-->








‘Jalan Maut’ Siurai-urai, Keuchik Koto Indarung: Sudah Seperti Jaman Belanda!

30 April, 2017, 10.12 WIB Last Updated 2017-04-30T03:12:29Z


ACEH SELATAN - Abrasi Sungai Kluet yang sudah memutuskan akses jalan utama menuju Desa Siurai-urai dan Koto Indarung, Kecamatan Kluet Tengah, bukan hanya berdampak terhadap perekonomian dua desa tersebut. Selain susahnya mengangkut hasil bumi dua desa yang kehidupan masyarakatnya dari bercocok tanam baik bertani dan berkebun, juga sangat menghambat aktivitas masyarakat dan pelajar. Yang lebih mirisnya, beberapa masyarakat harus eksodus (keluar dari desa) karena sudah tidak nyaman dengan kondisi jalan yang tidak mendapatkan solusi dari pemerintah daerah.

Keuchik Koto Indarung, Bahrunsyah yang ditemui LintasAtjeh.com, PPWI dan Aceh Selatan News, Sabtu (29/04/2017), langsung di lokasi, mengatakan kondisi jalan yang terputus sejak tahun 2014 namun yang lebih parah pada tahun 2015, 2016 dan sampai sekarang.

“Kalau kita hitung, kerugian masyarakat tidak bisa kita hitung. Jangankan kebun pinangnya, sawitnya, rumahnya habis. Kalau kita hitung dari tahun 2014, 2015, 2016 sudah ada 20 rumah yang hancur bahkan tapak (pondasi) sudah diseberang air (sungai),” ujar Keuchik Bahrun.

Menurut Keuchik Bahrun, sampai saat ini pihak gampong tidak memperbaiki jalan ini. Beberapa waktu lalu memang coba meluruskan aliran air dengan beko tapi tidak cukup, sehingga saat aliran air besar terkikis dan hanyut lagi.

“Kemudian tahun 2015, saat banjir memecah tebing yang panjang hingga Lei Sawah. Bapak Wakil Bupati Kamarsyah, Pak Bahrumsyah dan dinas terkait kita bawa dengan mesin tempel ke lokasi. Waktu itu ada tanggapan, tapi dihitung dananya tidak mencukupi dana kabupaten, harus dari pusat,” bebernya.

Solusinya, kata dia, beberapa waktu lalu ada yang datang tapi hingga hari ini belum ada beritanya.

“Kalau saya katakan, ini sudah seperti jaman Belanda! Artinya, dulu jaman Belanda kita jalan keluar melalui hutan. Sekarang pun pakai jalan hutan keluar,” sindirnya sembari tersenyum.

Harta benda kami, lanjutnya, tidak bisa dikendalikan. Hasil tani misalnya kita bawa ke pasar 10 ribu sekarang dibeli disini 3 ribu sedang kalau dipikul setengah mati.

“Harapan kami, kepada pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat agar dinormalisasi sungai itu, diluruskan baru aman desa kami. Kalau tidak, nggak ada pak. Masyarakat saya saja, di Jamur Papan sudah 30 KK yang pindah, lain ke Koto. Sekarang tinggal 153 KK, padahal dulu sudah 200 KK. Jadi kalau pak bupati, pak gubernur termasuk anggota dewan, semuanya tolong dinormalisasi sungai ini. Saya mohonkan ini!” pinta Keuchik Koto Indarung.[Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini