PANCASILA telah menjelma menjadi semacam ritus ideologis yang diucapkan berulang dalam seremoni, disisipkan dalam dokumen resmi, dan dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan, namun jarang benar-benar dihayati sebagai nilai hidup bersama. Ia hadir di podium kekuasaan, terpampang di dinding lembaga, dan disuarakan dalam berbagai forum publik. Dalam intensitas kehadirannya itu, justru muncul kegelisahan yang mendalam: mengapa kehadirannya terasa semakin kosong? Mengapa bangsa yang mengaku berpancasila tetap hidup dalam ketimpangan sosial, perampasan ruang hidup, komersialisasi pendidikan, dan normalisasi kekerasan struktural? Apakah Pancasila masih menjadi pedoman etika kolektif, atau telah menjelma menjadi simbol ideologis yang disakralkan tanpa diperjuangkan secara nyata?
Di tengah krisis multidimensi yang melilit negeri ini, dari ketimpangan ekonomi yang ekstrem hingga kehancuran ekologi yang sistemik, dari stagnasi demokrasi hingga krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara, Pancasila tampak tidak hadir sebagai prinsip penuntun yang hidup. Ia menjadi simbol yang kehilangan arah. Fungsi etisnya tersingkir oleh kebutuhan stabilitas jangka pendek. Ia dijadikan tameng legitimasi kekuasaan, bukan cermin untuk mengoreksi penyimpangan. Ia dibacakan oleh mereka yang melanggarnya dan disucikan oleh mereka yang menjadikannya instrumen kuasa.
Pancasila sering disebut sebagai ideologi terbuka. Namun dalam praktik politik dan hukum kita hari ini, ruang tafsirnya justru terasa menyempit. Tafsir atas Pancasila dimonopoli oleh negara, dilembagakan dalam dokumen resmi, dan diseragamkan dalam narasi tunggal yang steril dari gugatan sosial. Kritik terhadap struktur ekonomi yang timpang, pertanyaan terhadap kebijakan yang diskriminatif, atau perlawanan terhadap dominasi pasar kerap dicurigai sebagai ancaman terhadap kesatuan. Padahal dalam sejarah kelahirannya, Pancasila bukanlah alat kekuasaan, melainkan rumusan etika politik yang lahir dari pergulatan sejarah dan keberanian berpikir.
Jika sila pertama dimaknai sebagai pengakuan atas moral transenden, mengapa kebijakan negara justru kerap menindas yang lemah dan mengabdi pada kepentingan modal? Jika sila kedua menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, mengapa rakyat miskin masih diposisikan sebagai beban, bukan sebagai subjek pembangunan? Jika sila ketiga mengusung persatuan, mengapa persatuan itu dijadikan dalih untuk menertibkan perbedaan? Jika sila keempat menegaskan kerakyatan dalam permusyawaratan, mengapa demokrasi dikerdilkan menjadi prosedur elektoral yang dikendalikan modal? Jika sila kelima menjanjikan keadilan sosial, mengapa distribusi sumber daya dan kesempatan masih dikuasai oleh segelintir elit?
Negara mengklaim sebagai pembina ideologi Pancasila. Klaim semacam ini menuntut syarat moral yang dalam. Apakah negara sungguh berhak membina nilai yang dalam praktiknya sering dilanggarnya? Apakah mungkin membangun kesadaran ideologis tanpa membersihkan mentalitas transaksional dalam kekuasaan? Apakah mungkin membumikan Pancasila jika yang dijalankan hanya pelatihan, seremoni, dan slogan, tanpa menyentuh akar ketidakadilan struktural? Pembinaan ideologi sejati tidak bertumpu pada reproduksi narasi, melainkan pada transformasi cara berpikir dan bertindak. Ia bukan sekadar proyek kelembagaan, melainkan proses historis dan kultural yang melibatkan seluruh elemen bangsa dalam perjuangan etis yang berkelanjutan.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Hari ini, Rancangan Undang-Undang tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tengah dibahas di DPR. Di atas kertas, ia bertujuan memberikan dasar hukum bagi lembaga yang mengemban tugas strategis. Namun yang dipertaruhkan bukan sekadar status hukum, melainkan arah pembinaan itu sendiri. Apakah BPIP akan menjadi ruang tafsir yang kritis dan partisipatif, atau justru menjadi lembaga yang memonopoli kebenaran? Apakah undang-undang ini menjamin perlindungan terhadap kebebasan berpikir dalam kerangka etika Pancasila, atau malah membuka jalan bagi penertiban pikiran atas nama loyalitas negara?
RUU ini tidak boleh berhenti pada penguatan kelembagaan. Ia harus menjamin mekanisme kontrol publik terhadap BPIP sebagai lembaga ideologis. Tanpa pertanggungjawaban yang transparan dan partisipatif, pembinaan ideologi berisiko berubah menjadi ruang gelap kekuasaan yang steril dari koreksi.
Yang dibutuhkan bukan lembaga penafsir tunggal, melainkan ruang publik yang hidup. Pancasila bukan kitab yang hanya boleh dibacakan oleh negara, melainkan etika yang harus terus ditafsirkan secara demokratis. Ia harus ditulis ulang dalam tindakan petani yang mempertahankan lahannya, dalam inisiatif warga yang membangun koperasi, dalam suara anak muda yang menolak diskriminasi, dan dalam keputusan kebijakan yang berpihak pada yang paling lemah.
Pancasila tidak membutuhkan pemujaan. Ia hidup bukan karena sering disebut, tetapi karena keberanian untuk memperjuangkannya. Ia menolak dijadikan simbol kosong. Ia menuntut kesetiaan yang berpijak pada kenyataan, bukan pada slogan. Ia tidak lahir untuk melanggengkan kekuasaan, melainkan untuk menantangnya ketika menyimpang dari cita-cita keadilan.
Tugas kita hari ini bukan mempertahankan Pancasila sebagai lambang, melainkan merebutnya kembali sebagai medan perjuangan rakyat. Ia bukan doktrin yang membekukan pikiran, melainkan kompas yang menyalakan keberanian. Ia bukan milik negara semata, melainkan milik seluruh warga yang menghendaki kehidupan yang adil dan bermartabat. Dalam situasi bangsa yang penuh ketimpangan, hanya keberanian untuk menghidupkan Pancasila secara otentik yang akan menyelamatkan republik ini. Dan itu mensyaratkan satu hal: keberanian untuk berpihak, menggugat, dan berpikir melampaui kepatuhan.
Penulis: Arvindo Noviar (Ketua Umum DPP PRABU)