LHOKSEMAWE - Kemelut yang terjadi di DPRK Aceh Utara hampir dua bulan belum ada titik terang diantara sesama fraksi di parlemen. Pasalnya dua fraksi yang berkuasa terkesan memaksa kehendak dalam mengatur Tata Tertib (Tatib) di DPRK Aceh Utara terutama yang berkaitan dengan penentuan pimpinan DPRK.
Dalam membentuk hal pimpinan DPRK, dua fraksi DPRK dominan yaitu Fraksi Partai Aceh dan Fraksi PPP terkesan memaksakan diri untuk tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan membuat aturan adanya pemilihan untuk menentukan Pimpinan.
Hal itu dipaksakan karena dua fraksi lainnya yaitu Fraksi NasDem dan Fraksi Gabungan telah menyatakan memboikot pembahasan tatib.
Seharusnya penyusunan tatib tersebut mengacu kepada PP No 16 Tahun 2010. Untuk komposisi Pimpinan DPRK Aceh Utara yang anggota mencapai 45 orang, seperti disebutkan UU No. 17 tahun 2014 (UU-MD3) dan PP No. 16 Tahun 2010 yaitu terdiri atas satu orang ketua dan tiga orang wakil ketua yang diambil dari anggota DPRK masing masing partai yang mendapat kursi terbanyak secara berurutan di parlemen, kemudian diajukan oleh partai politik untuk disahkan sebagai pimpinan dalam siding paripurna DPRK.
Ketua LSM Laki-45 Aceh Utara, Zulkarnaini, kepada lintasatjeh.com, sabtu (11/10) meminta penyusunan Tatib DPRK Aceh Utara jangan dilakukan seperti tahun 2009, karena periode yang lalu Tatib disusun sebelum PP Nomor 16 tahun 2010 diterbitkan, sehingga pada tahun 2010 DPRK harus segera mengubah Tatib untuk penyesuaian dengan PP No.16 Tahun 2010.
Menurut Pak Zul panggilan akrab Zulkarnaini “jika penyusunan tatib kali ini dipaksakan dengan tanpa mengacu kepada PP No.16 tahun 2010, tertutama berkaitan dengan penentuan Pimpinan DPRK maka apa yang dilakukan oleh DPRK tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu upaya melawan hukum” kalau ada yang mengatakan pembentukan pimpinan DPRK adalah berdasarkan kekhususan Aceh.
Dalam hal ini, Ia mempertanyakan kehususan seperti apa? Sebab menurutnya dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sama sekali tidak menyebut soal penentuan pimpinan DPRK, sehingga penyususunan tatib DPRK harus mengacu pada peraturan lainnya dalam hal ini UU No.17 Tahun 2014 dan PP No.16 Tahun 2010.
Hal senada juga dikatakan oleh Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Rakyat Aceh Membangun (LSM GRAM), Muhammad Azhar Amd menyebutkan bila tatib tersebut dipaksakan maka dikhawatirkan akan menimbulkan gugatan hukum yang tidak kita inginkan di kemudian hari. Hal ini tentu dapat memperburuk citra anggota Dewan dan menghambat pembangunan di Aceh Utara.
Karena itu dia meminta fraksi-fraksi yang ada untuk mematuhi peraturan perundang-undangan. (Zulkarnaini)