-->




Menakar Faham Feminis

25 Desember, 2022, 13.28 WIB Last Updated 2022-12-25T06:28:12Z
Oleh : Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd

A. PENGANTAR

Film Yuni menyajikan sebagian kecil kasus ketidaksetaraan gender karena budaya patriarki yang masih kental di masyarakat sebagian daerah di Indonesia.

Kamila Andini yang bertindak sebagai sutradara sekaligus penulis skenario film ini mengajak penonton menelan kenyataan pahit menjadi seorang perempuan di sebagian daerah Indonesia lewat remaja bernama Yuni (Arawinda Kirana). Remaja yang sederhana ini dituntut untuk memenuhi ekspektasi lingkungan yang memegang kuat kultur patriarki.

Film ini menyajikan realitas itu dengan sangat eksplisit dan mudah dipahami walau dialognya dibawakan dalam bahasa daerah Jawa-Serang, sesuai dengan lokasi syuting filmnya. Secara garis besar, Yuni yang terinspirasi dari kisah nyata ini membingkai fenomena diskriminasi terhadap perempuan akibat budaya patriarki. Salah satunya dalam praktik pendidikan.

Yuni yang dikisahkan memiliki prestasi akademis cemerlang mendadak bermasa depan suram kala seorang lelaki yang tak ia kenal melamarnya. Situasi itu menempatkan Yuni dalam kondisi pelik. Bagi masyarakat tempat Yuni dilahirkan, pamali bagi seorang perempuan menolak lamaran karena dianggap akan membawa malapetaka. Sehingga, Yuni dipaksa oleh masyarakat untuk mengikuti 'aturan' tersebut meski keluarga intinya membebaskan remaja perempuan itu untuk tetap bersekolah. Narasi ini tidak jauh beda dengan kenyataan, ketika suara-suara sumbang berisi perempuan tidak wajib memiliki pendidikan tinggi karena hanya memiliki 'nasib' menikah dan mengurus rumah tangga.

Ketidakadilan atas pemenuhan hak pendidikan untuk perempuan juga digambarkan jelas oleh Kamila Andini melalui Kepala Sekolah yang menghalangi guru Yuni, Bu Lies (Marissa Anita), dalam mendorong siswi itu mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Kamila Andini seolah memberikan kritikan bahwa hak untuk memperoleh pendidikan antara laki-laki dan perempuan masih belum setara di Indonesia.

Tak hanya di institusi pendidikan, budaya patriarki yang telah bercokol selama bertahun-tahun juga menyudutkan perempuan di ranah rumah tangga.

Hal ini tergambar melalui Tika (Anne Yasmine) yang dipaksa menikah saat masih duduk di bangku pertama SMA. Tika yang masih remaja mesti melepas pendidikan demi mengurus bayi, sementara suaminya bebas berkeliaran tak ada yang menentang.

Melalui adegan itu, Kamila menunjukkan realitas bahwasanya sebagian masyarakat masih terjebak dengan pemahaman "perempuan hanya layak mengisi ranah domestik". Sedangkan laki-laki, punya keistimewaan untuk mengatur hidupnya. Konsep itu yang ingin didobrak Kamila Andini dalam film ini. Yuni mewakili perempuan-perempuan yang ingin terbebas dari 'aturan' patriarki di lingkungannya dan tidak ingin hanya sekadar memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarnya.

Selain diskriminasi terhadap perempuan, miskonsepsi tentang pendidikan seks di lingkungan pendidikan Indonesia juga dipotret oleh film Yuni. Seperti ketika muncul wacana tes keperawanan bagi siswi dengan dalih mencegah seks di luar nikah. Hal itu memberikan gambaran bahwa pendidikan seks hanya dipahami seputar bahaya hubungan badan semata.

Padahal materi-materi dalam pendidikan seks jauh lebih kompleks dari aspek biologis, misalnya hubungan interpersonal, kesetaraan gender, integritas tubuh, dan bahaya pernikahan usia dini yang kuat diangkat di film ini.

Konsep akan nilai perempuan dalam masyarakat yang masih patriarki itu pula yang melatarbelakangi praktik pernikahan dini dalam film Yuni, dan juga masih dilakukan di sebagian daerah di Indonesia. Para remaja perempuan dipaksa menikah dengan banyak alasan mulai dari mencegah hamil diluar nikah yang dianggap membawa aib keluarga, hingga faktor ekonomi. Bahkan lebih jauh, pernikahan seolah dianggap sebagai "jalan keluar" segala permasalahan hidup. Baca ini. 

B. PREMIS PAHAM FEMINIS

Budaya, adat istiadat dan kebiasaan sememangnya adalah produk ciptaan akal manusia, maka pasti tidak luput dari kelemahan dan kekurangan. Tentu kesalahan hasil kreasi manusia harus diluruskan. Apakah memperbaikinya harus dengan ide feminis? Jawabannya tidak sama sekali.

Dalam membahas perempuan dan masalahnya, kaum feminisme kerap menggulirkan isu disparitas gender. Pejuang feminis selalu mengasosiasikan pernikahan dan rumah tangga sebagai salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Fakta yang tidak shohih mereka jadikan pijakan, sehingga keliru dalam mengidentifikasi masalah yang berbuah kesalahan dalam membuat solusi. Alih-alih menentukan masalah mengapa perempuan masih mengalami ketidakadilan dalam semua aspek kehidupan, mereka malah bersibuk ria dengan tuntutan kesetaraan gender tersebab isu ini dianggap sebagai biang keladi.

Bukannya menawarkan solusi relasi laki-laki dan perempuan dalam mewujudkan peradaban yang mulia, mereka justru menuding superioritas laki-laki atas perempuan sebagai akar permasalahan. Cara berpikir seperti ini jelas menunjukkan kekeliruan berpikir feminis. Karena ada pertentangan yang sangat terang antara tuntutan mereka dan kenyataan yang terjadi di masyarakat.

Pertentangan antara tuntutan dan kenyataan dalam frame berpikir feminis sebetulnya akibat pola pikir sekuler yang mendewakan kebebasan individu di atas segalanya. Mereka ingin perempuan bebas berpikir dan bertingkah laku, tetapi mereka juga yang memasarkan kebebasan individu yang justru memicu maraknya masalah pada kaum perempuan. Buktinya, sekian tahun berjuang, masalah ketidakadilan tetap membelit kaum perempuan, bahkan cenderung terus naik. 

Secara kasat mata, kaum feminis seringkali menyalahkan Islam dalam membahas ketidakadilan yang dialami kaum perempuan. Begitulah ketika manusia menganggap berhak mengatur kehidupannya sendiri, maka solusi yang dikeluarkan lahir berdasarkan kecenderungan perasaan belaka. Walhasil, kaum feminis kerap mempersoalkan masalah dengan menonjolkan sensitivitas feminisme. Contohnya masalah waris, masa iddah, hijab, poligami dan beberapa syariat Islam yang dipandang merendahkan kaum perempuan.

C. ISLAM MEMULIAKAN KAUM PEREMPUAN

Islam dengan jelas mengatur dalam perkara-perkara mana perempuan sejajar dengan laki-laki dan dalam perkara mana perempuan berbeda dengan laki-laki. Hal tersebut dikembalikan kepada kodratnya masing-masing, baik secara biologis, fisiologis, psikologis, dan sosiologis. 

Allah SWT membedakan peran laki-laki (kewajibannya sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah) dan perempuan (kewajibannya menjadi ummu wa rabbatul bait). Namun sebagai bagian dari masyarakat, mereka sama-sama berkewajiban melakukan amar makruf nahi munkar, termasuk dalam aktivitas politik yang mulia.

Ide feminisme sendiri bukanlah ide yang berasal dari Islam, tetapi merupakan buah dari sistem sekuler, sistem yang tidak pernah menjadikan ajaran agama (baca : Islam) sebagai acuan dan panduan. Sistem sekuler memandang bahwa keadilan adalah apa-apa yang sesuai dengan kemauan dan kesukaan, padahal 2 hal ini selalu didominasi oleh perasaan dan hawa nafsu belaka yang tentu tidak valid dalam menentukan aturan.

Jelaslah cara pandang sistem rusak ini tidak manusiawi karena secara fitrah penciptaan ada yang sama antara laki- laki dan perempuan tetapi ada pula yang berbeda. Ide feminisme bukanlah solusi atas problematika perempuan, karena sangatlah absurd keadilan disandarkan pada persamaan 100% antara laki-laki dan perempuan. Penerapan sistem sekuler lah yang merupakan induk dari ide feminisme yang mengakibatkan perempuan berkubang dalam kesulitan. Negara-negara yang menerapkan ide ini terbukti telah gagal melepaskan perempuan dari ketidakadilan, gagal memberikan keamanan dan ketenteraman perempuan, dan gagal mewujudkan kehormatan perempuan. Kalau pun ada keberhasilan dari ide ini, hanyalah menghasilkan kemajuan semu dan justru membelit perempuan semakin kuat dalam persoalan. 

Hanya Islam yang mampu memuliakan perempuan. Rasulullah SAW bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita. “ (HR. Muslim : 3729). Islam tidak hanya menjamin hak-hak perempuan, tetapi juga menjaga mereka dari segala hal yang dapat menodai kehormatannya, menjatuhkan wibawa dan merendahkan martabatnya. Atas dasar inilah kemudian aturan ditetapkan oleh Allah SWT agar kaum perempuan dapat menjalankan peran strategisnya bekerjasama dengan laki-laki sebagai pembangun peradaban gemilang.

Peradaban Islam telah memberikan ruang yang memadai kepada para muslimah untuk berkiprah di tengah masyarakat. Tinta sejarah telah mencatat hal itu, dan di antara sosok-sosok mulia tersebut adalah :

1. Ummul mukminin Khadijah binti Huwailid radhiyallahu anha (wafat 620 M), memainkan peran sentral dalam mendukung dan menyebarkan risalah Islam, sebagaimana tampak dari tutur Rasulullah  ﷺ, yang artinya, "Allah subhanahu wa ta'ala tidak tidak pernah memberiku pengganti yang lebih baik dari Khadijah. Ia beriman kepadaku ketika orang lain kufur, dia percaya padaku ketika orang mendustakanku; ia memberikan kekayaannya kepadaku saat tidak ada orang lain yang membantuku,…" (HR Bukhari, Ahmad dan Thabrani). 

2. Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah binti Abu Bakr, Shiddiqah binti Shidiqul Akbar radhiyallahu anha. Kiprahnya dalam pendidikan begitu menonjol. Beliau tercatat sebagai yang terbanyak meriwayatkan hadis dan memiliki keunggulan dalam berbagai cabang ilmu seperti ilmu fikih, kesehatan dan syair Arab. Setidaknya 1.210 hadist yang Beliau riwayatkan disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim. Hisyam bin Urwah pernah berkata: “Pada zamannya tidak ada orang yang menandingi Aisyah dalam tiga bidang ilmu yaitu: ilmu fiqh, ilmu pengobatan dan ilmu syair”.

3. Fatimah Al Fihri, anak seorang saudagar kaya, pendiri madrasah yang sampai hari ini masih berfungsi sebagai University Al Quaraouiyine sebagai Universitas di dunia. Di Universitas ini juga ia dirikan perpustakaan yang merupakan perpustakaan tertua di dunia. Perpustakaan ini antara lain mengkoleksi lebih dari 4000 manuskrip. 

Demikianlah contoh sosok muslimah yang berjasa dan berkontribusi dalam masa peradaban Islam. Mereka berdedikasi super dalam rangka menggapai ridho Allah Taala semata. Mereka bukan hasil didikan ide feminis tetapi buah gemblengan Islam. 

D. PENUTUP

Ide feminisme tidak akan pernah memberi kemuliaan hakiki kepada perempuan. Ia memberi mimpi semu tentang keadilan, namun menggadaikan kebahagiaan sejati perempuan. Hanya Islam yang sanggup memberikan keadilan dan kemuliaan bagi kaum perempuan. Wallahu’alam.

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Komentar

Tampilkan

Terkini