-->








Hymne Aceh, DPRA Dinilai Memecah Belah Kerukunan Suku

13 Desember, 2017, 10.46 WIB Last Updated 2017-12-13T03:52:09Z
BANDA ACEH - Pasca penetapan hasil sayembara Hymne Aceh oleh DPRA beberapa hari yang lalu justru menimbulkan banyak pro kontra. Hal ini juga menuai kritikan dari berbagai kalangan pemuda, mahasiswa dan lembaga- lembaga kemasyarakatan. 

Musthofa Kamil Broeh, S. Sos, selaku mahasiswa, juga aktivis Himpunan Mahasiswa Islam HMI, dan Tokoh Pemuda Aceh Tenggara, mengkritisi Ketua DPRA, Tgk. Muharuddin yang akhirnya resmi menandatangani penetapan hasil sayembara Hymne Aceh dengan pemenang Mahrisal Rubi dengan judul karyanya Aceh Mulia, yang menggunakan lirik dengan bahasa suku 'Aceh' sendiri. 

Menurut Musthofa, memang tercantum beberapa elemen secara simbolik dari titisan MoU Helsinki, di Finlandia antara GAM dan Pemerintahan Indonesia tersebut, yang telah tertuang dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA, yaitu bendera, lambang dan hymne. Hal ini sebagai sarana untuk merepresentasikan keistimewaan dan kekhususan Aceh, sebagaimana dijelaskan secara ekplisit dalam UU tersebut. 

Tetapi menurut saya, dari elemen-elemen tersebut secara simbolik, ini tentunya tidak diperuntukkan sebagai instrumen untuk unjuk kedaulatan daerah Aceh. Aceh sendiri sebagai provinsi yang dihuni oleh beragam masyarakat yang berlatar belakangi berbagai etnis serta bahasa yang berbeda.

Nah kebijakan yang diambil oleh pihak DPRA tersebut terkait hymne Aceh yang menggunakan lirik bahasa suku Aceh sendiri, adalah merupakan kebijakan yang tidak bisa secara kompleksitas dan komprehensif, dengan hegemonisme yang di inginkan secara signifikan terhadap keberagaman etnis masyarakat Aceh saat ini yang mana notabene adalah jumlah etnis Aceh merupakan mayoritas. 

"Namun tentu tidak bisa secara serta-merta menjadikan bahasa suku Aceh sebagai bahasa pilihan dalam menetapkan lirik hymne tersebut tanpa mempertimbangkan bahasa suku lainnya di Aceh," ungkapnya.

Terkecuali ada alasan kuat dan dapat diterima secara rasional, tentu untuk menjustifikasi alasan pemilihan tersebut secara konstitusional dan juga harus proporsional. Menurut saya, hal ini hanya akan berpotensi besar memicu terjadi konflik antar kultur di Aceh. 

Menurut saya, perilaku regulasi yang semestinya menjadi tanggungjawab bersama untuk menjaga etnis minoritas tidak dianggap lagi sebagai entitas minoritas hanya karena kapasitas. Tetapi seharusnya sebagai negara kesatuan yang memegang teguh Kebhinekaan NKRI bisa dipandang sebagai unit-unit kebudayaan yang setara karena etnis merupakan entitas utuh sebuah budaya dan integritas bangsa ini. 

"Kita seharusnya sebagai etnis minoritas berharap amanah UUPA dan MoU Helsinki dapat menjadi sebuah qanun untuk perekat semua elemen suku agama dan bangsa yang ada di Aceh, melalui pilihan bahasa yang tepat dalam gubahan hymne ini. Bukan hanya sekedar berorientasi keuntungan bagi sekelompok saja," tegas Mustafa Kamil Broeh, S.Sos. 

"Jika hal ini terus dipertahankan oleh pemerintah Aceh, tidak menutup kemungkinan akan berpotensi besar akan terjadi perpecahan. Mungkin ALA ABAS salah satu solusinya demikian suku-suku lainnya yang mendapat perlakuan diskriminasi. Harapan kami selaku pemuda kepada pemerintah Aceh harus mempertimbangkan keputusan ini sehinga tidak ada yang merasa didiskriminasi juga menjaga toleransi dan persatuan etnis-etnis di Aceh," demikian pinta Musthofa Kamil Broeh, S.Sos.[Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini