-->








[Syair] Gadis Penulis di Ruang Jiwa

30 Juni, 2015, 19.51 WIB Last Updated 2015-06-30T15:16:56Z
IST

Oleh: Delky Nofrizal Qutni


Bergulir sang waktu yang melantuni langkah dan kisah, menggores ruang cerita kehidupanku. Aku seorang lelaki yang tengah berjuang mengarungi samudra pertualangan hidup, berharap sampai ke pulau cita-cita. Terukirlah kisah di tengah lautan nan luas, deraian ombak bernuansa. “Cinta”, begitu muda-mudi menyebutnya. Entah ombak apa itu, menggulung cepat menyentuh kalbu orang yang sedang dilandanya.

Kau buat ku tak berkutik dengan keindahanmu, namun terlalu sering kau buat ku kecewa untuk melepasmu. Namun, begitulah sang waktu mengurai takdir kisah ku. Seakan ku tak bisa melawan dan mengelak dari arus cinta yang menghampiri hari-hari. Kadang memberi kekuatan untuk melangkah, namun tak jarang membuat bekunya bara di dalam jiwa.

Begitulah hari-hari ku lalui sejak ku mengenal yang namanya cinta dari sesosok gadis dari kecamatan tetangga. Hingga akhirnya ku mencoba melawan kisah, berharap perahu jiwa tak kehilangan arah, namun tak kunjung jua ku temukan cara untuk lepas dari perangkap rasa yang membuat ku terombang-ambing di tengah-tengah samudra.

Namun, kini tanpa disadari hadirnya sosok baru yang mengguncang hati, dengan senyum merona menebar pesona, bersama goresan-goresan pena pengguncang jiwa. Sesaat tiba-tiba kau buat aku mencoba kembali mendayung rasa, berjuang menembus dan memecah badai kisah lama.

Kau sosok baru yang kini warnai hariku, tak tau hadirmu laksana pelangi tatkala mentari menghilang. Dikala kilauan yang benderang memudar  ditelan samudra waktu, tanpa diduga dan tidak terencana tiba-tiba kau hadir dengan sepercik warna yang indah member makna.

Mencoba menyentuh hatiku yang kiat terjerat dengan kepedihan kisah masa lalu yang terus merasuk dan membayangi hariku. Kehadiranmu memang tak benderang laksana lampu sorot atau terik mentari di tengah hari. Namun kau beri untaian keindahan di ruang hati yang sepi.

Kau sang jurnalis muda setiap harinya kau disibukkan dengan liputan-liputan berita. Dengan informasi-informasi yang kau suguhkan di media massa. Namun, menulis tulisan-tulisan bernuansa rasa dan asmara.

“Menulis”, begitu hobby mu yang ku ketahui.
Hobby itu ku lihat dari aktivitas seharianmu, dengan sebuah laptop dan modem unlimitedmu, kau merangkai bait-bait syahdu.  Kau tulis kata demi kata, kau rangkai bait demi bait penuh makna. Kau ukir  tulisan itu di blog sederhanamu, membuat para pembaca terkesima.

Kau penulis di ruang jiwa, elok memang tulisanmu, sungguh manis untaian bahasamu. Aku salah satu pembaca yang kerap chatting dan sms denganmu, untuk menghilangkan rasa jenuh di malam sepiku, berharap dapat memberi nuansa di saat kelabu atau membuat sepercik senyum menores lara ku. Lama komunikasi dunia maya itu kita coba lakukan, sungguh sangat jarang kita bersua di dunia nyata. Kesibukan masing-masing seakan membuat spasi di antara lantunan rasa.

Namun, beberapa hari terakhir sikapmu kian terasa beda, chatting dan sms ku mulai tak berbalas atau kau balas dengan kata-kata singkat berbentuk symbol-simbol. Sehingga menghadirkan ruang tanya baru, yang membuatku kian penasaran akan sikap misteriusmu. Entahlah, entah teka-teki apalagi yang sedang kau rangkai lewat sikapmu itu, segudang tanda tanya terus melantun di benakku. Hingga ku coba pahami bait per bait dari goresan pena mu di sebuah blog bernama ruang jiwa itu.

Namun, hanya segelintir tulisan yang dapat ku pahami, selebihnya terlalu dalam maknanya dan begitu sulit ku tafsirkan dengan sentuhan rasaku. Yang pasti tergores sebilah tulisan yang menggambarkan sepercik kisah masa lalumu. Ku melihat dari tulisan itu kau seakan masih terperangkap di kisah masa lalu mu, sama seperti diriku yang terjerat di untaian cerita asmara yang membuat bara hatiku beku.

Kau penulis ruang jiwa yang dilanda rasa ragu, entah ragu kepada ku ataupun ragu dengan untaian cerita yang menyelimuti harimu. Terlalu sulit untuk ku pahami hal itu, karena logika ini terlalu dangkal untuk menafsirkan lantunan rasa. Sehingga ku memilih untuk diam dan hanya bicara pada sebuah laptop sederhana milikku yang kian terlihat usang dengan tulisan-tulisan yang mulai tak berwarna.

Kendatipun ku terus memaksa namun apalah daya jika halaman-halaman itu ku gores tanpa tinta. Sudahlah biarkan semua kuserahkan kepada sang pencipta rasa, hingga ku tak kembali terjatuh di alur kisah yang sama seperti sediakala. Sungguh ku tak kuasa berkelana di ruang rasa yang tak mengenal jarak dan masa. Biarlah, biar semua rintihan tak bersuara laksana bara yang membeku di antartika.

Hanya sebuah keyakinan berbingkai harapan mencatut di dalam sanubari yang semakin hampa, berharap keindahan akan hadir untuk mengubur semua luka melenyapkan semua kepedihan hingga langkah terasa kembali bermakna, hingga hembusan nafas tak lagi terasa sia-sia.
Komentar

Tampilkan

Terkini