-->

Bencana Aceh, Negara Hadir, Namun Masih Perlu Disempurnakan

17 Desember, 2025, 12.21 WIB Last Updated 2025-12-17T05:21:36Z
BENCANA banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh dalam beberapa pekan terakhir kembali menguji makna kehadiran negara di tengah penderitaan warganya. Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, saya mengikuti penanganan bencana ini dengan penuh perhatian, sekaligus dengan rasa hormat dan kejujuran. Negara memang hadir. Namun, kehadiran itu masih memerlukan penyempurnaan agar benar-benar dirasakan hingga ke lapisan masyarakat paling rentan.

Harus diakui, negara tidak tinggal diam. Aparat TNI dan Polri, tenaga kesehatan, relawan, serta unsur pemerintah pusat dan daerah bergerak ke lapangan. Posko pengungsian dibangun, dapur umum dioperasikan, layanan kesehatan darurat disiagakan, dan bantuan logistik disalurkan. Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, langkah-langkah tersebut mencerminkan berjalannya fungsi dasar negara dalam fase tanggap darurat. Atas ikhtiar itu, apresiasi layak diberikan.

Namun, kehadiran negara tidak hanya diukur dari laporan resmi atau aktivitas di pusat pengungsian. Dalam perspektif tata kelola kebencanaan modern, negara dinilai hadir apabila perlindungan dan pelayanan benar-benar dirasakan oleh warga hingga ke wilayah terjauh. Di sinilah tantangan Aceh terlihat nyata. Kondisi geografis yang didominasi pegunungan, sungai besar, serta kampung-kampung yang terpisah oleh alam menjadikan akses logistik dan layanan publik tidak selalu mudah. Hingga hari ini, masih terdapat wilayah dengan jembatan penghubung yang belum pulih, akses darurat terbatas, dan distribusi bantuan yang belum merata. Bahkan, ada kampung yang nyaris hilang akibat terjangan bencana.

Persoalan lain yang patut menjadi perhatian serius adalah pola pengungsian masyarakat Aceh. Banyak warga memilih mengungsi ke rumah saudara, meunasah, atau tempat non-resmi demi menjaga kehormatan keluarga dan nilai kebersamaan. Pilihan ini sejalan dengan budaya Aceh, tetapi dalam praktik administrasi kebencanaan, mereka sering kali tidak tercatat sebagai pengungsi formal. Akibatnya, bantuan logistik dan layanan kesehatan tidak selalu menjangkau mereka. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pendekatan birokratis negara dan realitas sosial masyarakat di lapangan. 

Dalam kajian kebijakan publik, efektivitas negara sangat ditentukan oleh kemampuannya menyesuaikan prosedur dengan konteks lokal. Negara yang hadir secara substantif bukanlah negara yang kaku pada mekanisme, melainkan negara yang adaptif terhadap budaya dan kebutuhan warganya, terutama dalam situasi krisis.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Pengalaman Aceh menghadapi tsunami 2004 memberikan pelajaran penting. Saat itu, kerja sama yang terukur dengan komunitas internasional, di bawah kendali negara, justru mempercepat pemulihan tanpa mengurangi kedaulatan. Karena itu, kehati-hatian pemerintah dalam menerima bantuan luar negeri dapat dipahami. Namun, keselamatan dan pemulihan rakyat seharusnya tetap menjadi pertimbangan utama, dengan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kemanusiaan.

Rencana pemerintah membentuk satuan tugas atau badan khusus penanganan bencana patut diapresiasi. Dalam teori manajemen krisis, satu komando dengan kewenangan yang jelas terbukti mampu mempercepat pengambilan keputusan, terutama dalam pembangunan jembatan darurat, pembukaan akses logistik, dan penjangkauan wilayah terisolasi. Tanpa koordinasi yang kuat, penanganan bencana berisiko berjalan terpisah-pisah dan kehilangan momentum.

Yang tidak kalah penting adalah fase pascabencana. Banyak masyarakat Aceh, khususnya petani, kehilangan sawah dan ladang yang menjadi sumber penghidupan utama. Tanpa jaminan hidup sementara, bantuan pertanian, dan program pemulihan ekonomi berbasis desa, bencana alam berpotensi berkembang menjadi krisis sosial yang lebih panjang. Dalam literatur pembangunan pascabencana, pemulihan ekonomi rakyat merupakan prasyarat utama untuk mengembalikan martabat dan ketahanan sosial masyarakat terdampak.

Sebagai orang Aceh, saya ingin menegaskan bahwa Aceh tidak menuntut perlakuan istimewa. Yang kami harapkan adalah kehadiran negara yang utuh: hadir sejak bencana terjadi, hadir dalam masa darurat, dan tetap hadir hingga kehidupan rakyat benar-benar pulih. Kehadiran negara bukan sekadar simbol atau pernyataan politik, melainkan komitmen berkelanjutan yang diwujudkan dalam kebijakan, anggaran, dan keberpihakan nyata.

Dalam nilai dan budaya Aceh, musibah dipahami sebagai ujian dari Allah SWT. Namun, iman tidak pernah menafikan ikhtiar. Justru, kesungguhan manusia dalam menolong sesama adalah bagian dari jawaban atas ujian tersebut. Negara, sebagai representasi kehendak kolektif bangsa, memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun warga yang merasa ditinggalkan.

Aceh kuat karena iman, dan Indonesia akan benar-benar kuat ketika negara hadir secara utuh dan adil bagi seluruh rakyatnya.

Penulis: T. A. Hafil Fuddin, S.H., S.I.P., M.H (Mantan Pangdam Iskandar Muda, Tokoh Masyarakat Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini