Banda
Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh meminta pihak-pihak
penegak hukum mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap salah satu hewan satwa
yang dilindungi. Walhi mengklaim, punahnya populasi gajah di Aceh akibat
peningkatan pembangunan diruang lingkup populasi gajah.
Hal ini disampaikan
Idrektur Walhi Aceh Muhammad Nur, 09 September 2014. Muhammad Nur mengatakan,
padahal Indonesia telah memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap
hewan-hewan satwa. Bahkan, peraturan tersebut telah dibentuk sejak 24 tahun
yang lalu. UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijadi dasar hukum untuk
persoalan ini.
"Tetapi kekerasan terhadap hewan dilindungi itu
tetap saja terjadi," kata Muhammad Nur melalui pers rilisnya yang diterima
media ini. Walhi menyatakan, pada tahun 2000 lalu melalui SK Menteri Kehutanan
170 telah menyebutkan status kawasan hutan dengan total luas ± 3.549.813 hektar
untuk Aceh.
Kemudian, pada tahun 2013 pemerintah pusat atas
permintaan pemerintah Aceh juga mengabulkan perubahan hutan Aceh melalui
Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 941/II/2013, Tanggal 23 Desember 2013,
tentang Perubahan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 42.616,
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Seluas ± 130.542 Perubahan Bukan Kawasan Hutan
Menjadi Kawasan Hutan Seluas ± 26.461 hektar.
Dikatakannya, perubahan fungsi hutan yang dilakukan manusia akan
berdampak buruk bagi populasi gajah. Bukan soal besar kecilnya dampak, akan
tetapi secara perlahan jumlah populasi satwa yang dilindungi terancam punah diakibatkan adanya kegiatan berlebihan manusia
dalam kawasan hutan menjadi ancaman terbesar bagi satwa.
Walhi mengklaim hal ini
telah terindikasi di sembilan
kabupaten sebagai pusat populasi Gajah yang memang patut
dijaga. Maka pembangunan apapun yang sudah dirancang dalam Tataruang Aceh
2013-2033 harus menjadi perhatian serius BKSDA dan parapihak mengawal kebijakan
pembangunan.
"Jika tidak, maka Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
akan terus menyampaikan berita duka setiap bulan atau tahunan kepada publik terkait hal yang sama. WALHI Aceh menyayangkan pembunuhan gajah terus dilakukan oleh pihak tertentu,”
jelas Muhammad Nur.
Padahal hutan Aceh
merupakan benteng terakhir bagi satwa gajah Sumatera untuk hidup, akan tetapi jika kegiatan konversi
hutan menjadi lahan bisnis perkebunan maupun pertambangan dan perluasan bisnis
lainya jusru akan menyempitkan ruang bagi gajah dan satwa gajah akan punah puluhan
tahun kedepan.
Oleh karenanya, lanjut dia, pentingnya bagi pemerintah Aceh dan
Sumatera Utara membangun kerjasama dalam mengatasi persoalan ini. Sebagai
provinsi tetangga seperti Sumut idealnya perlu diajak membangun pengelolaan
hutan yang lebih baik dan sinergi pada agenda dalam mengatasi berbagai persoalan
ancaman kepunahan Gajah, jika dibiarkan terus
menerus dapat dipastikan jumlah populasi Gajah akan menurun bahkan
hilang dari Sumatera, pada akhirnya UU
dan kelembagaan bertolak belakang dengan praktek lapangan.
“Kepunahan Gajah satu indikasi perubahan
hutan dalam skala besar atasi prilaku manusia dengan alasan mempercepat
pembangunan jalan yang membelah kawasan konservasi dan hutan lindung,”
jelas dia lagi. Walhi Aceh berharap, semua elemen di Aceh untuk mengawasi kasus
kekerasan yang menimpa populasi gajah. Polisi dan pihak yang bersangkutan juga
diminta untuk mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. (Jamal)