-->




Contoh Buruk 'Djarot' dalam Demokrasi Indonesia

17 Oktober, 2017, 13.47 WIB Last Updated 2017-10-17T06:47:34Z
Foto: Kompas
PESTA demokrasi lima tahunan di DKI Jakarta telah selesai sejak beberapa bulan yang lalu, dan kemarin adalah hari dimana dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Jokowi. Namun ada sesuatu yang begitu kurang elok dan sedap untuk pertontonkan kehadapan publik, yaitu "Ketidakhadiran incumbent Gubernur Djarot dalam acara pelantikan maupun serah terima jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno".

Secara pribadi saya berfikir sangatlah menyayangkan ternyata Pak Djarot tidak bisa menghadiri acara pelantikan, dan serah terima jabatan dengan alasan berlibur ke suatu tempat, dan membuat statement; "Bahwa tidak ada kewajiban dalam konstitusi yang meminta beliau hadir dalam acara pelantikan dan serah terima jabatan Gubernur DKI Jakarta", yang berlangsung kemarin sore.

Kemudian timbul banyak spekulasi yang berkembang di masyarakat luas, kalau ternyata Pak Djarot belum bisa menerima kekalahan dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta yang dilangsungkan beberapa waktu yang lalu, dan ada anggapan di masyarakat bahwa yang bersangkutan,"gagal move on, mengutip banyaknya praduga seperti itu dipelbagai macam sosial media yang saya temui".

Sebenarnya dalam pesta demokrasi kita bisa melihat dua kubu yang berbeda saling bersaing untuk merebut simpati publik, kemudian salah satu kubu menjadi pemenang dalam kontestasi pertarungan politik dalam negara demokrasi. "Jika sudah ada kubu yang dinyatakan sebagai pemenang, maka seharusnya kubu yang menjadi pesaingnya harus menghormati kandidat  pemenangnya", dan yang menang juga tidak boleh bersikap jumawa terhadap kubu yang kalah dalam kontestasi politik.

Kalah dan menang dalam sebuah kontestasi politik ataupun dalam suatu pertandingan itu adalah hal yang wajar saja. Baik itu dalam bermain, olahraga atau dalam hal yang lainnya. "Tapi, dalam kontestasi politik seharusnya seorang pemimpin selayaknya menunjukkan perlunya pembelajaran politik dan demokrasi yang baik dalam berbangsa dan bernegara, terutama tentang inti  dari semangat dalam demokrasi yang mendasarinya, yaitu sikap sportif".

Sikap sportif sebenarnya tidak hanya kita jumpai dalam dunia olahraga saja. "Bahkan menurut saya, semua hal yang mengandung unsur kompetisi dan persaingan, seperti dalam kontestasi pilkada, juga memerlukan sikap sportif". Karena di dalam demokrasi, sebetulnya tidak lepas dari hal persaingan ataupun kompetisi antar para politisi yang ingin merebut hati rakyat untuk memimpin suatu daerah dan wilayah ataupun sebuah negara.

Jadi, sebelumnya mari kita mengenal apa yang dimaksud dengan sikap sportif itu. "Mudah-mudahan sikap sportif  adalah sikap yang mengutamakan kejujuran dalam hati dan fikiran yang bersih serta menjunjung tinggi sikap seperti layaknya seorang ksatria. Lalu bagaimana hal tersebut bisa kita terapkan dalam persaingan didalam demokrasi kita saat ini?

Dalam demokrasi selayaknya pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu membangun sikap sportifitas ketika berada di pihak yang kalah? Selayaknya dapat berbesar hati dan menerima kekalahan tersebut, sambil tetap mengingat untuk mengejar kekalahan tersebut dimasa mendatang. Ada adigium di masyarakat yang menyatakan "kalah hanyalah kemenangan yang tertunda".  Jadi sebaiknya seorang pemimpin yang berjiwa ksatria tidak perlu merusak sikap tersebut dengan membuat retorika ataupun alasan yang bermacam-macam dengan tidak mau hadir dalam agenda serah terima jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Tentunya rakyat akan melihat suasana yang akan menjadi jauh lebih baik dan kondusif jika para pemimpin di negeri ini bisa saling memberikan ucapan selamat dalam menjalankan tugas, "tentunya hal tersebut haruslah dilakukan dengan hati yang tulus, ikhlas dan bersih". Sementara, pihak yang menangpun dapat merayakan kemenangan dengan wajar, serta tidak menghina pihak yang kalah dengan kata-kata yang kurang pantas.

Sikap sportif atau fair play dalam berpolitik, sesungguhnya adalah kebesaran hati terhadap lawan yang menimbulkan suatu hubungan kemanusian yang akrab dan hangat dan mesra. Sportif atau fair play dalam berpolitik, merupakan kesadaran yang seharusnya selalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh etika politik. "Jadi sikap sportif atau fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria dalam berpolitik". Nilai sportif tersebut melandasi pembentukan sikap, dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku politik. Sebagai sebuah konsep moral sportifitas berisi penghargaan terhadap lawan serta harga diri yang berkaitan antara kedua belah pihak yang memandang lawannya adalah sebagai mitranya dalam berpolitik.

Sebetulnya tidak begitu sulit untuk memahami persoalan sportifitas, mengingat demokrasi itu sendiri memang menekankan pada kompetisi. Jika ada kompetisi, maka sikap sportif patut dijunjung tinggi sebagai sebuah etika. "Salah satu ciri bahwa ada sikap sportif dalam diri kita adalah mengakui prestasi orang lain". Sekalipun orang lain itu adalah lawan dalam pertandingan. Sikap seperti itu agak sulit diterapkan, mengingat akan terkait langsung dengan emosi seseorang.

"Sikap sportif adalah sikap kesatria yang mau menerima kekalahan dan mau mengakui keunggulan dari lawan dan juga menghormatinya". Sportif bukan berarti kalah, karena sportif juga mengandung arti adalah sikap ksatria yang menerima kekalahan, namun mau menghargai dan menghormati, serta mengakui keunggulan dan kemenangan lawan.

Dari uraian singkat diatas sebenarnya dapat disimpulkan bahwa sikap sportifitas dalam demokrasi, adalah bertujuan untuk mengedukasi masyarakat menjadi lebih baik dalam berdemokrasi karena sikap tersebut  sangat diperlukan, guna menciptakan suasana yang lebih sehat ataupun situasi yang berjiwa fair, sportif dan menjadi contoh demokrasi yang baik bagi masyarakat dimasa mendatang. Jika hal ini tidak dihiraukan oleh para pemimpin dinegeri ini, maka bangsa ini hanya akan menciptakan pemimpin-pemimpin berjiwa kerdil dan bukan pemimpin yang berjiwa negarawan.

Dengan jiwa sportifitas maka demokrasi di negeri ini semakin berkwalitas dan kompetitif serta akan meningkatkan kedewasaan dalam berdemokrasi di tengah masyarakat kita. Untuk itu sebagai seorang pemimpin yang baik seharusnya memiliki tanggung jawab kepada khalayak luas untuk mengedukasi masyarakat agar bisa berfikir besar dan berjiwa besar dalam berdemokrasi.

Seluruh pemimpin di negeri ini secara khusus memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanggungjawab kepada rakyat itu bukan sekedar membuat retorika politik atau membuat pelbagai macam alasan saja, melainkan proses dalam membiasakan, memberikan pelajaran untuk melatih masyarakat untuk dapat berjiwa besar, akan lebih baik jika diawali sejak dini. Terutama membina dan melatih mental masyarakat dan para calon pemimpin untuk tunduk dan patuh terhadap etika ataupun norma dalam politik. Agar masyarakat lebih dewasa dalam memahami makna berpolitik dan proses politik tersebut, yang pada akhirnya dapat  menghasilkan banyak negarawan di negeri ini.

Contohlah Pilpres 2014 sebagai demokrasi yang paling baik karena ada proses pembelajaran yang baik bagi masyarakat dengan hadirnya seorang negarawan sejati yaitu Prabowo Subiyanto yang menerima kekalahan dengan bijak, meskipun proses politiknya mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan meninggalkan banyak pertanyaan dari publik.

Sebagai pesan penutup, di era demokrasi digital yang begitu maju seperti saat ini, selayaknya publik diberikan pemahaman demokrasi yang baik karena pada akhirnya publik yang begitu cerdas akan menilai sendiri, bahwa ketidakhadiran Pak Djarot dalam pelantikan Anies-Sandi adalah contoh buruk dalam demokrasi, yang tidak perlu diikuti oleh para pemimpin lainnya di negeri ini. Dan pada akhirnya rakyat dengan sendirinya tersadar dan mengetahui, mana partai politik yang melahirkan negarawan sejati, dan mana partai politik yang hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin bohong penuh retorika kepalsuan di republik tercinta ini.

Wauwlahul Muafiq illa Aqwa Mithariq, Wassalamuallaikum Wr, Wb.

Penulis: Pradipa Yoedhanegara (Pengamat Sosial)
Komentar

Tampilkan

Terkini