-->








Kalau Semua Pakai Nama Asing, Kelak Indonesia Tinggal Nama

14 Maret, 2015, 17.53 WIB Last Updated 2015-03-14T13:23:24Z
Ist
Teman saya, Aries Tanjung, yang pintar menggambar itu mengaku bingung saat menyaksikan salah satu episode tayangan Berpacu dalam Melodi di Net TV. Pasalnya, nama-nama peserta program itu adalah Aurel, Varrel, Axel, dan Salsa. Jika mereka itu orang Jerman, Meksiko, Spanyol, dan Brasil bisalah kita pahami. Namun, persoalannya adalah mereka anak keturunan orang Jember-Malang, Betawi-Jawa, Minang-Bandung, dan Majalengka.


Padahal, nama Aurel jelas mengacu pada nama Aurelia, sebuah nama yang diberikan kepada anak perempuan pada keluarga Latin yang berasal dari kata aereus yang berarti emas. Sementara itu, nama Varrel jelas berasal dari bahasa Sanskrit yang juga variasi dari kata varil (India). Nama Varrel memang cukup populer dan dipakai banyak orang meski berlainan pengucapan. Nama orang yang bunyinya mirip dengan Varrel adalah Varol, Varyl, Verel, Verell, Veril, Verral, Verrall, Verrell, Verrill, Veryl, Viorel, Viorell, Vyrle, Veral, Verall, Verill, Verroll, dan Vyorel.

Adapun nama Axel banyak dipakai oleh bangsa Skandinavia, di dalamnya termasuk orang Islandia, Swedia, Norwegia, Denmark, dan juga nama yang diberikan kepada anak laki-laki di Jerman. Di Perancis, nama ini disematkan kepada perempuan menjadi Axelle, sementara di Denmark dan Norwegia dibaca Aksel.

Sementara itu, untuk Salsa, nama ini langsung mengingatkan kita pada tarian populer yang tumbuh di New York pada pertengahan 1970 dengan pengaruh kental dari Amerika Latin, termasuk Kuba dan Puerto Rico.

Entah kekaguman macam apa yang dimiliki oleh para orangtua yang memberi nama anaknya dengan nama "luar negeri" itu. Bisa jadi, mereka punya alasan keindahan bunyi atau arti. Mungkin juga alasan unik, gampang diingat, atau ikut tren. Entahlah.

Nama adalah tanda, tetenger dalam bahasa Jawa. Nama melekat pada seseorang, bahkan pada sebuah benda, institusi, hingga gagasan, sebagai ciri yang melekat. Di dalam nama, juga ada doa atau pengharapan.

Namun, mengapa mereka menggunakan nama-nama asing? Bukankah nama indah, yang juga bermakna indah, "produk dalam negeri" juga tak ketulungan banyaknya? Ada nama Indah, Slamet, Jaka, Dara, Melati, Bunga, dan seterusnya yang bermakna baik. "Bukankah dengan mereka menggunakan nama-nama dalam negeri, orangtua mereka juga turut menjaga warisan budaya negeri sendiri," ujar kawan yang lain.  

Lho kita ini memang makhluk sejenis rayap, yang hidup dengan memakan rumahnya sendiri, sehingga rumah itu nanti menjadi semacam tumpukan tahi rayap. Budaya, bahasa, dan tradisi kita hancurkan sendiri dengan menukar murah dengan tradisi lain... Jualan rumah di pelosok Depok saja pakai spanduk bahasa Inggris, padahal target pasarnya bukan bule. Di Jalan Bangau, ada namanya Sekolah Arab Al Jabra, iklannya pakai bahasa Inggris. "Nama-nama perumahan juga, residence, Grand Depok City, town house, cleaning service, casa de paso... Nah gitu-gitu kita ini," ujar kawan saya yang bernama Gatot.

Kawan yang lain menyahut, "Masyarakat kita latah dan sok tahu, tetapi sebenarnya bodoh. Memberi nama anak serampangan. Saya hormat kepada keluarga Bali dan Batak yang punya aturan jelas dalam memberi nama anak. Begitu pula Jepang, Korea, Inggris, dan lain-lain. Masyarakat kita memang sok tahu," ungkap kawan bernama Prasetyo.

Bagi sebagian orang, nama memang dipandang sakral. Dalam tradisi Hindu, dikatakan bahwa nama yang diberikan kepada anak harus mempunyai makna dan tujuan yang bisa mengingatkan kepada anak supaya menjadi sesuai dengan nama yang telah diberikan, yakni bahwa apa pun yang kita pikirkan, demikian pula yang diucapkan, dan apa yang kita ucapkan, hendaknya demikian pula yang kita lakukan.

Dalam tradisi Jawa, nama tidak hanya sekadar sebagai tanda pengenal saja, tetapi juga mengandung arti tertentu agar si pemilik nama selamat sentosa dalam menjalani kehidupannya. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, pemberian nama yang tidak tepat kepada seorang anak akan mengakibatkan anak yang bersangkutan selalu sakit atau bernasib sial. Pemberian nama pada masyarakat Jawa umumnya bertepatan dengan upacara selamatan sepasaran si anak yang baru dilahirkan. Pemberian tersebut dapat dilakukan oleh ayah, ibu, nenek, atau boleh juga orang lain (misalnya kiai, dukun bayi, atau lurah) dengan persetujuan orangtua si bayi.

Adapun dasar-dasar yang dipakai dalam pemberian nama bagi orang Jawa adalah hari kelahiran, bulan kelahiran, neptu, nomor urut anak dalam keluarga, harapan atau cita-cita orangtua, peristiwa penting, pewayangan, gabungan ayah dan ibu, dan lain-lain.

Orang Jawa menganggap bahwa hari kelahiran (weton) merupakan peristiwa penting yang tidak boleh dilupakan sepanjang hidup. Menurut kepercayaan orang Jawa, weton dianggap dapat menentukan nasib seseorang dalam segala hal. Salah satu jalan untuk selalu mengingatnya ialah hari kelahiran itu dipakai sebagai dasar untuk memberi nama bayi yang bersangkutan.

Saniman, Saniah, diberikan kepada anak yang lahir pada hari Senin. Lasa, Lasiman, Lasiah, Lasmini, Lasman, diberikan kepada anak-anak yang lahir pada hari Selasa, dan seterusnya. Legimin, Gino, Gito, Leginah, Ginah, diberikan kepada anak yang lahir pada pasaran Legi. Ponirah, Poniman, Poinah, Ponijan, diberikan kepada anak yang lahir pada pasaran Pon.

Surati, Suratmi, Suratinah, Suratmin, Suratman, diberikan kepada anak yang lahir pada bulan Suro. Maryati, Maryani, Maryono, Maryoto, Margono, diberikan kepada anak yang lahir pada bulan Maret.

Nama Eko diberikan kepada anak nomor satu. Dwi untuk anak nomor dua, Tri anak ketiga, dan seterusnya.

Memang, urusan memberi nama anak adalah mutlak urusan kedua orangtuanya. Bahkan, andai orangtuanya "nekat" tak memberi nama pun tak menjadi soal. Yang jadi soal adalah ketika pada saatnya kelak kita kehilangan jati diri kita sebagai sebuah bangsa lantaran nama-nama manusia di negeri ini memakai nama asing. Demikian juga nama tempat tinggal kita, perusahaan, pasar, perkantoran, nama jalan...

Wah, jika kita terus-terusan memakai nama asing untuk anak, tempat tinggal, pasar, perusahaan,

bisa-bisa Indonesia kelak hanya tinggal nama yang tersimpan di perpustakaan saja.


Catatan Kaki Jodhi Yudono @JodhiY. [Kompas]
Komentar

Tampilkan

Terkini