-->








Adiksi Game, Kenapa Bisa?

02 Mei, 2018, 10.10 WIB Last Updated 2018-05-02T03:10:46Z
IST 
Di zaman globalisasi saat ini, teknologi telah berkembang pesat. Terutama di kalangan ana-anak dan remaja, salah satu yang sangat berkembang saat ini adalah game. Game saat ini dimainkan dengan sangat mudah, hanya membutuhkan hp, pc dan internet, kita bisa langsung mengakses berbagai macam game, baik itu online maupun offline.

Dengan berkembangnya teknologi yang kian pesat membuat game sangat mudah diakses, salah satu penelitian di Amerika juga mengungkapkan bahwa 2/3 dari total semua rumah tangga yang memiliki anak usia sekolah (6-18 tahun) mempunyai komputer di rumahnya dan sekitar 59% diantaranya memanfaatkan untuk bermain game online (Harvien Amellia H 2013).

Nah apa sih yang membuat orang tertarik untuk bermain game? Game sangatlah menarik, di dalam game terdapat berbagai macam hal-hal yang menyerukan, keren, menyenangkan dan berkesan bagi pemainnya. Setiap orang pasti menyukai game, hampir tidak ada orang yang tidak menyukainya.

Orang biasanya bermain game untuk menghilangkan kejenuhan, tetapi ada juga orang yang bermain game terlalu lama hingga lupa dengan dunianya, sehingga berdampak negatif bagi kehidupan. Orang yang terlalu asik bermain game akan mengalami yang namanya kecanduan.

Dari sudut pandang psikologi, adiksi atau kecanduan ini termasuk dalam abnormal dikarenakan berdampak pada kesehatan mereka. Kecanduan game atau game addiction merupakan salah satu bentuk kecanduan yang di sebabkan oleh teknologi internet, orang yang candu akan game cenderung memiliki tingkah laku bergantung yang sangat kuat secara fisik maupun psikologis dalam bermain game online.

Pecandu game tidak bisa lepas dari bermain game dan seiring berjalannya waktu akan terjadi peningkatan frekuensi, durasi atau jumlah dalam melakukan hal tersebut, tanpa memperdulikan konsekuensi negatif yang ada. (LF Nikmah.2015).

Adiksi game ditandai dengan pemain bermain game secara berlebihan seakan-akan tidak ada hal yang ingin dikerjakan selain bermain game dan seolah-olah game ini adalah hidupnya, serta memiliki pengaruh negatif bagi pemainnya (Harvien Amellia H 2013). Hal ini harus sangat diperhatikan, karena jika seseorang telah kecanduan game, untuk menanganinya memerlukan beberapa tahapan sulit.

Maka dari itu game harus sangat diperhatikan, untuk mencegah seseorang kecanduan game kita harus mengetahui apa saja faktor penyebabnya, ada dua faktor yang menyebabkan seseorang bermain game: Faktor Internal Rasa Bosan Ketertarikan dan Faktor Eksternal Stres Komunitas Game (abduljalil.2015)

Kedua faktor tersebut lah yang membuat seseorang bermain game, game tidak selamanya buruk bagi kehidupan kita. Game memiliki berbagai dampak, baik negatif maupun positif.

Berikut adalah dampak dari bermain game:

Douglas A. Gentile, seorang psikolog mengatakan anak akan mengalami dampak negatif yaitu kecanduan, depresi, gelisah, masalah konsentrasi, lupa waktu, rusak mata, menghambur-hamburkan uang dan waktu, sering berbohong dan tertutup dengan lingkungan (aisyachumaira.2012).

Tidak hanya dampak negatif saja, bermain game juga memiliki dampak positif yaitu melatih pikiran dan konsentrasi, mengembangkan kemampuan membaca dan menganalisis, mengurangi stres, kerja sama, dapat menguasai komputer, pandai berbahasa Inggris dan menambah teman serta menghasilkan uang (Yee, N.2005).

Walaupun game memiliki dampak positif bagi kehidupan, kita tidak boleh terlalu lama dalam memainkannya. Game tidak hanya dimainkan oleh kaum adam saja, tetapi kaum hawapun memainkannya. Game sangatlah menarik bagi para peminatnya, merekapun sangat antusias saat memainkan game tersebut.

Bahkan tak jarang ada yang sampai lupa waktu dalam memainkannya. Tak hanya lupa waktu, para maniak game pun tak sungkan mengeluarkan uang demi membeli item yang ada di dalam game, ketika ditanya "mengapa sampai lupa waktu dan rela mengeluarkan uang demi sebuah game?". Mereka pun menjawab "itu kan demi kesenangan dan hiburan semata, apa salahnya".

Memang betul tidak salah bermain game, namun kita harus bisa membagi waktu antara bermain, istirahat, belajar, dan bekerja. Bukan setiap saat bermain game. Bahkan jam tidur malam pun di pakai untuk bermain game.

Adiksi game rupanya telah menjadi perhatian serius para psiokolog dunia. Menurut penelitian para psikolog yang tergabung dalam American Medical Association (AMA), kecanduan game disebabkan oleh pelepasan zat Neurochemical-Dopamine pada otak anak saat memainkan game tersebut.

Pelepasan tersebut menimbulkan perasaan senang dan nyaman. Dalam situasi umum, dopamine bekerja dengan efektif saat seseorang mendengarkan musik harmonis, menikmati makanan yang lezat, dan menonton film favorit.

Professor dari Nottingham Trent University, Inggris menemukan bahwa game perlu mendapat perhatian. 12% dari 7.000 pemain game dapat dipastikan akan kecanduan. Candu tersebut ternyata berdampak serius pada perkembangan anak.

Ada tiga dampak yang di akibatkan oleh kecanduan game menurut WHO (Word Health Organization) yaitu menarik diri dari lingkungan, mudah kehilangan kendali, dan tidak peduli dengan kegiatan lain disekitarnya. (ZiGY, 2016).

Peran orang tua dalam mengawasi dan menjaga si anak merupakan hal terpenting yang harus dilakukan. Hal tersebut tidak lain untuk kebaikan si anak agar tidak terlena dengan game yang membuat mereka lupa waktu, jam tidur yang berkurang karena game , dan yang terburuk adalah menghabiskan uang secara cuma-cuma demi game.

Menurut B. F Skinner dalam Slavin (2006), penggunaan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengendalikan terjadinya perilaku. Konsekuensi yang menyenangkan di sebut penguatan(reinforce) dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut penghukuman (punisher). Dalam hal ini orang tua dapat mengontrol dan mengawasi anaknya dengan memberikan konsekuensi tertentu terhadap sikap dan perilaku si anak, karena konsekuensi tidak menyenangkan dapat mengurangi kebiasaan dari perilaku anak. (abduljalil.2015).

Apabila si anak mengalami adiksi game yang sudah cenderung parah, alangkah baiknya ditangani oleh psikolog/psikiater yang memiliki kompetensi klinis di bidang tersebut.

Penulis: Teuku Hafas Umara (Mahasiswa Psikologi Unsyiah 2017)
Komentar

Tampilkan

Terkini