-->








Omnibus Law Dirancang Untuk Menindas Buruh dan Mensejahterakan Pemodal

13 Januari, 2020, 20.12 WIB Last Updated 2020-01-13T13:12:32Z
SAAT ini sedang ramainya pemberitaan tentang pemerintahan yang sedang mengusung RUU Omnibus Law yang di dalamnya mencakup aturan cipta lapangan kerja dan juga aturan perpajakan.

Aturan ini rencananya dibuat untuk memenuhi aturan-aturan lama yang dimana pemerintah menilai terlalu rumit dan akan menghambat investasi.

Namun disini, Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) menilai bahwa Omnibus Law bukanlah pilihan yang tepat untuk meningkatkan investasi atau menciptakan lapangan pekerjaan. Namun itu merupakan penghancuran ketenagakerjaan dan juga kian menindas buruh.

Oleh sebab itu, kata Dedi salah seorang anggota SMUR, ada beberapa point dalam Omnibus Law yang harus kita tolak karena sangat merugikan bagi buruh, yaitu:

1. Penghilangan upah minimum.

Penghilangan upah minimum merupakan dampak terburuk yang akan dirasakan langsung oleh para buruh. Ini merupakan keinginan pemerintah yang akan menerapkan sistem "Upah per jam". Dengan berlakunya upah per jam tersebut, buruh yang bekerja di bawah 40 jam seminggu, akan mendapatkan upah di bawah minimum. Ini jelas merupakan penindasan kejam terhadap buruh. 

Seperti yang kita ketahui bahwa buruh tersebut mungkin akan mendapatkan halangan seperti ibadah, cuti melahirkan dan juga sakit, dimana buruh yang berhalangan di anggap tidak bekerja dan jam kerjanya akan di anggap kurang dari 40 jam. Bisa saja ketika di lapangan nanti pihak perusahaan dengan mudah mengakalinya dengan mengurangi jam kerja buruh yang akan menyebabkan buruh bekerja dibawah 40 jam per minggu. 

Pada dasarnya penerapan upah minimum berlaku bagi semua buruh, tidak ada istilah upah per jam atau apalah itu. Dan hal ini juga sudah di atur dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak boleh ada pekerjaan yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika ada itu adalah salah satu bentuk penindasan dan bentuk kejahatan dan itu bisa di pidana.

2. Penghilangan pesangon.

Dalam Omnibus Law terdapat istilah baru yaitu tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah. Sebenarnya ini telah di atur dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 yaitu masalah pesangon bagi buruh yang terkena PHK.
Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon atau penghargaan masa kerja.

Dengan istilah baru tersebut, pesangon yang telah di atur dalam UU di atas akan di hilangkan dan di ganti dengan tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Jika dibandingkan dengan sebelumnya ini jelas sebuah upaya untuk menindas buruh.

3. Fleksibilitas pasar kerja atau outsourcing di perluas.

Dalam Omnibus Law terdapat istilah outsourcing yang dimana akan terjadinya ketidakpastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap. Dalam UU no.13 tahun 2003, outsourcing hanya dapat dilakukan kepada 5 jenis pekerjaan saja, namun sekarang outsourcing tersebut akan diperluas ke jenis pekerjaan lainnya. 

Sebelumnya juga sudah ada hubungan kerja fleksibel, upah minimum tidak ada lagi, mudah di PHK dan setelah di PHK tidak mendapatkan lagi uang pesangon. Ini akan memberikan dampak buruk bagi buruh.

4. Lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi oleh tenaga kerja asing atau TKA. Terkait TKA dalam UU no.13 tahun 2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa syarat, antara lain TKA hanya bisa menempati pekerjaan yang memiliki keterampilan khusus. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus tidak boleh bekerja di Indonesia.
Kemudian batas waktunya juga di batasi antara 3-5 tahun dan harus kembali ke negaranya.

Kemudian TKA haruslah didampingi oleh tenaga Indonesia yang bertujuan untuk transfer of knowledge yang bertujuan jika suatu saat TKA tersebut kembali ke negaranya, pekerjaan itu bisa di atasi oleh tenaga kerja Indonesia.

Namun dalam Omnibus Law, semua persyaratan TKA akan dihapus, yang akan mengakibatkan masuknya TKA secara besar-besaran lalu membuat tenaga kerja Indonesia menjadi tidak terpakai.

5. Jaminan sosial terancam dihilangkan.

Jaminan sosial yang hilang diakibatkan oleh sistem yang fleksibel karena tidak adanya pengangkatan karyawan tetap, karena itu merupakan syarat mendapatkan tunjangan hari tua dan juga jaminan pensiun bagi buruh.

6. Menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.

Dalam Omnibus Law terdapat juga wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Dalam UU no.13 tahun 2003 disebutkan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.
Jika sanksi ini di hilangkan, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum. Ditakutkan akan banyak hak buruh yang tidak akan dipenuhi oleh pengusaha karena tidak ada lagi ancaman pidana kepada pengusaha yang tidak memenuhi hak-hak buruh. 

Sebagai penutup, kita juga jangan melupakan bahwasanya mahasiswa merupakan calon buruh, yang di kemudian hari bisa saja hak haknya di rampas dengan kebijakan tersebut.

Penulis: Septian (Anggota SMUR/Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat Lhokseumawe)
Komentar

Tampilkan

Terkini