-->

Abraham Samad Dinilai Banyak Melanggar Hukum

15 Februari, 2015, 18.47 WIB Last Updated 2015-02-15T11:47:38Z
Ist
JAKARTA - Sejauh ini masyarakat menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibawah kepemimpinan Abraham Samad (AS) berhasil memberantas dan menangkap sejumlah tersangka koruptor dengan nilai korupsi yang sangat “wah”, hingga triliunan rupiah.

Namun, dibalik skema penangkapan para koruptor, masyarakat umumnya tidak mengetahui bahwa Lembaga yang bernama KPK itu juga ditengarai sukses melanggar dan kerap tidak mematuhi berbagai tata cara, dalam aturan hukum guna menjadikan terduga koruptor menjadi status tersangka korupsi.

Sejumlah tudingan pelanggaran hukum dan tidak mematuhi etika aturan, yang telah dilakukan para pimpinan KPK di era kepemimpinan Abraham Samad tersebut terungkap saat Hendy F Kurniawan, SIK, SH, MH, mantan Penyidik di KPK yang bertugas sejak periode 2008 hingga Januari 2015 lalu mengatakan, bahwa KPK kerap menetapkan seorang tersangka tanpa kecukupan alat bukti, mengacuhkan mekanisme gelar perkara, menutup diri saat hukum berproses, mengutamakan asumsi dan khususnya Abraham Samad kerap bersikap arogan terhadap penyidik internal KPK, yaitu penyidik dari eks. lingkup Polri maupun penyidik yang dari pihak eks. Kejaksaan Agung.

“Saya tidak bertujuan membela institusi Polri atau ingin menjatuhkan wibawa KPK yang telah dibentuk oleh pimpinan KPK sebelumnya. Namun apa yang saya sampaikan ini adalah untuk menjelaskan kembali bahwa penegakan hukum dan proses menjalankan Undang-undang itu harus lebih tinggi diatas apapun. Korupsi memang harus diberantas, namun menjadikan seorang tersangka koruptor tanpa adanya kelengkapan alat bukti dan saksi serta mengabaikan mekanisme gelar perkara tentu sesuatu yang tidak adil. Ini menyangkut hak asasi manusia. Karenanya kekisruhan yang terjadi saat ini dan yang telah berlalu itu dikarenakan adanya kesalahan mekanisme hukum yang telah dilakukan oleh KPK khususnya,” papar Hendy Kurniawan pada BeritaHUKUM.com, Sabtu (14/2) usai diwisuda pasca sarjana ilmu hukum di salah satu institusi di Jakarta.

Hendy menambahkan, kekisruhan terkait ditundanya status Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri terpilih oleh Presiden Jokowi merupakan puncak dari sejumlah kesalahan yang telah dilakukan KPK diera kepemimpinan Abraham. Menurutnya, hal yang sama, yaitu pelanggaran mekanisme hukum oleh KPK telah terjadi saat menetapkanMSG sebagai tersangka dalam kasus pemberian cek kepada sejumlah anggota DPR pun terhadap AU terkait kasus Hambalang.

“Kedua tersangka itu yang telah ditahan itu, sebenarnya banyak terjadi kejanggalan dalam mekanismenya. Contohnya pada ibu Miranda, kami telah melakukan gelar perkara oleh jaksa, oleh penyidik dari polri dan kejaksaan. Kami ulas secara teori dan dituangkan pada notulen yang intinya, bahwa terhadap ibu Miranda belum ditemukan dua alat bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian Miranda dan Anas diumumkan sebagai tersangka melalui media, padahal sejumlah Pasal yang dikenakan itu hanyalah merupakan konsep atau asumsi dan diketik oleh penyidik junior. Jadi itu berupa draft, tidak melalui mekanisme gelar perkara,” ungkap Hendy menjelaskan.

Hendy yang kini kembali bertugas di unit Tipikor Bareskrim Mabes Polri itu pun mengingatkan agar kedepan pihak KPK harus mengutamakan prinsip kehati-hatian. Pasalnya menurut salah satu perwira menengah ini, UU KPK tidak memiliki kewenangan guna menghentikan perkara yang telah berlangsung.

“Saya ingatkan agar didepan KPK harus hati-hati dalam menetapkan seorang sebagai tersangka. Karena didalam UU KPK pada Pasal 40, disebutkan tidak ada lagi kewenangan menghentikan perkara jika status naik menjadi tersangka. Saya sudah mengingatkan berkali-kali, namun sikap arogan yang muncul diperlihatkan seorang Abraham Samad. Karenanya, saya bersama sejumlah penyidik lain akhirnya sepakat untuk mengundurkan diri pada 27 Januari lalu,” tegas Hendy, menutup pembicaraan.

Dua Alat Bukti KPK 'Tidak Sah' Tetapkan Komjen BG Tersangka

Ditempat terpisah Rahman Tiro selaku Koordinator Komite Anti Korupsi Indonesia menjelaskan, dalam kasus pra peradilan tentang penetapan Komjen Budi Gunawan yang dijadikan tersangka oleh KPK didasarkan dua alat bukti yaitu Laporan hasil Analisa PPATK terkait rekening Budi Gunawan dan Laporan masyarakat. Kedua alat bukti itu dinilai kurang dan telah menyalahi aturan KUHP pada Pasal 184 ayat (1) yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian . Hal ini berarti bahwa, di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah guna menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sedangkan LHA PPATK terkait dana yang dimiliki dalam rekening BG yang dijadikan alat bukti menurut Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor PER-08/1.02/PPATK/05/2013 tentang Permintaan Informasi ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan diundangkan pada tanggal 10 Juni 2013. Namun, kasus dicuatkan saat Komjen BG akan dilantik sebagai Kapolri pada Januari 2015 lalu.

“Artinya, itu sangat jelas KPK telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap BG dengan menetapkan BG sebagai tersangka, dengan dua alat bukti yang tidak sah dan penetapan BG jelas didasari ketidak sukaan terhadap BG, dan menghambat karir seseorang,” sebut Rahman Tiro.

Rahman Tiro menambahkan, sudah bukan rahasia umum KPK sering dijadikan alat kepentingan politik seseorang dan partai tertentu untuk menghajar lawan politiknya, serta dijadikan objek bisnis oleh oknum-oknum komisioner KPK untuk menentukan sesorang dijadikan tersangka, sebab banyak kasus yang dilaporkan oleh masyarakat yang jelas-jelas korupsi tidak ditindak lanjuti KPK. Sebut saja diantaranya yaitu kasus dugaan korupsi dana Haji di Kementerian Agama, dugaan tindak korupsi anggaran Migas di Kementerian ESDM dan dugaan korupsi di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, pungkasnya. [beritahukum]
Komentar

Tampilkan

Terkini