-->

LembAHtari Endus Indikasi Mark Up Ganti Rugi Lahan Pasar Tradisional Minuran

06 Juni, 2015, 00.04 WIB Last Updated 2015-06-06T02:05:34Z
ACEH TAMIANG - Kasus dugaan korupsi sejumlah proyek bermasalah masih saja terjadi. Hal ini dikarenakan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang serta adanya dugaan mark up anggaran diawali adanya konspirasi kepentingan oknum-oknum di jajaran eksekutif maupun legislatif yang ada di Kabupaten Aceh Tamiang.

Kemudian, tidak adanya perencanaan yang matang dalam pembangunan dan terkesan asal-asalan serta tidak transparansinya asal anggaran, justru besar potensi timbulnya kerugian keuangan negara. Dengan adanya keanehan dan kejanggalan terutama di proses penganggaran, maka ini harus diusut tuntas.

Dari hasil pengumpulan data di lapangan, LembAHtari menemukan bahwasanya Badan Anggaran DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 tidak pernah membahas usulan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Kec. Kejuruan Muda, Kab. Aceh Tamiang.

Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal M, SH, saat dikonfirmasi lintasatjeh.com terkait indikasi tindak pidana korupsi ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Sabtu (6/6/2015), di Kuala Simpang.

Lebih lanjut, Sayed Zainal mengungkapkan bahwa pada tanggal 8 Agustus 2014, ada rapat terakhir Badan Anggaran DPRK yang dipimpin Wakil Ketua DPRK H. Arman Muis. Namun berdasarkan resume dan hasil rapat tersebut, Banggar tidak membahas tentang persoalan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional itu.

Tapi anehnya, pada tanggal 5 September 2014, muncul anggaran ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional tersebut, di APBK Perubahan 2014 dengan anggaran sebesar RP 2,5 Milyar dan ditetapkan dalam Qanun APBK P No.5 Tahun 2014.

"Kalau kita usut ke belakang. Pada awalnya pihak terkait, dalam hal ini Disperindagkop Aceh Tamiang di bulan 4, 5, 6 dan bulan 7 tahun 2014, tidak pernah ada usulan program itu. Ini suatu keanehan, kok tiba-tiba diplotkan di APBK P, darimana sumber dananya?" tanya Sayed heran.

Masih kata Sayed, kita minta Kejaksaan Negeri Kuala Simpang bisa mengungkap awal mata rantai kasus ini. Sehingga akan terungkap pihak-pihak yang terlibat, karena ada indikasi mark up dan menurut kita berpotensi merugikan keuangan negara.

"Namun ini perlu pembuktian, dan kita sudah ada data penunjang. Karena soal ganti rugi lahan tersebut di akhir Tahun 2012, tidak mencapai Rp 800 juta, tapi kok Tahun 2014 bisa di angka Rp 2,5 Milyar. Meski ada pemotongan di BPHTB, namun apabila berpatokan NJOB, tidak sampai di angka itu. Seharusnya, dalam menentukan harga ganti rugi lahan memakai nilai kepatutan," terangnya.

Menurutnya, ini tidak ada perencanaan dalam dokumen mengenai pusat pasar tradisional di Minuran. Kalau di daerah Kejuruan Muda, tidak dipakai dan dikembangkan saja Pasar Sungai Liput.

"Butuh dana besar lagi untuk membangun lokasi itu. Karena lokasinya tidak layak (berada di pengkolan), selain itu lokasi juga harus ditimbun yang tentunya butuh biaya besar," kritiknya.

Ternyata, lanjutnya, tidak ada estimasi anggaran lagi dari Disperindagkop untuk pembangunan lokasi itu kedepan. "Sudah perencanaan asal-asalan, kemudian tidak ada pengembangan lanjutan. Jelas, ada indikasi mark up, ada potensi korupsi," imbuh Sayed Zaenal.

Katanya lagi, padahal sudah ada contoh pembangunan tanpa perencanaan dan akhirnya tidak bermanfaat justru merugikan keuangan negara. Kejadian seperti ini, sudah seringkali terjadi di Aceh Tamiang.

"Seperti pembangunan pasar di perbatasan Aceh Tamiang, yang bersumber APBN. Itu saja dibangun dengan penuh perencanaan, tapi hingga saat ini juga tidak bisa digunakan," katanya.

Kemudian, pembangunan Pajak Hongkong, sudah beberapa taha dibangun sejak Tahun 2010. Sudah milyaran anggaran yang digunakan, tapi hingga hari ini, juga tidak bisa digunakan.

Padahal daripada proses ganti rugi lahan tersebut, meski beda dinasnya (dalam hal ini Dinas Perhubungan), seharusnya lebih penting usulan pembangunan gudang bongkar muat di Kuala Simpang.

"Itu sudah lama diusulkan, 2012 dan 2013 diusulkan, tapi dengan alasan tidak ada anggaran," ungkap Sayed Zaenal seraya menyarankan agar Bupati dan DPRK harus melakukan evaluasi dengan banyaknya program yang tidak bermanfaat dan justru menghabiskan uang negara saja.

"Sekali lagi, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang harus mengusut tuntas kasus ini. Secara institusi ada Disperindagkop, eksekutif dan legislatif, kemudian ada pemilik lahan dan pengusaha yang bisa dijadikan saksi untuk mendapatkan bukti-bukti dugaan mark up dan indikasi tindak pidana korupsi ganti rugi lahan pusat pasar tradisional di Minuran. Selain itu, asal anggaran juga harus diungkap," demikian Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal M, SH.[@redaksi]
Komentar

Tampilkan

Terkini