-->




Tapal Batas Aceh, Senator Fachrul Razi: Melanggar MoU Helsinki dan Ahistoris

12 Juni, 2020, 20.23 WIB Last Updated 2020-06-12T13:23:44Z
LINTAS ATJEH | JAKARTA - Senator H. Fachrul Razi, MIP, yang juga Pimpinan Komite I membidangi masalah politik dan hukum menyayangkan adanya keputusan sepihak Pemerintah Aceh mengenai tapal Batas Aceh dan Sumatera Utara dengan keluarnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan mengesahkan sembilan Permendagri terkait batas antar-kabupaten/kota di Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

“Pengesahan tapal batas yang diwakili Pemerintah Aceh melanggar MoU Helsinki dan Ahistoris,” jelas Fachrul Razi dalam keterangan tertulisnya ke redaksi, Jum'at (12/06/2020).

Fachrul Razi menyayangkan adanya sikap penerimaan oleh Tim Pemerintah Aceh kepada Mendagri, dalam menerima keputusan tanpa memahami konteks sejarah dan dinamika hukum kekhususan yang dimiliki oleh Aceh.

“Anehnya sudah melanggar MoU Helsinki dan UU PA, Pemerintah Aceh berterimakasih kepada Pemerintah Pusat, bukannya Aceh dirugikan dengan keputusan tapal batas Aceh yang tidak sesuai dengan MoU Helsinki dan UUPA,” jelas Fachrul Razi.

Fachrul Razi menolak keputusan tersebut karena dirinya sedang memperjuangkan batas Aceh sesuai perjanjian MoU Helsinki, 1 Juli 1956. 

“Kami di DPD RI sedang memperjuangkan revisi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan persoalan tapal batas Aceh dan Sumut agar sesuai dengan MoU Helsinki poin 1.1.4 menyatakan, perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956,” tegasnya.

Fachrul Razi mengingatkan bahwa persoalan tapal batas adalah masalah serius dan tidak bisa diwakilkan oleh posisi kepala biro dalam Pemerintahan Aceh. Ini akan berakibat fatal dan hilangnya wilayah Aceh yang telah di klaim oleh Sumatera Utara karena kebijakan pusat.

Fachrul Razi mengatakan bahwa perbatasan Aceh harus merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956, dimana secara sejarah pada tahun yang sama tertanggal 7 Desember, Pemerintah Soekarno mengeluarkan UU No 24 tahun 1956.

“Semua akan jelas jika Pemerintah Pusat berani membuka kembali peta Aceh merujuk pada perbatasan Aceh tanggal 1 Juli 1956 sesuai MoU Helsinki. Semua harus kembali kepada sejarah bahwa lahirnya UU Nomor 24 tahun 1956, tidak menjelaskan batas Aceh secara spesifik, namun bisa jadi UU No 24 tahun 1956 dilahirkan untuk menghapus peta 1 Juli 1956. Seperti Bendera Aceh yang kemudian pemerintah mengeluarkan PP Nomor 77 tentang Bendera. Ini menunjukkan sikap paranoid yang terlalu berlebihan,” katanya.

Dia mengatakan jika merujuk pada UU No 24 tahun 1956, perlu dipahami pada saat itu secara sejarah, Indonesia tidak menggunakan UUD 1945. Namun, kata dia, Indonesia saat itu menggunakan UUD Sementara 1950 atau UUD 1950 dengan sistem Republik Indonesia Serikat.

“Pada saat itu, Aceh dianeksasikan ke dalam Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950, itu wilayah Aceh yang dimasukkan ke dalam wilayah propinsi Sumatra Utara adalah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Selatan dan Kota Besar Kutaraja,” ujarnya.

Menurutnya, wilayah Aceh itulah yang dijadikan sebagai wilayah yang tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonomi Propinsi Aceh, dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatra Utara tanggal 29 Nopember 1956. “Perbatasan Aceh merujuk 1 Juli berada dalam sistem pemerintahan Indonesia yang berbeda. Indonesia kembali menerapkan UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, artinya sama saja kita mengakui wilayah Aceh yang hilang selama 32 tahun ini, ini jelas ahistoris,” tegasnya.

Fachrul Razi menegaskan bahwa merujuk pada sejarah bahwa Negara Kesatuan yang berlaku sampai 1 Juli 1956 adalah Negara-Negara dan Daerah-Daerah yang berada di dalam naungan Republik Indonesia Serikat yang diserahi dan diakui kedaulatannya pada tanggal 27 Desember 1949, dimana dari Sumatera adalah Negara Sumatra Selatan dan Negara Sumatra Timur. “Sedangkan Aceh tidak termasuk dalam Negara Bagian RIS, yang dilebur menjadi NKRI pada tanggal 15 Agustus 1950, ini sejarah yang harus diluruskan,” katanya.

Fachrul Razi mengatakan pemerintah Aceh secara hukum “menyerah” dan menyerahkan batas Aceh secara hukum kepada Pemerintah Pusat melalui Sumatera Utara.

Sebelumnya, Pemerintah Aceh menyampaikan terima kasih kepada Mendagri dan jajarannya serta semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Informasi tuntasnya batas Aceh-Sumut diterima melalui Pejabat Direktorat Toponimi dan Batas Daerah Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan yang disampaikan kepada Kepala Biro (Karo) Tata Pemerintahan Setda Aceh, Syakir. Syakir menyebutkan batas daerah yang ditetapkan itu berada di Aceh Tamiang, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Subulussalam.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri melalui Direktorat Toponimi dan Batas Daerah menetapkan sembilan Permendagri terkait batas wilayah di Aceh dan Sumatera Utara. Kesembilan Permendagri itu masing-masing Permendagri Nomor 27 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kabupaten Gayo Lues dengan Kabupaten Langkat, dan Permendagri Nomor 28 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kabupaten Aceh Tamiang dengan Kabupaten Langkat.

Selanjutnya, Permendagri Nomor 29 Tahun 2020 tentang Batas Derah Aceh Tenggara dengan Kabupaten Karo, Permendagri Nomor 30 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kabupaten Aceh Singkil dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Permendagri Nomor 31 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kota Subulussalam dengan Kabupaten Dairi.

Kemudian, Batas Derah Kabupaten Aceh Tenggara dengan Kabupaten Dairi, ditetapkan dalam Permendagri Nomor 32 Tahun 2020. Sementara Permendagri Nomor 33 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kabupaten Aceh Tenggara dengan Kabupaten Langkat, Permendagri Nomor 34 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kota Subulussalam dengan Kabupaten Pakpak Bharat, dan Permendagri Nomor 35 Tahun 2020 tentang Batas Daerah Kabupaten Aceh Singkil dengan Kabupaten Pakpak Bharat.[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini