LINTAS ATJEH | ACEH TENGAH - Keringat bercampur lumpur. Nafas tertahan di setiap langkah. Di tengah sisa amukan banjir bandang dan longsor yang belum sepenuhnya reda, seorang jurnalis dari Tanoh Gayo memilih berjalan, bukan menyerah.
Abdul Rahman, wartawan asal Kabupaten Aceh Tengah, menapaki jalan rusak sejauh empat hingga lima kilometer. Jalan itu bukan sekadar terputus—jembatan runtuh, badan jalan tergerus, lumpur menganga, dan sungai masih deras mengalir. Namun dua pekan setelah bencana melanda Aceh Tengah dan Bener Meriah, niatnya tak ikut hanyut.
Ia berjalan kaki menyusuri jalur Kampung Buntul hingga Kampung Camp dan Seni Antara, Kecamatan Permata. Empat jembatan putus total. Di kiri-kanan, alat berat bekerja, deru mesinnya bersahut-sahutan dengan suara air dan langkah kaki para pejalan. Rahman terus melangkah, menahan letih, menepis ragu, mengejar satu tujuan: Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Angkatan ke-20 di Lhokseumawe.
Jalan setapak berlumpur memaksanya sesekali memijak bebatuan terjal, menyeberangi sungai yang belum surut. Langit mendung mengintai. Ia tak berani menoleh ke kanan dan kiri—takut hujan turun lebih lebat di daerah dengan curah hujan tinggi itu. Rintik sempat jatuh satu-satu. “Alhamdulillah, sampai di perbatasan hujan menghilang,” ujarnya lega.
Rahman bukan jurnalis baru. Usianya 52 tahun. Kompetensi Madya sudah di tangan, kini ia ingin naik satu tingkat: Utama. Puluhan tahun ia menekuni dunia pers, cetak dan daring. Dari kuli tinta itu pula ia membesarkan keluarga—seorang istri, dua putra yang telah menamatkan pendidikan di Politeknik Lhokseumawe, dan satu anak berusia 15 tahun yang masih duduk di bangku SLTA. Hidupnya sederhana, tekadnya tak pernah.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Setelah melewati ruas terputus, harapan datang bersama deru mesin mobil. Tumpangan mulai ada. Ia bertanya pada seorang kondektur L300: ongkos ke Lhokseumawe Rp120 ribu. Rahman terdiam, lalu melangkah lagi. Beberapa waktu kemudian, L300 lain—mengangkut BBM, pulang membawa penumpang—berhenti. “Berapa ongkos ke Lhokseumawe, Pak?” tanyanya. “Rp80 ribu,” jawab sopir. Rahman jujur, uangnya tinggal Rp50 ribu. Sopir itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Boleh. Tapi jangan bilang-bilang,” katanya lirih.
Di dalam mobil, Rahman kembali menjadi wartawan. Ia menyapa penumpang yang membawa cabai dan sayur. “Dari mana, Pak?” Dari Tingkem, hendak pulang ke Langsa. Kuli kebun, upahan. Percakapan singkat, hangat, manusiawi—seperti perjalanan itu sendiri.
Sepuluh menit kemudian, anak Rahman datang menjemput dari Lhokseumawe. Ia turun, mengucap terima kasih, lalu melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor hingga kota tujuan. Senja hampir habis saat ia tiba. Ia singgah di kos kawan anaknya, lalu menuju hotel untuk melapor telah sampai dari Aceh Tengah.
Di meja resepsionis Hotel Sydney, jantung kota Lhokseumawe, angka kembali menguji langkahnya. “Empat ratus ribu semalam,” kata petugas. Seorang kawan peserta dari Bireuen menawarkan berbagi kamar—dua hari, patungan. Lebih ringan. Namun uang Rahman benar-benar menipis. Ia menoleh pada anaknya. “Nak, boleh kepake duitmu dulu Rp400 ribu? Besok, mudah-mudahan Ama ganti.” Anak itu tersenyum. “Boleh, Ama. Masih ada sisa jajan,” katanya dalam bahasa Gayo.
Malam itu, Rahman beristirahat. Bukan di rumah, bukan di kampung, melainkan di persimpangan tekad dan pengorbanan. Keesokan harinya, Jumat (12/12/2024), UKW Angkatan ke-20 resmi dibuka di PWI Lhokseumawe. Di negeri petro dolar, di balik kemewahan kota, seorang jurnalis Gayo telah tiba—membawa keringat, cerita, dan keyakinan bahwa profesionalisme layak diperjuangkan, sejauh apa pun jalannya.[*/Red]


