-->








Pejabat Aceh dan Dua Pejabat Walikota Dilaporkan ke KPK

30 Maret, 2015, 19.19 WIB Last Updated 2015-03-30T12:20:02Z

Ist
BANDA ACEH - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyelenggarakan konferensi pers untuk memaparkan dua kasus indikasi korupsi yang terjadi di Kota Sabang dan Kota Subulussalam, Senin (30/3). Konferensi pers ini dilaksanakan di sekretariat MaTA yang dimulai pukul 10.00 WIB.

Dalam kegiatan ini, turut hadir Alfian, Koordinator MaTA, Baihaqi, Koordinator Bidang Monitoring Peradilan MaTA dan Hafidh, Koordinator Bidang Advokasi Anggaran dan Kebijakan Publik MaTA.

MaTA memaparkan bahwa kedua kasus, baik yang terjadi di Kota Sabang dan Kota Subulussalam tersebut sudah dilaporkan ke KPK masing-masing pada 18 Februari 2015 dan 27 Maret 2015. Hal ini bertujuan agar KPK dapat segera melakukan penyelidikan mengingat besar dugaan keterlibatan para pejabat di lingkungan Kota Sabang dan Subulussalam.

Kasus ini indikasi korupsi yang terjadi di Sabang adalah pengadaan tanah untuk komplek perumahaan guru Kota Sabang seluas 9000 m² yang terletak di Jurong Cot Dama Gampong Paya Seunara Kecamatan Sukakarya Kota Sabang. Anggaran untuk pengadaan ini bersumber dari APBK Kota Sabang tahun 2012 dengan pagu anggaran sebesar Rp. 1.8 milyar yang di plotkan melalui Dinas Pendidikan Kota Sabang.

Dalam kasus ini, MaTA mensinyalir telah terjadi indikasi pemahalan harga yang berpotensi merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 1.3 Milyar karena dalam pembebasannya tidak menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan setempat sebesar Rp. 20.015 per meternya. Kalau berpedoman pada NJOP, harga lahan tersebut hanya sebesar Rp. 180 juta.

Selain itu, pengadaan tanah ini tidak masuk dalam proses perencanaan anggaran untuk tahun 2012. Hal ini terbukti dari Rencana Kerja Anggaran (RKA) Dinas Peendidikan Kota Sabang untuk tahun 2012 tidak masuk. Akan tetapi setelah pembahasan dua pihak, anggaran pengadaan tanah ini sudah muncul dalam Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) Dinas Pendidikan 2012.

Kasus indikasi pemahalan harga pengadaan tanah ini menurut analisa MaTA sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2 dan 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 j.o UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Olehnya karena, MaTA berharap agar pengusutan kasus ini oleh KPK dapat dipantau oleh seluruh eleman masyarakat dengan tujuan agar oknum yang terlibat benar-benar di jerat sesuai dengan hukum yang berlaku.

Selain itu, MaTA juga berharap agar setiap pengadaan tanah oleh pemerintah dapat diawasi oleh masyarakat secara bersama. Hal ini mengingat bahwa dalam pengadaan tanah, rentan terjadi indikasi korupsi dengan berbagai modus, baik pemahalan harga, tidak sesuai prosedur maupun berbagai modus lainnya.


Kasus di Subulussalam

Selain kasus di Sabang, dalam konferensi pers ini MaTA juga memaparkan tentang kasus dugaan korupsi yang terjadi Kota Subulussalam. Kasus ini adalah kasus pemberian izin kepada salah satu perusahaan dimana lahan yang diberikan oleh pemerintah berada dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL). Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dalam pasal 150 ayat 2 UU tersebut disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Dan secara prinsip, menurut analisa MaTA, pemberian izin kepada perusahaan tersebut telah melanggaran ketentuan hukum UU Nomor 11 Tahun 2006.

Kasus ini sendiri sudah dilaporkan ke KPK pada 27 Maret silam. Dimana dalam laporannya MaTA menyebutkan bahwa oknum pejabat teras di Kota Subulussalam dan oknum Pejabat di Provinsi Aceh serta oknum dari pihak perusahaan diindikasikan terlibat. Berdasarkan hasil perhitungan MaTA, nilai potensi kerugian perekonomian Negara yang ditimbulkan oleh pemberian izin ini mencapai Rp. 68 miliar lebih.

Oleh karenanya, MaTA mendesak kepada jajaran pemerintah di Aceh, untuk segera melakukan review atas perizinan yang telah dikeluarkan selama ini. Sehingga dengan adanya review ini, dapat ditertibkan seluruh izin yang masih berlaku guna penataan perizinan yang ada. Selain itu, MaTA juga mendesak agar seluruh izin yang berada dalam Kawasan Ekosistem Lauser dapat dibekukan karena izin-izin tersebut berbenturan dengan UU Pemerintahan Aceh pasal 150 ayat 2. [Pin]
Komentar

Tampilkan

Terkini