-->




Menelaah Pro dan Kontra Terkait PEPERA 1969 di Papua

15 Mei, 2019, 11.44 WIB Last Updated 2019-05-15T04:44:35Z
EKSISTENSI Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali digoyang. Adalah Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua, yang terdiri dari 15 pengacara mewakili Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) dan Solidaritas  Perempuan Papua, telah mengajukan peninjauan kembali Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya (kini Provinsi Papua dan Papua Barat). Dasar gugatan adalah kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlarut-larut di Papua.

Selain itu, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dituding cacat hukum dan penuh kekerasan. Tulisan ini berargumen bahwa pelaksanaan Pepera, di luar kontroversinya (terutama klaim adanya kekerasan dan pelanggaran HAM), telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi Nomor 2509. Dengan dasar itu, legalitas hukum terhadap pelaksanaan Pepera dapat dikatakan sah adanya.

Dengan menggunakan pendekatan deskripsi historis, tulisan ini ingin menyediakan sebuah gambaran yang lebih holistik dalam melihat kompleksitas Papua yang saat itu memang diperebutkan. Konteks historis terkait kondisi di Papua, kebijakan nasional dan konteks dunia internasional perlu dipahami dalam hal ini.

Setelah Pepera memenangkan kedaulatan Indonesia atas Papua, menurut nasionalis Papua, pemerintah Indonesia telah menggunakan pendekatan militer, meski secara nyata ada pimpinan sipil yang ditunjuk sebagai gubernur.

Secara historis, di Papua menjelang Pepera, pada 1965 telah dibentuk KODAM XVII Cenderawasih yang bertugas untuk rentang waktu empat tahun hingga pelaksaaan Pepera. Tercatat bahwa kehadiran KODAM telah melibatkan beberapa operasi militer untuk menghancurkan pos-pos operasi Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang hasilnya menewaskan anggota kedua belah pihak, melalui penangkapan atau perang melawan OPM, yang acap menyerang pos-pos militer di wilayah Papua.

Kembali ke skala global dan nasional, negara-negara terkait dengan Indonesia untuk persoalan Papua, seperti Inggris, Australia dan Amerika Serikat telah mendukung PBB dan "New York Agreement dan prinsip self determination" yang disetujui semua pihak. Namun, akhir 1963, pemerintahan Sukarno lebih terfokus pada konfrontasi dengan Malaysia. Juga, sebagian pegawai negeri sipil menolak untuk berangkat ke Papua guna membantu program pemerintah.

Sebagai tambahan, sekolah-sekolah Belanda telah ditutup. Perencanaan pembangunan Indonesia telah dimulai. Dalam masa ini, untuk pertama kali kontak senjata dengan OPM dimulai, di tengah transmigrasi Indonesia ke Papua baik yang ditentukan pemerintah maupun transmigran spontan dan menggunakan biaya pribadi. Pada masa ini, Papua tetap tertutup untuk orang luar, termasuk wartawan.

Pada Januari 1965, Sukarno menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB, oleh karena menentang pemberian satu kursi non-permanen bagi Malaysia di Dewan Keamanan PBB, sebagai bagian dari kebijakan konfrontasi, yang telah membuat Indonesia kehilangan $30 million setahun dari dana PBB untuk Papua Barat.

Pada Mei 1965, Sukarno telah mengumumkan bahwa tidak perlu membuat kegiatan Pepera bagi Papua, oleh karena Papua tidak menginginkan dan telah puas dengan pemerintahan Indonesia. Sukarno akhirnya jatuh dari tampuk kepresidenan, oleh karena peristiwa G30S PKI.
Naiknya Suharto ke tampuk kekuasaan awalnya memperkuat kepemimpinan sipil dan kemajuan pembangunan. Dalam hal ini, Indonesia telah membentuk DPRD di delapan kabupaten berdasarkan TAP MPRS no XXI/MPRS/1967 yang mengatur pengelolaan daerah.

Pada 16 Agustus 1968, Presiden Suharto berpidato dan menyatakan sikap politiknya: [1]. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memajukan dan membangun Papua Barat semenjak 1 Mei 1963. Indonesia telah melaksanakan berbagai kemajuan secara memuaskan setelah Papua Barat lepas dari jajahan Belanda. [2]. Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah tanggung jawab tunggal Indonesia, sesuai dengan kesepakatan tiga pihak (PBB, Belanda, Indonesia) dalam New York Agreement, Pemerintah Belanda dan PBB tidak ikut campur tangan lagi.

Secara fisik, pembangunan Papua Barat mengalami kemajuan pesat dibandingkan pada masa Belanda. Pemerintah Indonesia telah membangun jalan raya, jembatan, gedung-gedung sekolah dan fasilitas yang lain. Pemerintah juga telah memberi kesempatan kepada putra-putra Papua melanjutkan pendidikan di pelbagai tempat di Jawa.

Meskipun demikian, sayangnya, hanya sedikit putra Papua yang mendapat kepercayaan memimpin wilayahnya, seperti EJ Bonay dan Frans Kaisiepo. Sedangkan para elit politik pendukung integrasi Indonesia yang lain tidak mendapatkan apa-apa sehingga sebagian mereka ada yang putar haluan mendukung Papua merdeka.

Di sini, menurut penulis, tampak pragmatisme politik orang Papua, akan loyal jika ada kekuasaan, dan akan memberontak jika kehilangan kekuasaan. Menurut penulis, hal ini manusiawi sifatnya dari pihak-pihak yang merasa sudah berjuang dan berkorban untuk negara, namun merasa tidak diperhatikan dan ditelantarkan.

Mengutip Hamka, orang yang telah berjuang dan akhirnya terpinggirkan adalah ibarat mengait daung pisang di tengah jalan untuk melindungi diri dari hujan, dan ketika hujan reda, dicampakkanlah daun itu, terinjak-injak orang nan lalu.

Sementara itu, arah kebijakan politik luar negeri juga berubah. Naiknya Suharto menandai pergeseran perubahan kebijakan luar negeri Indonesia dan secara signifikan mempengaruhi Papua. Adam Malik, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, mengatur kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB pada 1966, dan juga mengumumkan akan ada upaya penentuan self determination di Papua. Mempertimbangkan geo-politik saat itu, Jakarta percaya akan dukungan dunia dan opini internasional akan hasil yang baik dari Pepera (Act of Free Choice) yang diusulkan akan berlangsung pada 1969.

PBB telah menunjuk diplomat Ortiz Sans untuk mengawasi Pepera. Dia tiba di Indonesia pada 12 Agustus 1968, tetapi kepergiannya di Papua terlambat 11 hari. Di Papua, pasukan keamanan Indonesia yang dipimpin Brigjen Sarwo Edi berupaya memadamkan perlawanan lokal OPM, termasuk pemberontakan di Arfak, dan mencegah gelombang pengungsi ke wilayah Papua New Guinea.

Diberitakan di sebuah studi, Sans diservis dengan sangat mewah di Jakarta dan terkesan kagum dengan kemajuan pembangunan di Papua. 
Kerja Sans terbilang professional. Satu kritik Sans yang disampaikan adalah rakyat Papua tidak banyak yang mengetahui Pepera yang akan dilakukan. Sans telah menerima 28 orang Papua yang kritis terhadap pemerintah dan mendorong one man one vote yang akan digunakan di kota-kota Papua dan perwakilan dewan di wilayah lain.

Selain itu, Sans mengeritik kurangnya rumah yang disediakan bagi tim PBB dan berkurangnya angotanya dari 50 menjadi 16 orang. Sebagai tambahan, Sans mengeritik upaya Indonesia membungkam kritisisme orang Papua terhadap Indonesia.

Awal 1969 kebanyakan pengamat berkesimpulan bahwa Pepera akan membawa Papua ke pangkuan Indonesia. Indonesia tetap didukung oleh Australia. Pada masa ini terjadi pengungsi ke wilayah PNG. Bahkan beberapa pengungsi ditangkap di perbatasan termasuk dua pimpinan Papua, Willem Zonggonao dan Clemens Runawaray, yang rencana berangkat ke PBB untuk mengajukan petisi bagi Papua Merdeka.

Wakil Sekjen PBB dipandang tidak berhak menjawab petisi baik dari pro integrasi Indonesia maupun yang pro kemerdekaan Papua, terutama mengenai bentuk pelaksanaan hak penentuan sendiri. Pihak Indonesia berpandangan ini sudah kewenangan Indonesia, sebagaimana telah disebut di atas. Kepada Majelis Umum PBB, Sans telah menulis bahwa ia telah menerima 179 petisi di Papua dari kedua belah pihak. Dalam laporannya dinyatakan sebagian besar petisi dari yang pro Indonesia.

Namun, pihak pro nasionalisme Papua melihat sebaliknya, yang sebagian besar petisi dinilai menolak Pepera dan mendukung referendum.
Menjelang pelaksanaan Pepera, oposisi para nasionalis Papua, termasuk aksi OPM semakin intensif. Indonesia dan PBB, yang diwakili Sans, berpandangan itu tidak bermasalah, sedangkan sebagian lain yang kristis berpandangan bahwa para nasionalis Papua sadar dengan proses yang tidak mencerminkan hasrat mereka untuk berpisah dari Indonesia.

Pada 18 Maret 1969, Sans mengumumkan bahwa sesuai dengan keinginan Indonesia, Pepera akan dilakukan melalui para dewan yang representatif (majelis permusyawaratan), namun orang-orang Papua akan memilih secara langsung sejumlah perwakilan mereka sendiri yang bukan anggota dari dewan representatif yang sudah ada. Pada April 1969, Sudjarwo menyarankan bahwa perwakilan ditunjuk dan tidak dipilih, dan pertengahan April proses tersebut berjalan. Hal itu melahirkan perlawanan para nasionalis Papua, termasuk serangan-serangan OPM, dan tuntutan untuk Pepera yang adil dan tidak intimidatif.

Indonesia bereaksi dengan mengirim pasukan untuk menghentikan pemberontakan OPM di desa-desa. Tanpa menunggu persetujuan dari PBB, Sans telah mengeluarkan pernyataan bahwa pemberontakan adalah satu problema politik internal bagi Indonesia. Slatford, seorang sarjana yang menulis Papua pada masa persiapan Pepera sangat kritis terhadap peran Sans yang dianggap pro Indonesia, misalnya melalui laporan-laporannya ke PBB yang baik-baik tentang Indonesia.

Selain itu, Saltford menulis Indonesia-Japan tidak jujur dengan waktu pemilihan dewan perwakilan. Bahkan, dalam kenyatannya Sans tiba dan menemukan pemilu sudah terjadi di sebagian wilayah.
Laporan dari beberapa skolar Barat tentang Pepera menunjukkan adanya intimidasi Indonesia terkait pelaksanaannya.

Pada Juli tahun 1969, saat Pepera diadakan, OPM telah menyerang pos-pos militer Indonesia. Dengan pertimbangan Pepera yang adil sebagai dasar legitimasi PBB, U Thant mendorong adanya Pepera ulang. Indonesia setuju untuk dilakukan di sembilang wilayah dan PBB hanya menyaksikan pemilihan di 3 wilayah. Pada 14 Juli, pemilu di Merauke dilakukan dengan pertemuan 175 orang anggota dewan musyawarah, yang dihadiri Sans dan perwakilan duta besar negara sahabat, Australia, Belanda dan Thailand, dengan undangan lain termasuk wartawan Indonesia dan asing. Namun, sebagian studi ada yang melaporkan bahwa pelaksanaan Pepera tidak ada perwakilan PBB dan perwakilan dari negara sahabat serta jurnalis. Informasi yang terakhir disebutkan tidak benar adanya.

Pada proses pelaksanaan Pepera, paska sambutan sebanyak 20 orang anggota Dewan Musyawarah berdiri satu demi satu secara bergantian dan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang intinya sama antara yang satu dengan yang lain. Mereka menegaskan bahwa mereka telah merupakan bagian dari Indonesia semenjak 1945: mengakui satu negara, satu konstitusi satu bendera dan satu pemerintahan, yaitu Indonesia.

Setelah pelbagai pidato, pimpinan sidang, yaitu seorang pejabat pemerintah, meminta 155 anggota yang lain untuk berdiri apabila mereka setuju dengan sikap rekan-rekan mereka tadi. Mereka semua berdiri tanda setuju bergabung dengan Indonesia.

Walaupun mendapatkan kritik dari pihak pro nasionalisme Papua terhadap metode yang digunakan, cara tersebut tetap dilakukan. Pepera selanjutnya diadakan di Jayawijaya (16 Juli), Paniai (19 Juli), Fakfak (23 Juli), Sorong (26 Juli), Manokwari (29 Juli), Teluk Cenderawasih (31 Juli) dan Pepera terakhir pada 2 Agustus di Jayapura. Hasil Pepera adalah warga Papua memilih untuk bergabung dengan Indonesia. Hasil Pepera ini telah disahkan oleh PBB melalui Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 7 tahun 1971.

Reaksi internasional beragam dan bisa dibagi tiga kategori: Pertama, menerima hasil Pepera dengan mempertimbangkan hubungan baik dengan Indonesia. Kedua, dipimpin India, menerima hasil Pepera dalam konteks dekolonisasi Eropa dan penegasan Papua sebelumnya wilayah Belanda.

Singkatnya, sudah seharusnya Papua menjadi bagian dari Indonesia. Ketiga, sebagian bangsa Afrika dan bangsa di Pacific Island mengeritik hasil tersebut dengan pelbagai alasan. Alasan utama adalah manipulasi hasil pemilu rakyat seperti Pepera di Papua akan digunakan untuk mempertahankan pemerintahan kulit putih dan memperlambat dekolonisasi di wilayah Papua dan Papua New Guinea (PNG) di wilayah otoritas Australia sebelumnya. Misalnya, PNG telah merdeka pada 1975. Pada akhirnya, sebagian yang kecewa, terutama para nasionalis Papua, dengan pelaksanaa Pepera mengklaim bahwa pelaksanaannya tidak sesuai yang diamanatkan Perjanjian New York.

Sebagaimana disebutkan di atas, Indonesia memahami bahwa metode pelaksanaan Pepera diserahkan kepada Indonesia, yang dipahami secara berbeda oleh sebagian pihak yang berseberangan, terutama nasionalis Papua. Selain itu, kondisi wilayah yang sulit serta kurangnya pembangunan ekonomi dan politik di wilayah tersebut, sehingga 1025 peserta plus satu tambahan akhir yang dipilih pemerintah Indonesia.

Terlepas dari pelbagai analisis di belakang hasil Pepera yang kontroversial, satu hal yang pasti adalah keberatan dan justifikasi dari para nasionalis Papua bahwa Pepera 1969 adalah penuh intimidasi dan manipulasi. Hingga saat ini, narasi ini terus dibangun dan disuarakan kepada simpatisan dan para pendukung nasionalisme Papua, yang menuntut referendum ulang. Mungkin perlu didiskusikan atau diriset juga lebih jauh, kenapa para nasionalis Papua mengeritik Pepera berdasarkan perwakilan, sementara hingga hari ini sistem ikat noken masih dibela untuk dipertahankan dalam pemilihan umum yang ada, khususnya di wilayah pegunungan tengah, yang merupakan satu wilayah yang menjadi basis kelompok nasionalis Papua merdeka.

Sebagai kesimpulan, secara de jure (hukum), Papua adalah bagian yang sah dari Indonesia berdasarkan pengesahan dari PBB dan ratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Pilihan yang paling logis adalah pihak-pihak yang bertikai perlu duduk bersama untuk mendialogkan bagaimana membangun Papua yang damai dan sejahtera dalam bingkai NKRI. 

Penulis: Ridwan Al-Makassary (Pengamat Masalah Papua dan Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia) 
Komentar

Tampilkan

Terkini