![]() |
IST |
MYANMAR - Aung San Suu Kyi, penerima anugerah Nobel Perdamaian asal
Myanmar, kehilangan kesabarannya ketika diwawancarai oleh Mishal Husain,
seorang wartawati media Inggris, BBC.
"Mengapa tak seorang pun yang bilang, bahwa saya akan
diwawancarai oleh seorang Muslim," kata perempuan berusia 70 tahun itu
seperti yang tercantum dalam biografi terbarunya berjudul "The Lady And
The Generals: Aung San Suu Kyi And Burma’s Struggle For Freedom" karya
Peter Popham.
Peristiwa itu sendiri terjadi pada 2003, ketika Suu Kyi
diwawancarai dalam program Today. Sepanjang wawancara itu sendiri, Suu Kyi
berkali-kali ditanyai oleh Husain tentang pembantaian warga Muslim Rohingya di
Myanmar. Ia menolak untuk mengecam aksi pembantaian tersebut dalam wawancara
itu.
"Menurut saya ada banyak, banyak umat Budha yang juga
meninggalkan Myanmar karena banyak alasan. Ini adalah akibat dari penderitaan
kami di bawah regim diktator," ujar dia dalam wawancara itu.
Suu Kyi yang terkenal karena ketabahannya memperjuangkan
demokrasi di bawah tekanan rezim junta militer selama puluhan tahun dan
menjalani tahanan rumah selama sekitar 15 tahun, memang dikenal tidak pernah
mengeluarkan pernyataan untuk mendukung kelompok minoritas Rohingya di Myanmar.
Mengapa?
Ia pernah menyayangkan kekerasan terhadap komunitas Muslim
di Negara Bagian Arakan, tetapi tetap menolak mendukung organisasi Human Rights
Watch yang mengecam umat Budha setempat sebagai pelaku kekerasan.
Tetapi dalam artikelnya di The Independent, Popham
mengatakan bahwa sepenggal fakta dari 2013 itu tak bisa dengan mudah diambil
untuk menyimpulkan bahwa Suu Kyi adalah seseorang yang berpikiran dangkal dan
fanatik.
"Kekasih pertamanya, yang dipacari dengan serius ketika
masih berkuliah di Oxford, Inggris adalah seorang Pakistan," tulis Popham.
Selama 20 tahun di Inggris, jelas Popham, Suu Kyi juga tak
pernah terlibat atau mengeluarkan pendapat anti-Islam.
"Dan salah satu tokoh kunci yang mendorongnya untuk
terlibat dalam pergerakan demokrasi di Myanmar adalah Maung Thaw Ka, seorang
jurnalis Muslim di Myanmar yang belakangan tewas di dalam penjara," jelas
Popham.
Jadi dengan latar belakang yang liberal dan toleran, mengapa
Suu Kyi begitu marah ketika Husain menekannya dengan keras dalam wawancara
tersebut?
Popham mengatakan ada kemungkinan karena Suu Kyi sendiri dan
teman seperjuangannya, Dr Tin Mar Aung, berasal dari Arakan dan juga beragama
Budha.
"Tetapi ada juga penjelasan yang lebih sederhana,"
tulis Popham yang telah menulis dua biografi Suu Kyi itu. Menurutnya keengganan
Suu Kyi membela minoritas Muslim Rohingya adalah semata karena alasan politik.
Ia mengatakan selama 28 tahun berjuang, Suu Kyi sangat
populer di antara warga Myanmar yang 90 persen beragama Budha. Tetapi rezim
militer selalu berusaha merusak nama Suu Kyi dengan mengatakan bahwa dia bukan
orang Myanmar tulen, karena bersuamikan warga Inggris dan hidup di Barat selama
puluhan tahun.
"Dengan menudingnya sebagai orang asing, mereka
berusaha memojokkan dia bersama kelompok minoritas Muslim yang juga dinilia
sebagai asing oleh warga Budha Myanmar, dan tak layak tinggal di negeri
itu," jelas Popham.
"Menurut dugaan saya, Suu Kyi enggan membela komunitas
Rohingya karena takut pembelaannya akan digunakan oleh militer untuk
memojokkannya - dan jika mayoritas warga Myanmar mempercayai propaganda itu
maka posisisnya akan semakin tergerus dan peluangnya menuju kekuasaan akan
semakin tipis," jelas Popham.
Pada November 2015 lalu partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk
Demokrasi telah memenangkan pemilihan umum dan pada awal bulan ini, rekannya
Htin Kyaw menjadi presiden sipil pertama di negeri itu. Setelah berada di
kekuasaan, Popham berharap Suu Kyi bisa dengan leluasa mengeluarkan pendapatnya
soal Rohingya.
"Mungkin kini dia sudah bisa lebih santai dan
mengatakan pada kita semua, apa pendapatnya (tentang minoritas Rohingya),"
tulis Popham. [Suara]