-->

 



 


Mengapa Arus Banjir Tidak Boleh "Menghentikanmu"?

08 Desember, 2025, 06.14 WIB Last Updated 2025-12-07T23:14:29Z
DIBALIK cerita banyaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) yang rusak serta area hutan yang semakin menggundul ketika peristiwa Banjir Sumatera di penghujung 2025 ini, banyak pula orang yang kemudian harus memulai langkah baru menghadapi konsekuensi dari sesuatu yang tidak pernah mereka minta. Tantangannya bukan hanya ekonomi, tetapi juga mental. Butuh dorongan kuat untuk kembali berdiri setelah semuanya tersapu bersih tak bersisa.

Ketika hidup menjadi anjlok ke titik minus, perasaan takut dan putus asa kerap muncul. Tidak mudah menenangkan diri ketika masa depan seperti kabur. Saat genangan air mulai surut, kebingungan baru justru datang: bagaimana menafkahi keluarga dalam kondisi serba terbatas? Harus diakui, tidak ada yang benar benar siap berhadapan dengan kondisi sengsara seperti ini. Namun balik lagi, manusia selalu punya pilihan, memilih berhenti atau bangkit.

Lalu, bagaimana Islam mengajarkan manusia untuk menemukan cahaya harapan ketika semua tampak gelap?

Sebelum kita sampai pada jawabannya, penting juga untuk diketahui dulu bahwa kesedihan adalah bagian dari desain Allah SWT. ke dalam diri kita manusia, sama wajarnya dengan rasa senang, atau takut terhadap sesuatu yang berbahaya. Wajar jika kita bersedih karena tertimpa musibah, atau orang terdekat kita yang tertimpa. Namun perlu diingat juga bahwa upaya pemenuhannya pun harus sesuai buku panduan dari-Nya. 

Sabda Nabi Muhammad SAW.

“Barang siapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman.”(HR Tirmidzi).

Maksudnya, Islam mengajarkan pada kita bahwa memberi batas pada sesuatu, tidak selalu buruk. Terutama saat kita mengekspresikan rasa sedih. Hendaklah ia juga dijadikan sarana untuk menghitung kembali amal ibadah yang sudah kita perbuat selama ini. 

Coba bayangkan bila kesedihan hanyalah sekedar diisi dengan berlarut larut menyalahkan diri sendiri apalagi sampai merasa diri tidak berguna sama sekali? Tentunya akan membawa kita kepada lingkaran setan yang tak berujung dan juga melakukan hal hal yang merusak diri seperti terlalu lama kehilangan semangat hidup, terus menerus mengutuk sang Pencipta dengan sumpah serapah, atau bahkan melakukan bunuh diri. Naudzubillahi min dzaalik.

Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Islam telah menegaskan bahwa Islam tidak membiarkan perasaan hati menjadi satu satunya kompas moral. Supaya seseorang tidak menganggap bahwa keimanan dapat dicapai lewat imajinasi keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Sesungguhnya kata-kata sedih, dalam Al-Qur'an tidaklah datang kecuali dalam konteks larangan atau kalimat negatif yang berarti peniadaan. Firman Allah SWT.:

"Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (TQS. Yusuf ayat 87)

atau ayat:

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." (TQS. Ali 'Imran ayat 139)

Saat duka menahan langkah dan meredupkan semangat, sebenarnya kita sedang memberi ruang terlalu besar bagi duka untuk berakar. Kelamaan terjebak di dalamnya justru tidak membawa kita kemana mana. Padahal manusia tidaklah dapat kembali ke masa lalu kemudian membuat coretan menjadi kembali utuh bak kertas putih. Waktu yang sedang dilaluinya lah yang seharusnya dijadikan momentum "ambil alih kemudi" agar tetap di jalurnya.

Darimana kita memulai langkah baru?

Bagaimana cara menggunakan waktu, Allah SWT. telah jauh jauh hari mewanti-wanti kita semua :

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (TQS Al-’Ashr: 1—3).

Selain untuk menunjukkan keagungan-Nya, Allah SWT. juga hendak menekankan betapa pentingnya sesuatu yang Dia gunakan dalam Al-Qur'an, untuk bersumpah. Salah satunya adalah waktu.

Jika kita bingung kemana arah melangkah, Allah SWT. menegaskan dalam banyak ayat bahwa hanya Dia lah satu-satunya sumber datangnya rezeki. Sedangkan kita hanya diperintahkan untuk meletakkan diri pada keadaan yang membuka peluang rezeki seperti menjadi pedagang barang atau menawarkan jasa dan wajib melalui cara yang halal.

Firman Allah SWT.:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu." (TQS. Surat An-Nisa ayat 129)

Artinya, tidak boleh seseorang memiliki suatu rezeki kecuali dengan sebab-sebab yang dibenarkan oleh syara', karena itulah rezeki yang halal.

Penutup

Dalam pandangan Islam, bangkit bukan sekadar melanjutkan hidup, tetapi kembali ke arah yang benar dengan langkah yang jelas. Proses ini menuntut kemantapan iman, kesabaran, dan kesadaran diri agar tidak terjebak putus asa, bersamaan dengan tetap menata prioritas hidup, memperbaiki hubungan sosial yang menumbuhkan tanggung jawab sambil memastikan semuanya sejalan dengan koridor syari'at.

Penulis: Hadi Irfandi (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh serta aktif mengisi media online dengan tulisannya seputar Dakwah Ideologis. "Dari membaca, revolusi berkobar" adalah mottonya)
Komentar

Tampilkan

Terkini