-->








Syariat Islam di Aceh Semakin Suram

24 November, 2020, 22.00 WIB Last Updated 2020-11-24T15:02:29Z

SYARIAT merupakan hukum-hukum dan aturan islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun non muslim, dan disamping berisi hukum dan aturan syariat juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan kita. Penetapan tentang diberlakukanya Syariat islam di Aceh sudah ditetapkan dan didasarkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, yang mana Aceh diberi kewenangan dalam menjalankan Syariat islam secara menyeluruh yang didalamnya meliputi tentang akidah, syariah, dan akhlak. Syariah yang tertera pada poin di atas merupakan tatanan hidup masyarakat, dengan dibentuk qanun dan apa saja yang diatur di qanun itu adalah amanah dari undang-undang konstitusi. Bahkan pemberlakuan syariat islam di Aceh sekarang ini mengalami masa-masa kesuraman yang mana kurang perhatian dari pihak pemerintah dan dari badan-badan lembaga yang seharusnya selalu mengawal pemberlakuan syariat islam di Aceh, seperti Satpol PP, dan WH (Wilayahatul Hisbah).


Dalam sejarahnya, Aceh merupakan salah satu kesultanan Islam paling kuat di Asia Tenggara. Daerah ini telah lama menggunakan jenis hukum Islam informal yang dipadukan dengan hukum setempat atau yang dikenal "hukum adat". Undang-undang tersebut ditingkatkan ketika konflik separatis Aceh berakhir pada 2005. Secara bertahap, undang-undang tersebut diperluas ke lebih banyak pelanggaran dan terakhir dilakukan pada 2014. Namun faktanya, penerapan hukum syariah ini ditanggapi berbeda oleh berbagai pihak. polisi syariah memantau perilaku publik dan menegakkan aturan. Termasuk, dalam kaitannya dengan pakaian perempuan. Mereka yang dapat dikenai hukuman cambuk di hadapan publik ialah yang melakukan pelanggaran seperti seks gay (dihukum hingga 100 cambukan), zina (melakukan hubungan seks di luar pernikahan), perjudian, dan penjualan serta konsumsi alkohol Pro-kontra  penerapan  syariat  Islam di  Aceh  tidak  semudah seperti  apa yang  dibayangkan,  salah  satunya karena  masih  adanya kontroversi di kalangan   masyarakat   Aceh sendiri. Munculnya polemik  di  level pemikiran  para  intelektual  muda Aceh, merupakan realitas  yang cukup  positif  bagi  pencerdasan masyarakat  Aceh  untuk mendalami keberadaan  Islam  baik  dalam tataran  pemikiran  maupun terapannya  di  tengah-tengah masyarakat dalam  kehidupan beragama, berbangsa,   dan bernegara. Keragaman   pendapat justru   membawa rahmat  tersendiri sepanjang  masih  dapat  saling menghargai  perbedaan di  antara masing-masing  pandangan. Perbedaan  pendapat  menyangkut syariat  Islam, sebenarnya tidak hanya  terjadi di Aceh,  secara  umum perbedaan  pandangan telah muncul di kalangan umat  Islam. Hanya saja, karena Aceh yang notabene secara hukum diberikan status khusus, pro-kontra penerapan syariat Islam menjadi lebih mengemuka. Dalam kaitan ini, perbedaan pendapat tentang penerapan syariat Islam, terfregmentasi  dalam dua pandangan, yaitu  kalangan moderat yang  berpendapat bahwa syariat Islam tidak perlu  diformalisasikan. Sedangkan  kalangan konservatif melihat  bahwa syariat Islam mutlak harus diformalisasikan. Dengan demikian, secara tidak langsung kedua pendapat  tersebut memunculkan  pertanyaan tentang perlu  tidaknya penerapan  syariat Islam melibatkan kekuasaan  negara. Atau dengan. Syariat  Islam yang dicanangkan  berlaku di bumi Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 hijriyah adalah syariat Islam secara kaffah (menyeluruh/sempurna). Timbul  pertanyaan mengapa harusditambah kata-kata “kaffah“?. Bukankah ketika  kita berikrar melaksanakan syariat Islam berarti kita  harus  melaksanakan secara sempurna dan menyeluruh, meskipun tanpa menyebut  kata-kata kaffah seperti  tertera dalam dalam al-Qur’an  surat  al-Baqarah ayat 208. Penyebutan kata-kata kaffah dianggap perlu dan penting   secara politis, karena akan menentukan bagaimana  peranan dan keterlibatan  negara (Pemerintah Daerah)  dalam upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dengan demikian terlaksananya syariat Islam di Aceh bukan hanya  urusan pribadi pemeluk Agama Islam, tetapi telah menjadi tugas dan tanggung jawab Negara (Pemerintah Daerah).

  

Hari ini di Aceh tidak henti hentinya persoalan syariat islam di perbincangkan, belum lagi selesai persoalan PSK online, kemudian dihebohkan lagi dengan persoalan pelaksanaan (UGUBAT) yang baru-baru ini menjadi trending topik di warung kopi dan media masa. Padahal pelaksanaan hukuman (UGUBAT) sudah diatur dalam pasal 262 ayat (1) qanun nomor 7 tahun 2013 tentang hukuman acara jinayat yang berbunyi: Uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir, tetapi Undang-Undang tersebut hari ini dikaitkan dengan kepentingan investasi yang mengakibatkan lahirnya peraturan gubernur (Pergub) Nomor 5 Tahun 2018 tentang pelaksanaan acara hukum jinayat. Ini artinya pemerintah secara perlahan mempersempit ruang gerak syariat islam di Aceh, yang mungkin lambat laun akan terhapuskan dan syariat islam di aceh berdiri setengah tiang. 

     

Pelaksanaan hukuman cambuk di LP dan di tempat terbuka jelas berbeda teknis nya, ruang gerak masyarakat sudah jelas sempit untuk menyaksikan secara langsung dan mudah terjadinya tawar menawar hukuman. Seharusnya kebijakan gubernur tersebut perlu musyawarah khusus dengan pihak-pihak terkait seperti DPRA, MPU, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Akademisi serta para Ulama Aceh. Agar kebijakan yang di ambil dapat menyerap seluruh aspirasi dari kalangan masyarakat. Dukungan yang  besar  terhadap  pelaksanaan syariat  Islam  di  Aceh umumnya dilakukan dari orang yang secara langsung terlibat dalam organisasi Islam. Kelompok ini memang menjadi salah satu kelompok mayoritas kuat di Aceh karena mendominasi hampir semua elemen masyarakat. Sebagai daerah yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, Aceh  memang akrab dengan  organisasi yang berbasis keagamaanbaik yang berlabel organisasi sosial kemasyarakatan atau lembaga pendidikan. Namun demikian, ini bukan berarti  tidak ada elemensipil lain yang memiliki pemikiran dan pandangan berbeda terhadap syariat Islam. Beberapa kalangan dari akademisi dan lembaga swadaya masyarakat justru memiliki pandangan lain  terhadap keberadaan syariat  Islam di Aceh. Kelompok ini kelompok yang kontra-syariat Islam. Penolakan atas  formalisasi syariat Islam memang tidak dilakukan terang-terangan atas nama  organisasi atau mewakili sebuah kelompok khusus. Hal ini tampaknya dilatari oleh kenyataan sosial keagamaan di  Aceh, penolakan terhadap syariat Islam diposisikan sama dengan menolak Islam. Dalam  konteks ini, seseorang yang melakukannya akan mendapatkan sanksi sosial baik berupa tuduhan telah keluar dari agama atau telah menjadi seorang agen asing yang bertujuan menghancurkan Islam. Hal ini tentu saja tidak diinginkan oleh banyak orang ketika ia memikirkan kehidupan sosial dan kariernya lebih jauh. Bagaimanapun seseorang yang hidup dalam  sebuah masyarakat memiliki  hubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Oleh sebab itu, penolakan syariat Islam di Aceh dilakukan dengan bahasa  yang tidak langsung menampakkan kontroversi dan negasinya kepada Islam secara keseluruhan.


Disini saya sebagai penulis berharap dan sangat berharap kepada pemerintah dan semuan lembaga-lembaga penegakan dan pemantau penegakan syariat islam di Aceh untuk selalu mengambil sikap tegas dalam hal penegakan qanun-qanun yang telah ditentukan, baik itu dalam hal qanun jinayat maupun lainnya, berikan sanksi yang sepatutnya diberikan kepada pelanggar syariat tersebut, terkhusus bagi pelanggaran seperti LGBT dan pasangan mesum yang saat ini lagi marak-maraknya terjadi di Banda Aceh. Bahkan kita tahu seakan-akan penegak hukum ikut lepas tangan dalam menangani kasus tersebut, padahal kasus-kasus seperti inilah yang seharusnya dituntaskan sampai habis, kalau bisa jangan sampai terulang lagi.


Penulis: Ikhsanuddin (Mahasiswa UIN Ar Raniry Jurusan Sosiologi Agama)

Komentar

Tampilkan

Terkini