-->








Pengamat: Komisioner KIP Aceh Wajib Dilantik

29 Juni, 2018, 23.52 WIB Last Updated 2018-06-29T16:52:39Z
BANDA ACEH – Anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang baru saja usai dipilih DPR Aceh seharusnya bisa segera dilantik. Karena merujuk pada pasal 57 UUPA. Dimana, dalam perspektif politik hukumnya pasal tersebut menjelaskan tentang masa kerja dan diperkuat dengan UU Pemilihan Umum.

Hal tersebut disampaikan Pengamat Politik dan Pemilihan Umum, Aryos Novada saat menjadi narasumber pada diskusi publik dengan tema "Mencari Solusi dan Mendorong Penyelesaian Polemik Pelantikan KIP Aceh" yang diselenggarakan Laboratorium Ilmu Politik FSIP Unsyiah-FLSM Aceh di 3 in 1 caffe, Lampineung Banda Aceh, Jumat (29/06 /2018).

“Artinya secara kasus hukum, bahwa posisi komisioner wajib dilantik karena sudah ada penggantinya,” papar Aryos. 

Ia menilai Gubernur Aceh Irwandi Yusuf akan melantik anggota KIP Aceh karena ini merupakan rezimnya Pemerintah Pusat. 

Diakui Aryos, selama ini terjadi tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif. Karenanya, dia mendorong kedua lembaga tersebut membangun komunisi politik yang sinergis.

“Ada solusi lain yang ekstrem, yakni Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Qanun No 6 tahun 2006 karena bertentangan dengan regulasi di atasnya. Lalu ada pula klausul di UUPA yang bisa membatalkan ada aturan Qanun yang bertentangan dengan UU di atasnya. Sekarang tergantung Pemerintah Pusat apakah dapat mencari titik terangnya,” tambah Aryos.

Hal senada diungkap akademisi dari Fakultas Hukum Unsyiah, Zainal Abidin. Dia menilai polemik pelantikan anggota KIP Aceh tidak semestinya terjadi.

Ia juga mengatakan, dari perspektif hukum pelantikan itu kewajiban. Akan tetapi ada pihak yang tidak membaca secara detail dan hati-hati pasal 28 Qanun No 6 tahun 2006 tentang masa kerja KIP Aceh itu.

“Kalau kita baca UU Pemerintahan Aceh sebutannya anggota KIP, masa kerja anggota KIP itu 5 tahun sejak pelantikan, di pasal-pasal berikutnya penyebutan KIP saja," urainya. 

"Kalaulah yang ingin diperpanjang adalah masa jabatan KIP yaitu kelembagaannya, bukan anggota KIP. Di pasal 1 Qanun 2006 itu menyebutkan KIP adalah bahagian KPU,” imbuh Zainal.

Ditambahkan, KIP itu adalah lembaga bukan keanggotaan. Lembaga negara pembantu yang sifatnya independent bukan dipersoalkan keanggotaannya. Kelembagaan itu bukan jabatan-jabatan, maka kalau diterjemahkan sebagai masa jabatan keanggotaan tidak ada kaitannya dalam polemik ini. 

“Kalau mau diperpanjang lembaganya maka diperpanjang juga keanggotaanya. Dulu KIP itu ad-hock, tapi sekarang dia adalah lembaga permanen. Maka yang diperpanjang disini adalah masa kerja anggotanya. Maka tidak ada bertentangan dengan pasal 58, lembaganya sudah panjang, harusnya bunyi pasal 58 itu adalah masa kerja anggota bukan lembaga. KIP itu bagian KPU, bukan anggota KPU, tapi lembaganya, jadi mana anggota dan karena tidak ada subjeknya, maka pasalnya yang salah,” ulasnya lebih mendalam. 

Sementara itu, anggota DPR Aceh, Abdullah Saleh menyatakan, sejak awal pihaknya sudah  melakukan upaya dengan melakukan pertemuan dengan banyak pihak. Diakuinya, pihaknya telah membahas solusi dengan KPU RI.

”Kalau tugas KIP propinsi diambil alih oleh KPU pusat, bisa jadi KIP kabupaten/kota juga menjadi beban KPU nasional. Pengalaman soal pelantikan juga kami sampaikan, dengan berbagai argumen, misalnya pelantikan KIP Aceh Timur, yang tidak mau dilantik oleh bupati Aceh Timur, yang akhirnya dilantik Gubernur Aceh di pendopo Gubernur. Saya sampaikan hal ini kepada KPU agar di komunikasikan dengan kementrian hingga Menkopolhukam,” terangnya. 

Sedangkan, Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdul Gani menyampaikan bahwa dirinya ingin klarifikasi dua hal. Pertama, Gubernur bukan tidak mau melantik tapi menunda pelantikan karena terhalangi Qanun No. 6 Qanun 2006 yang itu turunan atau rahimnya UU Pemerintahan Aceh. 

Kemudian, soal perpanjangan anggota atau lembaga yang tadi ditafsirkan, bukan soal diperpanjang. Dalam konteks mentafsirkan antara pasal 5 Qanun No 6 tahun 2006, turunan UU Pemerintahan Aceh pasal 56, dengan Qanun 53/2008 yang lahir dari pasal 80 UU Pemerintahan Aceh.

“Kepala daerah tidak mau melanggar Qanun, itu alasan diberhentikan kepala daerah. Analisis para pakar mencerahkan tapi tidak mengikat, maka yang diperlukan adalah kekuatan yang mengikat para pihak yang telah menafsirkan macam-macam. Pihak yang dirugikan harus punya legalstanding untuk menjawab dan melepaskan jeratan hukum nantinya,” ungkapnya.[*] 
Komentar

Tampilkan

Terkini