000,- lalu berdasarkan musyawarah tim disepakati harga tanah sebesar 69.000,- sudah dibawah harga pasar range harga tanah 45.000 s/d 100.000, harga tersebut belum melebihi batas maksimal harga, Sehingga pertanyaannya dimana letak kerugian Negara. Ironisnya lagi surat yang dihadirkan sebagai bukti dipersidangan tersebut tidak memiliki kop surat dan tidak ditandatangani oleh kepala BPKP Perwakilan, hanya ditandatangani oleh auditor, serta tidak memiliki nomor register. Dimana kita ketahui seharusnya surat-surat penting seperti itu harus dibuat dengan benar, apalagi menyangkut kerugian Negara yang berimplikasi hukum terhadap penentuan nasib seseorang dalam memenuhi rasa keadilan dan kebenaran.

7. Tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada persidangan masih merujuk kepada BAP Kepolisian padahal berdasarkan fakta persidangan, sebanyak 27 saksi yang dihadirkan di persidangan, tidak satu orang saksi pun memberatkan terdakwa, bahkan 7 diantaranya menyatakan mencabut pernyataan pada BAP dalam persidangan. Bahkan di dalam tuntutan JPU masih mengutip kembali pernyataan Sdr. Adam Malik, padahal dalam persidangan Adam Malik telah mencabut pernyataannya pada BAP kepolisian. Hal ini dinilai JPU telah membuat kesalahan dan terkesan panik, sehingga dikhawatirkan akan berimplikasi hukum terhadap terdakwa dan masyarakat lainnya dikemudian hari.

8. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan aparat penegak hukum harus membuktikan adanya kerugian negara sebelum dilakukan penyelidikan perkara korupsi, sebab banyak penyidikan yang sewenang-wenang. Jika dilihat dari berbagai keterangan saksi terutama pihak tim penilaian harga tanah mengatakan bahwa harga yang ditetapkan tersebut telah sesuai penilaian  dan kesepakatan tim. Untuk itu, demi penegakan hukum yang berkeadilan sesuai dengan norma-norma hukum, sebagai elemen sipil kami meminta agar kriminalisasi hukum yang dilakukan terhadap Drs. Tio Achriyat segera dihentikan, mengingat “lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah” karena itu adalah bentuk kezaliman.

Demikian surat dari Solidaritas Independen Mahasiswa Anti Korupsi (SIMAK), GeMAS dan MeuSeRaYa. Surat ini juga ditembuskan ke beberapa pihak antara lain Pengadilan Tipikor Banda Aceh, Pimpinan Redaksi Serambi Indonesia, Pimpinan Redaksi Harian Rakyat Aceh, Pimpinan Redaksi Modus Aceh, Pimpinan Redaksi Media Online dan Arsip.[Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini