-->








Forum PPSDA Selenggarakan Konsolidasi Perempuan Penjaga Daya Alam Gayo

18 November, 2020, 07.20 WIB Last Updated 2020-11-18T00:20:29Z

LINTAS ATJEH | BENER MERIAH - Forum Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam (PPSDA) bersama Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) mengadakan kegiatan “Konsolidasi Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam-Gayo” selama tiga hari, mulai tanggal 15-17 November 2020, di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah. Kegiatan ini menghadirkan 25 anggota PPSDA dari kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, serta menghadirkan beberapa tokoh multi-sektor yang turut mengawal isu sumber daya alam.


 

Forum Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam (PPSDA) dibentuk pada Desember 2019 lalu sebagai wadah upaya-upaya kelompok perempuan di seluruh Aceh dalam melestarikan sumber daya alam di lingkungan mereka. Disini para perempuan dari 20 kabupaten/kota Provinsi Aceh dapat berkonsolidasi menyelamatkan sumber kehidupan, dan bersinergis dalam upaya pelestarian yang berkelanjutan.



Aceh sebagai salah satu kawasan yang kaya dengan sumber daya alam, kerap dihantui berbagai ancaman yang dapat merusak sumber kehidupan dan ruang hidup masyarakat, khususnya perempuan. Perempuan di tingkat tapak memiliki hubungan erat terhadap lingkungan sekitarnya yang merupakan sumber penghidupan bagi keluarganya. Namun sayangnya, perempuan masih dipandang sebelah mata dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam, padahal perempuan punya tanggung jawab yang sama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam.



Meskipun banyak persoalan yang dihadapi,  namun semangat gerakan komunitas perempuan tetap berkobar dan sejumlah aksi nyata pelestarian sumber daya alam terus dilaksanakan. Contoh terkini adalah seperti yang diperjuangkan oleh perempuan di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Desa ini kini memiliki Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK), yang dipelopori oleh perempuan. Setelah melalui perjalanan panjang, LPHK Damaran Baru memperoleh izin pengelolaan  Hutan Desa yang diberikan oleh KLHK pada November 2019 dengan luas 251 Ha. 



Selain itu, cerita perempuan dari kampung Bergang yang tergabung dalam kelompok Singkite yang aktif melakukan penolakan terhadap kegiatan penebangan illegal serta memanfaatkan sumber-sumber alam di sekitarnya seperti membuat sabun mandi, lulur dan scrub dengan menggunakan bahan dasar kopi yang merupakan potensi alam lokal sebagai alternatif pengembangan ekonomi kelompok perempuan. Tentu, cerita sukses tersebut adalah salah satu dari sekian banyak capaian-capaian penting dari gerakan komunitas perempuan di Aceh.



Program Officer, Rubama, menyampaikan pertemuan ini sebagai pertanda bahwa upaya memperbaiki tata kelola sumber daya alam tidak hanya membutuhkan komitmen pengambil kebijakan tetapi juga sangat ditentukan oleh ruang partisipasi dan kontrol publik, yang perempuan masuk ke dalamnya. Dengan demikian, dibutuhkan kolaborasi semua pihak, termasuk komitmen Pemerintah Daerah  untuk melahirkan kebijakan yang mampu memberi ruang perempuan dalam berkontribusi mempertahankan kelestarian sumber daya alam.



Pada hari pertama, agenda diawali dengan acara pembukaan yang disambut oleh Reje Kampung Damaran Baru, Abdul Gani “Kerusakan hutan telah terjadi di desa kami, hingga banjir bandang melanda desa kami pada tahun 2015. Semangat perempuan Damaran Baru lah yang membuat desa ini bangkit lagi. Harapannya semangat ini dapat menular ke perempuan Gayo lainnya” Jelasnya. Selanjutnya agenda diteruskan dengan acara ramah tamah peserta dan komunitas.



Memasuki hari kedua Rubama mengawali acara dengan talk show yang bertema “Perempuan dan Sumber Daya Alam”. Samsidar selaku tokoh perempuan Gayo, menuturkan  perempuan gayo merupakan peramu hasil hutan dan ahli pengobatan. Bahkan hal ini jauh sebelum bangsa Belanda datang dan sebelum ada dokter. Namun entah kenapa sekarang sumang (tabu) bagi perempuan menuntut ilmu, perempuan pergi ke hutan. 



Paparan ini pun ditanggapi oleh perwakilan MAG Aceh Tengah yang menyampaikan bahwa warisan adat Gayo sangat erat dengan perempuan. Sayangnya pada saat ini adat ini mulai luntur, perempuan tetap berdaya, namun ruang geraknya semakin menyempit. “Hal ini lah yang butuh diubah, dengan mengembalikan ruang perempuan dalam berpartisipasi aktif, sama saja melestarikan adat Gayo,” imbuhnya. 



Pada hari itu juga, peserta terbagi menjadi 2 kelompok yang melakukan diskusi terfokus (Focus Group Discussion). “Masing-masing kelompok membahas isu yang berbeda, diantaranya ‘Perempuan dan Wilayah Kelola’ dan ‘Perempuan dan Ekonomi Hijau’. Kemudian diskusi dilanjutkan dengan presentasi dari masing-masing kelompok,” tambah Rubama.



Selanjutnya pada hari ketiga, pertemuan ini menggelar talk show lanjutan yang mengundang Bupati Bener Meriah, Tgk Syarkawi; Bupati Aceh Tengah, Shabella Abubakar, SE; serta Pemerhati Isu Perempuan dan Sumber Daya Alam, Samsidar dan Ernani Muza Putri.



Tgk Syarkawi menyampaikan adat Gayo pada dasarnya merupakan egaliter. “Baik perempuan dan laki-laki bekerja sama-sama, dan menikmatinya bersama. Saya pribadi bangga menjadi sebagai masyarakat Gayo, karena kemitraannya sangat luar biasa. Saya mewakili Pemerintah Kabupaten sangat mendukung gerakan ini, karena kita tidak bisa maju tanpa perempuan,” begitu jelasnya.



Yusdarita, sebagai ketua PPSDA menyebutkan, perempuan adat Gayo telah melakukan berbagai upaya dalam melindungi Tanah Gayo tanpa mereka sadari, dan tentunya ini berdampak terhadap wilayah kelola dan ekonomi hijau Aceh. Sayangnya, kegiatan ini masih dipandang sebelah mata, ruang gerak perempuan pun kecil untuk berkontribusi dalam lingkup yang lebih besar. 



“Dengan forum ini lah kami para perempuan saling menguatkan. Kami sangat menghargai para tokoh dan organisasi yang turut mendukung perempuan. Karena kerjasama antara perempuan dan laki-laki perlu dilaksanakan demi kelestarian kita semua” imbau Yusdarita.[*/Red]

Komentar

Tampilkan

Terkini