-->


Mengembalikan Peradaban Aceh di Warung Kopi?

14 Februari, 2018, 22.12 WIB Last Updated 2018-02-14T17:50:47Z
ACEH, sebuah Wilayah yang terletak di ujung utara pulau Sumatera, berbatasan langsung dengan selat Hindia dan lintas perdagangan selat Malaka. Awal Abad ke-17 merupakan masa-masa kejayaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Kemakmuran alamnya dapat mensejahterakan 5 juta penduduk negeri. Kopi adalah satu dari sejuta kekayaan alam yang ada, maka sangat lazim jika di Aceh bertebaran warung kopi ke setiap pelosok negeri. Warung kopi telah menjadi tempat tongkrongan setiap orang, tidak mengenal orang tua maupun anak muda. Banda Aceh misalnya, ibukota provinsi ini hampir tidak ada sudut kota yang tidak ada warung kopi, mahasiswa menjadikannya sebagai tempat diskusi hingga tempat membuat skripsi. 

Tak terlepas dari masa lalu, warung kopi juga dijadikan sebagai tempat silaturahmi dan bertukar informasi. Orang tua kita dahulu setelah shalat subuh di mesjid selalu singgah di warung kopi sebentar, baru kemudian pulang ke rumah untuk melanjutkan aktivitas lainnya, atau yang shalat subuh di rumah sebelum berangkat ke tempat mereka beraktivitas, mereka singgah di warung kopi dahulu untuk menikmati secangkir kopi dan sedikit kue atau nasi. Hal ini dalam tatanan masyarakat Aceh sering disebut "ie beungeh" (air pagi), baru kemudian pergi ke pekerjaan masing-masing. Ada yang pergi ke kantor, ke kebun, ke sawah atau tempat lainnya.

Mungkin hal inilah yang membuat para orang tua kita dahulu begitu terasa kekompakannya, rasa memiliki sesama masyarakat sangat terlihat. Saat ada anggota masyarakat yang dirawat di rumah sakit misalnya, maka masyarakat desa akan berbondong-bondong berdatangan bahkan mereka menyewa mobil untuk menjenguk kerabatnya tersebut. Pemandangan yang dewasa ini masih terlihat di kampung-kampung mulai lentur dari budaya masyarakat bahkan hampir tidak pernah kita jumpai lagi di kota-kota besar.

Bukankah di kota juga ada warung kopi? Iya, tapi suasananya yang berbeda, warung kopi era milenial ini di design sedemikian rupa dengan berbagai nuansa untuk memikat pengunjungnya. Namun oleh generasi sekarang memanfaatkan warung kopi sebagai tempat untuk menghabiskan waktu luang, sebagai tempat tongkrongan semata dan ditambah sedikit canda tawa. Keakraban hampir tidak kita jumpai lagi di meja-meja warung kopi, mereka asik sendiri dengan kelalaian masing-masing, mulai nge-youtube, mobile legend dan game online lainnya.

Seakan-akan kekosongan waktu kuliah merupakan hal yang paling membosankan, sehingga harus kita lalaikan diri dengan jaringan wifi sambil menikmati hidangan secangkir kopi pancung yang butuh waktu seharian penuh untuk menghabiskannya. Semangat untuk berinovasi sangatlah kurang, semangat untuk menciptakan kreativitas-kreativitas baru sangatlah minim, padahal jika pemuda-pemuda Aceh punya semangat kreativitas dan inovatif dengan kekayaan alam yang melimpah.

Menurut hemat penulis, negara super power yang ada sekarang ini akan tunduk dibawah Aceh. Maka demikian, Mari kita ubah logika berpikir, saat kita melihat warung kopi sebagai tempat tongkrongan atau kelalaian kita jadikan sebagai media diskusi, tempat saling menukar informasi, tempat kita menemukan inspirasi-inspirasi baru untuk bisa kita jadikan sebuah kreativitas dalam masyarakat. Jika hal ini mampu kita lakukan, maka tidak akan mustahil peradaban Aceh akan bisa kita kembalikan melalui warung-warung kopi.

Belajar dari sejarah, Pahlawan Aceh menyusun taktik perang juga dilakukan di warung kopi. Hal ini terbukti dari sepenggal kata-kata terakhir Teuku Umar Johan Pahlawan sebelum beliau Syahid "singeh beungeh tanyoe jeb kupi bak keude Meulaboeh atau ulon akan syahid". Berbeda halnya dengan sekarang, kita menyusun taktik perang di warung kopi untuk memenangkan game online yang kita geluti, bukan untuk memerdekakan diri dari penjajah.

Oleh karena itu, tidak ada yang mustahil jika kita mau melakukannya, ubahlah kebiasaan di Warung kopi saat ini menjadi tabiat yang positif, bukan tempat kelalaian apalagi tempat perzinaan. Insya Allah Aceh akan menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.

Penulis: Rizky Ardial Z (Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP) D-III Perbankan Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini