-->




Menyikapi Kriminalitas di Aceh

22 Mei, 2017, 07.43 WIB Last Updated 2017-05-22T02:15:26Z
ACEH adalah sebuah provinsi yang berposisi di paling ujung pulau Sumatera yang akrab dikenal dengan sebutan Serambi Mekah sejak 15 Masehi, Tanah Rencong, bahkan negeri syariat islam, yang sampai saat ini masih berpenduduk Islam terbanyak. Perjalanan historis Aceh begitu mengagumkan dengan silih bergantinya pemimpin serta para pemegang kekuasaan yang awalnya dipimpin oleh seorang raja nan bijak,hingga kini dipimpin oleh seorang gubernur yang bergelar dokter (dr) yang berpendidikan tinggi.

Negeri yang kaya raya ini dulunya bernama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), namun kini hanya meninggalkan satu kata yaitu "Aceh". Seiring perkembangan teknologi dan globalisasi, sedikit demi sedikit Aceh sudah berada dibawah naungan teknologi tersebut dan mulai terlihat berkembang, tapi tanpa menyadari,ada suatu hal yang hari ini sudah sangat fatal akibatnya terhadap kehidupan syariatnya Aceh. Ketika kita berfikir sejenak tentang syariat,maka tampaklah bahwa hari ini masyarakat awam Aceh cenderung tak menghiraukan hal itu, krisis moralitas menimpa anak-anak usia sekolahan sampai yang berumur puluhan tahun.

Bila hanya melihat dari kaca mata moralitas, maka Aceh hari ini sudah meninggalkan dan hijrah dari negeri Aceh yang dulunya beragama islam sangat kuat menuju keadaan krisis lemahnya syariat agama. Miris memang, ketika mengetahui banyaknya kriminalitas dan pendangkalan akidah terjadi di Aceh,apakah di Aceh kurang pesantren, ulama atau pendidikan? Apakah pelakunya non-muslim? Dan apakah pemerintahnya kurang menghiraukan hal ini?

Jawabannya semua tidak, kurir ganja dan sabu-sabu ketika tertangkap di wilayah Medan kerap kali itu adalah penduduk Aceh, pemerkosaan yang kerap kita lihat dan kita baca di surat-surat kabar umumnya dilakukan oleh oknum-oknum orang dewasa di luar Aceh, tapi ironisnya masalah pemerkosaan yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu di Kecamatan Sawang, Aceh Utara, justru pelakunya adalah seorang bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan korbannya juga masih dibawah umur. Bahkan banyak pelanggaran hukum lainnya yang sudah tergolong besar telah terjadi di Aceh.

Dua tahun lalu, Aceh pernah dinobatkan sebagai provinsi yang paling rawan tingkat tindak kekerasan seksualnya. Saat itu, menurut data dari Komisi Pemberdayaan Perempuan, tingkat kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 6000 kasus yang sebagian terjadi dalam lingkup intern dan keluarga, dan sebagiannya lagi terjadi dalam pergaulan di lingkungan sosial dan komunitas-komunitas sosial sehari-hari.

Ironisnya lagi, data dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak, Serambi Mekkah masuk di posisi pertama dalam hal melanggar tersebut dengan 147 kasus pelecehan seksual yang kemudian disusul oleh Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan yang terakhir Sumatera Selatan.

Sebenarnya krisis dan pelanggaran yang terjadi tersebut, pencegahan yang paling utama adalah dari kehidupan keluarga. Mencegah segala sesuatu yang bersifat kriminal di dalam keluarga, menjaga agar tidak masuknya pengaruh-pengaruh negatif dari luar serta membekali keluarga dengan ilmu agama.

Kemudian barulah guru-guru sekolah yang memperkenalkan bahwa diluar sana banyak pengaruh negatif yang akan terjangkit pada kehidupan kita bila kita tidak tahu cara menyikapinya dengan baik. NAPZA, HIV, AIDS, itulah yang harus dipahami sekarang, bukan hanya sekedar lepas landas tanpa saling menegur dalam keluaraga.

Karena ini menyangkut permasalahan moral, syariat, akidah, dan akhlaq. Maka sebenarnya perlu tindak tegas dari pihak pemerintah dan ulama-ulama di Aceh. Kerjasama antara pemerintah dan ulama dinilai mampu menegakkan kembali martabat Aceh, hari ini sebagian muda-mudi Aceh seperti kehilangan agama, mungkin ini tidak hanya di Aceh, di luar Aceh juga terlihat demikian.

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Qanun Aceh tentang pokok-pokok syariat islam, dalam bab 1 pasal (1) pada nomor 11 di jelaskan bahwa "Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh adalah majelis yang anggotanya terdiri dari para ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja pemerintah Aceh dan DPRA". Maka dari sini dinilai perlu peranan besar dari pemerintah dan ulama di Aceh.

Untuk itu, pendidikan karakter berwawasan islami sejak dini harus diterapkan dan dijalankan semaksimal mungkin untuk melatih generasi-generasi gemilang Aceh kedepannya yang bermoral,berintelektual tinggi dan religius, juga dinilai perlu untuk mencetak kader-kader pemimpin muda sejak dini untuk menghadapi tantangan yng kian memanas dari teknologi dan globalisasi.

Aceh sebagai salah satu daerah khusus harus mampu mencegah berbagai masalah yang merusak akidah, itikad, dan agama demi menjaga dan keislaman yang telah dianut oleh umumnya masyarakat Aceh tidak amburadul di tengah perkembangan global ini.

Penulis: Derry Ichsan (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP Universitas Malikussaleh Lhokseumawe)
Komentar

Tampilkan

Terkini