-->








Aliansi Intelijen Indonesia, Malaysia dan Filipina dalam Melihat Angsa Hitam di Laut Cina Selatan

28 April, 2024, 15.18 WIB Last Updated 2024-04-28T08:20:03Z
Peta Laut China Selatan (Foto BBC)
ANGSA HITAM adalah sebuah kiasan untuk suatu ancaman yang sifatnya mengancam secara kritis dan kompleks. Angsa hitam merupakan teori yang dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb yang dijabarkan sebagai sebuah anomali yang dapat diketahui dan dapat diatasi namun kompleksitas yang tinggi membuat angsa hitam menjadi pemicu dari suatu fenomena yang justru berimplikasi pada kompleksitas yang rumit.

Hal ini berlaku bagi ancaman yang terjadi di laut Cina Selatan.Republik Rakyat Tiongkok sebagai pemeran utama ataupun villain bagi negara Kawasan asia tenggara dengan melihat selama hampir satu dekade terakhir Republik Rakyat Tiongkok melakukan manuver politik ataupun militer di Kawasan Laut Cina Selatan dengan sengketa wilayah berupa klaim historis mengenai kepemilikan Laut Cina Selatan yang direpresentasikan melalui peta terbaru Tiongkok di tahun 2023 yang mengklaim sejumlah wilayah yang saling terhubung dengan sepuluh garis putus-putus yang dinamakan ten dash line dan menyeret berbagai negara di kawasan Indocina untuk bersengketa dengan Republik Rakyat Tiongkok.

Sehingga menyebabkan destabilisasi di kawasan Laut Cina Selatan, tentunya ASEAN sebagai komunitas diplomasi negara Asia Tenggara telah membuat pernyataan bersama “code of conduct”  dengan Republik Rakyat Tiongkok yang berisikan pernyataan bagaimana negara-negara di Laut Cina Selatan bertindak untuk menjaga stabilitas kawasan. Namun hal ini seperti tidak dihiraukan oleh Republik Rakyat Tiongkok, terbukti dengan hasil rilis peta wilayah Tiongkok pada tahun 2023 serta terjadinya insiden penembakan meriam air oleh kapal coast guard Tiongkok ke kapal nelayan Filipina di sekitar kawasan Siedre Madre,Kepulauan Palawan dan proyek jangka panjang berupa pembangunan pangkalan militer Tiongkok dengan langkah awal melakukan pembuatan pulau buatan di Kepulauan Spratly yang merupakan wilayah sengketa dengan pemerintah Taiwan dan Vietnam.

Tiongkok dengan berbagai manuver  kebijakan politik luar negeri ataupun militer, telah menyebabkan potensi destablisasi kawasan dengan menyeret berbagai negara untuk terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan. Hal ini tentunya dapat berkembang menjadi lebih rumit pada skenario terburuk berpotensi terjadinya konfrontasi jika klaim Tiongkok dilakukan dengan agresif untuk merebut wilayah yang mereka klaim dari sejumlah negara di kawasan Indocina. Dan menyebabkan medan perang yang luas dengan kompleksitas yang rumit antar aktor yang terlibat menjadi saling terdependensi dan memicu konflik berkepanjangan.

Hal ini dilatarbelakangi dengan keinginan Tiongkok mengamankan kebijakan perekonomiannya di kawasan pasifik yang dinamakan Belt Road Initiative(BRI) berupa jalur rantai distribusi komoditas milik Tiongkok yang menghubungkan Tiongkok hingga ke kawasan asia tengah dijuluki sebagai jalur sutra modern. Tiongkok melalui klaim sepihak pada wilayah di Laut Cina Selatan yang dikenal dengan  nama nine dash line, kemudian pada peta Tiongkok di tahun 2023 kini sudah menjadi ten dash line yang secara kompak dikecam oleh negara-negara Asia tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina dan Thailand.

Selain itu, Republik Rakyat Tiongkok sedang menghadapi hegemoni Amerika Serikat di kawasan pasifik dengan turut menyinggung kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan Pasifik yakni mendukung sepenuhnya kemerdekaan Taiwan atas Republik Rakyat Tiongkok seperti dengan menegaskan kebijakan “One China Policy” kepada pemerintahan Taiwan dan membangun pulau buatan di perbatasan wilayah Tiongkok-Taiwan yang menjadi sengketa dalam konflik Laut Cina Selatan.

Indonesia memiliki kepentingan dalam konflik Laut Cina Selatan dikarenakan wilayah Blok Natuna Utara yang masuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia turut masuk dalam klaim wilayah ten dash line oleh Tiongkok dan merupakan pelanggaran kedaulatan laut. Tentunya pemerintah Indonesia turut mengambil dengan kecaman kementerian luar negeri Indonesia dan gugatan bersama di arbitrase internasional yang menyatakan klaim Tiongkok tidak sah, namun melihat manuver Tiongkok selama satu dekade terakhir di kawasan seakan menegaskan bahwa tidak ada satu pihakpun yang dapat menghalangi kepentingan Tiongkok di kawasan Laut Cina Selatan.

Ancaman kedaulatan laut yang dilakukan oleh Tiongkok dapat mengganggu  keamanan laut Indonesia. Dan jika tidak diatasi ataupun diredusir akan membahayakan eksistensi kedaulatan Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Prunkun bahwa suatu ancaman menjadi kritis apabila musuh memiliki sumberdaya dan niat untuk mengancam.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Secara eksplisit Tiongkok menunjukan legitimasinya sebagai negara superpower dengan melakukan manuver politik dan militer di kawasan Laut Cina Selatan tanpa memperdulikan kecaman dan sengketa yang terjadi dengan memanfaatkan kekuatan militer yang tidak sebanding daripada negara-negara di kawasan Laut Cina Selatan. Ditambah faktor perekonomian dimana negara yang berkonflik cenderung hedging dengan perekonomian Tiongkok  sebagai eksportir ataupun importir  komoditas bagi Tiongkok.

Hadir sebagai aktor antagonis di Kawasan Asia Tenggara yang mengancam stabilitas kawasan dan tidak hanya membahayakan kedaulatan laut Indonesia melainkan sejumlah negara di kawasan, tentunya Indonesia harus mengembangkan kerjasama yang lebih komprehensif antarnegara melalui skema kerjasama minilateralisme dalam menghadapi aktor antagonis yang ada di kawasan dalam menihilkan ancaman yang dapat dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok yang jika dibiarkan dapat menjadi seekor angsa hitam bagi keamanan nasional Indonesia.

Indonesia harus menyadari posisinya sebagai negara middle power tentu akan sulit menghadapi hegemoni Tiongkok, maka dari itu skema kerjasama minilaterisme melalui pembentukan aliansi intelijen yang lebih lanjut menjadi  kerjasama militer terintegrasi secara taktis dan teknis melalui integrasi data  dengan system network warfare  antar gabungan militer ketiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Filipina menjadi solusi dalam menghadapi ancaman kedaulatan laut yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok.

Peluang terjalinnya kerjasama terbuka lebar ditinjau kebijakan luar negeri kedua negara yang berafiliasi dengan sejumlah negara major yang merupakan sekutu dekat kedua negara seperti yang kita ketahui bahwa Malaysia merupakan bagian dari persemakmuran Inggris dengan mayoritas penduduk etnis Melayu beragama muslim dan merupakan tetangga dekat menjadi faktor pendorong tercapainya kerjasama dan saat ini dipimpin oleh perdana Menteri Anwar Ibrahim turut mengambil sikap mengecam terhadap klaim sepihak Tiongkok.

Filipina dibawah kepimpinan Ferdinan Marcos Jr secara eksplisit menyatakan akan menghadapi ancaman yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok dan mengecam setiap provokasi di kawasan Laut Cina Selatan dengan mengambil langkah strategis berupa kerjasama militer dengan Amerika Serikat melalui izin atas akses sejumlah pangkalan militer Filipina dan secara terbuka Joe Biden selaku presiden  Amerika Serikat menyatakan memberikan dukungan penuh untuk setiap kepentingan Filipina di kawasan Laut Cina Selatan.

Kepentingan geopolitik yang sama dalam melihat Republik Rakyat Tiongkok sebagai ancaman di Kawasan Laut Cina Selatan  ini dapat menjadi alasan terciptanya aliansi intelijen dan integrasi kekuatan militer menjadi ujung tombak dalam menghadapi permasalahan kedaulatan di Kawasan Laut Cina Selatan terkhusus sub Kawasan Semenanjung melayu yang dihuni Indonesia,Malaysia dan Filipina.

Kerjasama minilateralisme yang direprentasikan melalui aliansi intelijen  dengan memanfaatkan masing-masing komunitas intelijen yang dimiliki ketiga negara dalam mengawasi aktivitas Tiongkok secara langsung dan tidak langsung yang menganggu kedaulatan ketiga negara khususnya pada kedaulatan laut di Kawasan Laut Cina Selatan dengan pengumpulan informasi strategis yang diperoleh dan menjadi laporan yang ditinjau bersama melalui fusi informasi oleh stakeholder intelijen yang berwenang setiap indikasi kerawanan ataupun ancaman yang dilakukan oleh Tiongkok di kawasan Laut Cina Selatan ataupun pembentukan unit khusus yang dilakukan oleh ketiga negara dalam melakukan penyelidikan pada manuver Tiongkok.

Sehingga dapat tercapainya rumusan kebijakan dan saran tindak pada pemerintah masing-masing negara dalam mengambil sikap pada manuver Tiongkok di kawasan Laut Cina Selatan sebagai alarm cegah dini pertahanan dan keamanan ketiga negara melalui masing-masing komando pertahanan ketiga matra yakni darat, laut dan udara yang dikirimkan ke command center yang berbasis pada skema network information warfare yang dilakukan ketiga negara dapat menciptakan arus informasi sehingga memenuhi prinsip velox et excatus, dengan demikian dapat digunakan dalam menghadapi ancaman kedaulatan yang dilakukan oleh Republik Rakyat Tiongkok.

Gagasan mengenai aliansi intelijen bukanlah barang baru selama ini, proyek aliansi intelijen Five Eyes yang dikembangkan oleh Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Kanada dan Inggris telah menyuplai berbagai informasi strategis  pada kerjasama  bidang pertahanan dan keamanan diantara kelima negara dalam menghadapi ancaman keamanan nasional.

Pembentukan aliansi intelijen tentunya menjadi implikasi bagi manuver militer Tiongkok di kawasan semenanjung Melayu sehingga menjadi kalkulasi bagi Tiongkok untuk melakukan manuver militer secara agresif di Kawasan Laut Cina Selatan lebih lanjut pembentukan aliansi intelijen berbasis pada fusi informasi dari komunitas intelijen domestik yang secara hirarkis diolah menjadi laporan terintegrasi antar ketiga negara dan menciptakan fusi informasi berbasis kerja sama antar anggota aliansi dapat dikembangkan menjadi kerja sama pakta pertahanan non formal berupa integrasi kekuatan militer ketiga negara bila eskalasi di kawasan sewaktu-waktu meningkat. Aliansi intelijen ketiga negara yang dibuat diharapkan dapat memudahkan Indonesia  mendeteksi dan mengatasi kemungkinan hadirnya “angsa hitam” pada ancaman kedaulatan laut di Kawasan Laut Cina Selatan.

Penulis: Arnold Darmawan (Pemerhati Kedaulatan NKRI)

DAFTAR PUSTAKA
• Taleb, N. N. (2008). The black swan. Penguin Books.
• Prunckun, H. (2019). Counterintelligence theory and practice. (2nd ed.) Rowman & Littlefield Publishers.
• Hanita, M. (2019). Pemikiran-Pemikiran Stratejik Intelijen. UI Publishing.
Hu, L. (2023). Examining ASEAN's effectiveness in managing south china sea disputes. Pacific Review, 36 (1), 119-147.
• Gerstl, A., & Strasáková, M. (2016;2017;). The south china sea conflict: Ten thousand stones and a nine-dash- line – rethinking maritime space concepts. Studies in east asian security and international relations (pp. 168-182). BRILL.
• Wuthnow, J. (2019). U.S. 'minilateralism' in asia and china's responses: A new security dilemma? The Journal of Contemporary China, 28 (115), 133-150
• O’Neil, A. (2017). Australia and the ‘Five Eyes’ intelligence network: the perils of an asymmetric alliance. Australian Journal of International Affairs, 71 (5), 529–543.
Komentar

Tampilkan

Terkini