-->


Eksistensi Tanah dalam Nafas Adat Masyarakat Aceh

04 September, 2021, 22.17 WIB Last Updated 2021-09-04T15:17:55Z
SANDANG, pangan dan papan, merupakan tiga hal yang tumbuh dari tanah. Lebih dari itu, manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Hal tersebut cukup untuk menggambarkan betapa pentingnya tanah bagi umat manusia sejak masa Nabi Adam sampai kini. Begitu pula dengan nilai pentingnya tanah bagi Masyarakat Aceh yang telah mendiami Surga Terpendam di Ujung Sumatera sejak ratusan tahun lamanya.

Eksistensi Masyarakat Aceh dalam sejarah telah berhasil mendapatkan decak kagum dunia dalam mempertahankan tanah Rencong dari Portugis yang menapakkan kekuatannya di Selat Malaka, Kolonialisme Belanda sampai Pendudukan Jepang. Tanah adalah harga diri bagi masyarakat Aceh.

Masyarakat Aceh memiliki karakteristik tersendiri yang telah ada sejak dahulu hingga kini seperti menjalankan sistem pemerintahan menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemakmuran masyarakatnya, serta bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Hal ini tentunya berbeda dengan karakteristik masyarakat di daerah lainnya di Indonesia.

Dalam kehidupan masyarakat adat Aceh mengenal adat tiga jenis status lahan berdasarkan kepemilikannya, yaitu: tanoh dro, tanoh gob, dan tanoh potallah. Tanoh dro merupakan tanah milik yang dikuasai dan dikelola sendiri oleh anggota masyarakat. Tanoh gob merupakan tanah yang dikuasai dan dimiliki serta dikelola oleh orang lain.

Selain tanah milik pribadi atau milik pihak lain disebut tanoh potallah atau tanoh poe teu Allah, yaitu tanah milik Allah. Konsep ini dijadikan dasar terhadap kawasan hutan dan dikenal adanya uteun potallah atau uteun poteu Allah atau Uteun Tuhan. Jadi uteun mukim (Hutan Mukim) merupakan bagian dari uteun Tuhan (Hutan Tuhan) yang diklaim sebagai hutan mukim.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Konsep kepemilikan yang dipahami oleh masyarakat Aceh terhadap status kepemilikan hutan, sehingga dikenal adanya uteun potallah uteun Tuhan. Jadi uteun mukim merupakan bagian dari uteun Tuhan yang diklaim sebagai hutan adat kemukiman. Tanah po teu Allah terdiri dari: pertama Rimba (Bahasa Gayo dan Alas Rimbe), yaitu hutan belantara di pedalaman yang belum diusahakan orang, tempat anak negeri mengambil hasil hutan. Kedua Uteun (Bahasa Gayo Uten), yaitu hutan-hutan tertentu dan pada umumnya telah diberi nama. Ketiga Tamah (Bahasa Gayo dan Alas Tamas), yaitu hutan muda pada tanah yang seringkali dikerjakan untuk ladang dan di atasnya telah tumbuh tunas tunas kayu (tara).

Keempat Padang yaitu padang yang tidak ditumbuhi oleh kayu-kayuan, tetapi kebanyakan ditumbuhi alang-alang atau jenis rumput-rumputan yang belum seluruhnya digarap, dan biasanya berada di sekeliling lingkungan sawah-sawah gampong dan dijadikan tempat hewan-hewan merumput, atau untuk dijadikan kebun, dan kelima Paya atau bueng, yaitu tanah-tanah paya yang juga termasuk hutan rawa (suwa) di daerah-daerah pesisir.

Dalam hal sosial, masyarakat Aceh sebagian penduduknya bercocok tanam padi dan berkebun seperti kelapa, lada, kakao, kopi dan komoditi lainnya yang menjadi suatu kepentingan tersendiri di sejumlah daerah di Aceh. Sistem pertanian dilakukan oleh masyarakat Aceh sebagai bentuk mata pencaharian mereka yang sudah dimulai sejak zaman Pra Islam dan sebelum masuknya Kolonial di daerah Aceh. Namun pada periode 1500-1800 M sebagian besar mata pencaharian masyarakat Aceh bercocok tanam dan juga melakukan perdagangan.

Dalam hukum adat di bidang pertanahan di Aceh juga memiliki karakteristik tersendiri. Istilah Hukum Adat pertamakali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Achehers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”, istilah ini secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan Pemerintah Kolonial tahun 1929.

Di Aceh tanah adat bersifat komunal, yaitu dikuasai oleh pemerintahan mukim. Namun seiring tersingkirnya pemerintahan mukim pada masa Orde baru, tanah adat dikuasai oleh pemerintahan gampông. Seiring waktu dan kebutuhan, terjadi proses dari hak komunal kepada individu-individu yaitu masyarakat setempat. Tanah gampông dan uteun mukim boleh beralih kepada warga gampông dengan hak eksklusif, yakni hak prioritas. Berikutnya, ada hak cah rimba yakni hak membuka/membersihkan hutan. Dilanjutkan dengan hak useuha.

Tanah-tanah yang sama sekali belum pernah dibuka (rimba) yang terdapat di gunung-gunung, masuk dalam daerah Ulubalang atau Mukim yang berdiri sendiri. Ulubalang atau Imeum berdiri sendiri mengatur pemakaiannnya. Barang siapa yang akan membuka tanah atau mengambil hasil hutan, maka harus mendapat izin dari Ulubalang. Tanah-tanah lainnya yang belum dikerjakan yang tidak dimiliki seseorang, termasuk dalam Mukim (bagian dari daerah Ulubalang), atau dalam kampong (Meunasah).

Sedangkan yang masuk kategori Mukim: uteuën, tamah, padang, paja, dan suma’, bilamana tanah itu tidak termasuk dalam lingkungan Gampong. Yang masuk gampong atau Meunasah adalah semua tanah yang belum dikerjakan dalam lingkungan kampong atau meunasah.

Dari segi sejarah, Matangglumpangdua patut dijadikan sebagai contoh dalam bidang pertanahan yang tidak dapat dilepaskan dari apa yang telah diperbuat oleh Ampon Chik Peusangan (Hulubalang dari tahun 1912 hingga 1942). Ampon Chik Peusangan berhasil membangun sektor pertanian melalui pembangunan sejumlah waduk dan jaringan irigasi. Irigasi yang diarsiteki insinyur Belanda di Pante Lhong mampu mengairi persawahan hampir 2000 ha sehingga berdampak pada peningkatan hasil pertanian. Beliau juga menganjurkan rakyatnya untuk secara rutin menjaga dan membersihkan saluran irigasi, dan melarang keras membangun rumah di atas lahan persawahan atau menggantikan sawah untuk dijadikan kebun.

Keberhasilan di sektor pertanian dan perkebunan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Selain itu, Ampon Chik juga berperan dalam memajukan dunia pendidikan dengan mewakafkan sejumlah bidang tanah untuk didirikan perkumpulan dan lembaga pendidikan yang kini telah berkembang menjadi perguruan tinggi dibawah Yayasan Almuslim Peusangan. Beliau juga mewakafkan sebidang tanah untuk lahan pekuburan etnis tionghoa sebagai bukti persahabatan antar etnis.

Sejarah merupakan bentuk kontinuitas yang berawal di masa lalu, berwujud di masa sekarang dan menentukan di masa datang. Dengan mengetahui sejarah berarti telah belajar untuk mencintai identitas negeri sendiri. Aceh dengan segala problematika agrarianya telah mengalami sejarah panjang. Konflik bertahun tahun telah meninggalkan tanah-tanah yang terlantar, dan hutan yang tadinya lebat kini telah gundul oleh tangan tangan yang tidak bertanggungjawab. Padahal sudah sepatutnya kita kembali pada sejarah sebagaimana para pendahulu telah mengatur sistem pertanahan dengan sedemikian rupa di Aceh tanpa mengesampingkan isu-isu terkini perkembangan zaman.

Penulis: Mulkan Kautsar, S.P (Analis Pertanahan Kantor Pertanahan Kab. Aceh Tengah)
Komentar

Tampilkan

Terkini