-->








10 Tahun MoU Helsinki, Rakyat Aceh Masih Terlantar

12 Agustus, 2015, 21.39 WIB Last Updated 2015-08-12T14:39:40Z
BANDA ACEH - Perjanjian damai Aceh genap 10 tahun, namun masyarakat dan khususnya para mantan Tentara Negara Aceh (TNA) menilai elit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) belum maksimal memberikan pemahaman makna dan tujuan perdamaian.

"Sangat kita sayangkan, para mantan petinggi GAM yang terlibat langsung pada saat penandatangan MoU Helsinki semakin tidak fokus memperjuangkan dan menjalankan butir-butir MoU yang telah disepakati," ujar eks GAM, Teungku Sufaini Syekhy, Rabu (12/8/2015).

Lanjutnya, mereka (mantan petinggi GAM) terkesan telah mengabaikan semua item yang terkandung pada MoU, dan menurut Syekhy mereka sudah tidak lagi bertanggungjawab terhadap semua yang telah mereka sepakati. Justru, kini mereka semakin terjerumus ke jurang yang amat dalam yaitu ke jurang perpecahan sesama mantan petinggi GAM, akibat perebutan kekuasaan sesaat untuk menjadi Gubernur, Bupati, Walikota dan Ketua Partai.

"Padahal tujuan perjuangan awal yaitu untuk me 'Merdeka' kan Aceh dari cengkeraman Indonesia. Bukan rahasia umum lagi, sekarang cita-cita itu sudah mereka lupakan karena terlena dengan kekuasaan sesaat saja," ucap Ketua Organisasi Achenese Australia Association.

Syekhy mengingatkan, dalam ideologi perjuangan GAM diharamkan para petinggi, anggota GAM, menghormat bendera Merah Putih, dan haram mencari kerja atau menjadi pejabat sebagai perpanjangan tangan RI di Aceh.

Kemudian, dalam perjuangan GAM diharamkan menyerah atau damai dengan RI, perjuangan GAM harga mati 'Merdeka'.

"Namun apa yang terjadi sekarang dengan para mantan petinggi GAM dan sebagian mantan anggota TNA. Mereka telah keluar jauh dari ideologi yang menjadi dotkrin bersama, kini mereka telah melanggar sumpah yang mereka ucapkan. Mereka hari ini secara terang-terangan memburu jabatan pada RI dengan menghalalkan segala cara. Teman dijadikan sebagai lawan, lawan dijadikan lebih dari keluarga, mereka benar-benar lupa daratan dan mabuk kepayang," tandas Syekhy.

Menurutnya, perdamaian hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari jabatan, perdamaian bukan untuk memperjuangkan perjuangan para syuhada, anak yatim, para janda korban perang, dan para mantan TNA. Rakyat disia-siakan dan dibiarkan hidup dibawah garis kemiskinan, Aceh seakan-akan sudah menjadi milik mereka, mereka terus memperkaya diri dan kelompoknya, tapi di lain pihak seakan-akan mereka bak pahlawan GAM yang berjuang untuk me'Merdeka'kan Aceh.

Mereka benar-benar sangat dzalim dan bersikap bagai para pecundang. Oleh sebab itu, Syekhy mengajak semua rakyat Aceh tanpa terkecuali untuk menuntut tanggung jawab kepada mereka atas ribuan korban TNA, ulama dan rakyat di masa perang dan implementasi MoU Helsinki.

"Rakyat Aceh hingga kini masih terlantar, masih sengsara, miskin dan terabaikan," imbuhnya.

Syekhy mengharapkan, semoga kedepan rakyat Aceh terutama para mantan kombatan GAM di lapangan  tidak ragu-ragu dalam memahami kondisi Aceh pasca terjadi perdamaian. Sehingga saat Pilkada 2017 mendatang rakyat bisa memilih calon Gubernur, Bupati dan Walikota serta pasangannya yang benar-benar mempunyai kapasitas, loyalitas, dan punya integritas yang tinggi untuk selalu memperjuangkan nasib rakyatnya.[Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini