-->




Pengaruh Survey dalam Marketing Politik

05 Juni, 2018, 13.46 WIB Last Updated 2018-06-05T06:50:59Z
MEMASUKI tahun politik, baru-baru ini lembaga-lembaga penyelenggara jajak pendapat (survey) mengeluarkan hasil survey mengenai elektabilitas calon terkuat yang akan menjadi kontestan Pilpres 2019 nantinya. Yang menariknya ada beragam jawaban dan hasil yang berbeda didapatkan dari beberapa lembaga penyelenggara jajak pendapat tersebut seperti Cyrus Network, Polcomm Institute, Lingkaran Survey Indonesia, Indonesian Network Elektion Survei (INES), Indo Barometer dan Populi Center. Perbedaan hasil yang muncul tentunya dapat disebabkan oleh berbagai hal yang terkait dengan aspek akademis maupun praktek politik. 

Bisa jadi disebabkan oleh  pengaruh Hawthorne effect, dimana responden mengalami kebereaksian (reactivity), dengan cara tidak mau mengungkapkan atau berperilaku sewajarnya karena berbagai pertimbangan yang kompleks untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Hasil survey terhadap calon kandidat kuat yang akan maju dalam Pilpres 2019 menjadi batu loncatan bagi sosok figure yang dimaksud untuk dapat meraih dukungan politik.

Namun sejatinya, hasil polling yang memiliki aspek positif tentu menjadi salah satu alat kampanye bagi pihak yang bersangkutan, namun sebaliknya bila tidak menguntungkan tidak akan dihiraukan atau bahkan dibantah oleh pihak yang bersangkutan. Sehingga dalam pendekatan tertentu, sosok figur yang diunggulkan dalam jajak pendapat tentu berpotensi menjadi rujukan bagi sebagian masyarakat yang memiliki hak suara. Meskipun pada dasarnya Pilpres 2019 masih dalam hitungan yang jauh namun perhelatan tersebut tampaknya telah dimulai dari sekarang.

Sehingga jajak pendapat (survey) terhadap calon kandidat kuat yang akan maju dalam Pilpres 2019 menarik untuk menjadi bahan pembentukan opini publik. Oleh karena itu, sangat dimaklumi bila jajak pendapat menjadi salah satu alat dalam kampanye meskipun sosok figur dalam survey belum secara pasti mendeklarasikan untuk maju dalam perhelatan Pilpres 2019.

Namun, dalam hal ini penulis tidak ingin mengkaji hasil yang dipublikasikan dari tiap-tiap lembaga penyelenggara jajak pendapat (survey) tersebut atas hasil yang didapatkannya, melainkan menelaah lebih mendalam secara teoritis terhadap penggunaan media jajak pendapat (survey) dalam marketing politik.

Indonesia merupakan negara yang mengakui kebebasan berpendapat, sehingga salah satu kegiatan yang menjadi daya tarik dalam perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) adalah akitivitas dari berbagai lembaga penyelenggara jajak pendapat (survey) yang ikut menyemarakkan politik lokal dan nasional. Maka bukan suatu hal yang baru bila jajak pendapat mewarnai pemberitaan di media alternative, media informasi, atau pun media massa yang mudah diakses oleh masyarakat.

Akan tetapi muncul berbagai pertanyaan yang bisa kita analisis mengenai seberapat penting penggunaan jajak pendapat (survey) dalam dunia marketing politik? Dan seberapa jauh hasil jajak pendapat (survey) berpengaruh terhadap prilaku pemilih?

Menurut Siregar (1996: 2) Jajak pendapat ditujukan agar mendapatkan gambaran tentang bagaimana sikap dan orientasi khalayak terhadap masalah tertentu, yang diwujudkan secara eksplisit dalam pendapatnya. Pengukuran pendapat khalayak ini biasanya dilakukan oleh lembaga survei, media massa dan entitas politik serta pemasaran, yang secara berkala dan terjadwal  berupaya  mendeteksi pendapat publik.

Pada dasarnya dunia politik di era reformasi belum begitu diwarnai oleh survey opini publik. Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan pola perubahan regulasi peralihan Pemilu dari tertutup hingga langsung maka secara sadar menjadikan peran lembaga survey berperan penting.

Ada beberapa peran lembaga survei dalam proses demokrasi di Indonesia pasca reformasi (Nyarwi Ahmad: 287). Pertama, lembaga survei mampu menjadi referensi dalam melihat peta dinamika pendapat publik terkait dengan persepsi atas isu-isu yang menyangkut kepentingan publik dan kepentingan sosok figur. Sehingga berkembangnya isu-isu tersebut dalam menjadi cermin bagi sosok figur.

Kedua, data yang disediakan oleh lembaga survei juga bisa menjadi referensi terhadap peluang dan kompetisi antar institusi politik dan elit politik/kandidat. Tentunya keberadaan lembaga survey menjadi rujukan bagi sosok figur yang akan menjadi kandidat terkuat untuk maju dalam Pilpres 2019 dapat melihat dan menganalisa kelebihan dan kekurangan dari saingannya secara kontinyu.

Ketiga, data-data survei yang dihadirkan oleh lembaga survei juga bisa menjadi referensi bagi public. Dalam hal ini menjadi rujukan bagi masyarkat untuk dapat menilai sosok figur kandidat atau parpol yang akan maju dalam Pilpres 2019.

Keempat, data survei juga dibutuhkan oleh media dalam mewarnai diskursus politik dan opini publik. Dalam hal ini, media sebagai tempat penyedia informasi dapat memberikan informasi terbaru untuk dapat melihat tingkat persaingan dalam Pilpres 2019 nantinya.

Demikian juga Al Ries dan Laura Ries (2003) dalam bukunya The Fall of Advertising and The Rise of Public Relation mengatakan, membagikan aktivitas public relation kedalam beberapa klasifikasi yaitu manajemen tema, mempengaruhi opini media, berusaha mendapatkan dukungan politik, membangun hubungan yang baik antara para pelaku politik, memberikan perhatian atau suasana positif, memberikan informasi mengenai program politik. 

Dalam hal ini penggunaan jajak pendapat (survey) termasuk dalam hal memaksimalkan aktivitas politik diantaranya yaitu manajemen tema, dalam hal ini survey dijadikan sebagai manajemen tema oleh para lembaga survey guna dapat mempengaruhi opini publik terkait dengan elektabilitas sosok figur yang akan bertarung. Mempengaruhi opini media terkadang survey menjadi salah satu cara tercepat, relatif murah dan akurat untuk mempengaruhi opini publi.

Berusaha mendapatkan dukungan politik, secara pasti penggunaan jajak pendapat dapat dijadikan alat untuk dapat menarik dukungan politik dari masyarakat sebab masyarakat dapat menilai dari hail survey yang dikeluarkan oleh lembaga survey. Memberikan perhatian atau suasana positif tentu hasil survey yang dipublikasi dapat menarik perhatian bagi konsumsi publik pada umumnya sehingga memusatkan pemberitaan media terhadap hasil survey tersebut.

Survey yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey pada dasarnya haruslah bersifat obyektif dan netral. Secara teoritis, menurut Worcester (1981), peranan polling, survei dan taksiran atas pendapat publik bukanlah mengadvokasi kebijakan atau tema atau subyek tertentu. Survey adalah penyedia informasi obyektif sekaligus subyektif yang diperoleh secara sistematis dan obyektif pula, dianalisa dengan kepala dingin, serta disampaikan kepada publik secara merata. Sehingga apabila dilakukan secara benar survey dapat menjadi komponen fundamental bagi demokrasi (Baines, et. al., 2007). 

Namun, dalam survey pra-pemilu seperti yang dilakukan oleh beberapa lembaga belakangan ini terkadang dapat dimanipulasi untuk menaikkan citra kandidat seolah-olah posisinya lebih tinggi dari kandidat lain padahal kenyataannya tidak. Maka dari itu diperlukan beberapa cara untuk dapat menilai apakah survey tersebut sesuai dengan fakta atau tidak.

Pertama, tidak mudah percaya dengan survey yang tidak mengumumkan atau memberitahu 3 hal yaitu bentuk dan pilihan kata dalam pertanyaan survei, cara penarikan sampel dan bagaimana para responden dihubungi atau ditanyai. Kedua, lembaga survei yang kredibel selalu memberitahu berapa jumlah responden mereka (besaran N) dan berapa tingkat kesalahan statistiknya (margin of error).

Ada beberapa cara terbaik agar dapat menilai apakah sebuah survei yang benar atau tidak adalah dengan melakukan audit atas metodologinya. Apakah sampel yang digunakan telah menunjukan representatif? Apakah pertanyaan yang diajukan terhadap responden valid dan tidak bermakna ganda? Apakah pertanyaan yang diajukan telah disusun secara tendensius untuk dapat menggiring jawaban responden? Apakah pengambil data di lapangan benar-benar mewakili responden? Apakah kerangka analisis untuk menafsirkan hasil survei sudah tepat dan benar?

Ringkasnya, ada banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan secara metodologis untuk menguji apakah sebuah survei bersifat manipulatif atau tidak. Namun, hanya para ahli survei dan statistik yang bisa melakukan audit metodologis terhadap survey.

Sehingga dalam hal marketing politik penggunaan jajak pendapat (survey) dapat menjadikan suatu keuntungan bagi kandidat maupun parpol dalam menghadapi perhelatan akbar Pemilu pada 2019 nantinya, sebab dapat mempormosikan sosok figure yang dinginkan oleh masyarakat. Namun, dapat menjadi masalah atau hambatan bagi para kandidat atau parpol dalam menjalankan agenda-agenda yang telah direncanakan.

Bagaimanapun hasil survey itu dipublikasikan, agar dapat mempengaruhi publik. Maka sejatinya survey tersebut tentu juga harus mendapatkan respon atau reaksi dari publik.

Penulis: Muhammad Husaini Dani (Ketua Sekolah Pemimpin Muda Aceh/SPMA FISIP Unsyiah, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsyiah)
Komentar

Tampilkan

Terkini