BANDA ACEH - Peringatan
hari nusantara yang dilaksanakan di Lampulo, Banda Aceh terkesan hanya sebatas kegiatan seremonial tak
bermakna. Kemasan acaranya terlihat tanpa filosofi, dan terkesan hanya pameran
batu cincin dan bagi-bagi hadiah belaka.
Belum
lagi jika dilihat
managemen pengolaannya yang sangat memprihatinkan, sebagai contoh dari pada
jumlah masyarakat yang menuju acara, lebih banyak masyarakat yang terjebak
macet, bahkan sebagian dari yang terjebak macet lebih memilih untuk pulang
daripada terjebak macet yang lama, dan sesampai disana juga tidak didapat hal
yang memiliki esensi.
"Inikan
salah satu persoalan kecil yang dikarenakan kelemahan manajemen. Itu baru
contoh kecil belum kita lihat lebih jauh,"
demikian dikatakatan Sekjen Mahasiswa dan Pemuda Selatan Raya (MeuseRaYa),
Delky Nofrizal Qutni, Minggu (13/12/2015).
Kita
bisa lihat langsung, sebut Delky menambahkan, banyak stand justeru hanya
menyediakan kuis berhadiah, meskipun beberapa stand menampilkan produksi laut
seperti lobster
asal Aceh Singkil, tapi jika dilihat ke masyarakat pemberdayaan ke masyarakat
selama ini juga masih sangat minim, yang berkembang justeru lobster milik menteri KKP di Simeuleu, yang milik masyarakat masih
sangat kurang. Belum lagi jika dilihat kehidupan mayoritas nelayan Aceh yang masih
memprihatinkan, untuk apa peringatan jika action ke masyarakat tidak
diutamakan.
Memang
selama ini menurutnya acara seremonial dengan kemasan tanpa esensi seperti ini
seakan menjadi hobi pemerintah Aceh, daripada menyelesaikan persoalan yang
sedang dihadapi masyarakat. Hal ini dikarenakan orientasi pemerintah Aceh masih
kepada bagaimana persentase serapan anggaran, bukan hasil serta manfaat
suatu program kepada masyarakat kecil.
Ironisnya lagi, dikala masyarakat di beberapa daerah di Aceh sedang dilanda musibah banjir, sebagai contoh di wilayah barat selatan, seperti beberapa titik di Abdya, Aceh Barat, Aceh Singkil, dan Aceh Selatan. Banyak rumah yang terendam banjir, jembatan putus dan sebagainya. pemerintah justeru terkesan lambat dan lebih disibukkan dengan kegiatan seremonial tersebut.
Padahal, lanjutnya, miliaran rupiah tersebut jika
digunakan secara efektif semestinya dapat digunakan untuk upaya mengatasi
persoalan banjir di 3 titik atau lebih, misalkan untuk normalisasi sungai atau
hal lainnya. Ini bukti bahwa pemerintah Aceh lebih mementingkan kegiatan
seremonial daripada persoalan masyarakat.
Untuk
urusan seremonial anggarannya besar, tetapi jika sudah program nyata ke masyarakat
pasti alasan pemerintah anggaran terbatas, tidak ada anggaran atau sebagainya.
Bayangkan saja jika anggaran besar untuk harnus tersebut bisa digunakan untuk
pemberdayaan janda korban konflik yang belum diperhatikan, atau berapa banyak
rumah duafa yang bisa diselesaikan dengan anggaran sebesar itu, ataupun berapa banyak daerah terpencil yang
bisa dibangun, dan berapa banyak pengangguran yang dapat dijadikan pengusaha.
Tapi jika bicara hal seperti itu pemerintah Aceh sering tidak tertarik. Makanya
kami nilai pemerintah Aceh perlu memperbaiki i’tiqad.
Untuk itu, Mahasiswa meminta Wapres JK sebagai wakil presiden ke Aceh
hanya untuk menghadiri kegiatan hari nusantara yang sebatas seremonial belaka,
untuk apa? Wapres jangan sampai terjebak dengan persoalan seremonial, apalagi
terperangkap dengan laporan dengan pola “asal Bapak senang”.
"Jika
memang pak wapres mementingkan kepentingan rakyat, kami minta turun juga ke
lokasi banjir. Lihat langsung apa yang sedang dihadapi rakyat. Jangan sampai
muncul presepsi masyarakat, wapres terjebak seremonial, masyarakat terjebak
banjir," ujarnya.
Jika
kehadiran pak JK hanya untuk seremonial penghabisan anggaran akhir tahun, itu
tentu akan sama penyakitnya dengan pemerintah Aceh, dan hal tersebut tentu akan
sangat melukai hati masyarakat yang sedang berjuang menghadapi bencana banjir.
"Untuk
apa serapan anggaran 100% sekalipun, jika tidak mayoritas anggaran tidak
menyentuh masyarakan kecil," pungkasnya. [Red]


