-->








Di Balik Kemenangan Setya Novanto

20 Mei, 2016, 19.08 WIB Last Updated 2016-05-20T12:09:06Z
Banyak yang mencibir atas terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Munaslub yang digelar beberapa waktu lalu. Tidak sedikit yang menyimpulkan bahwa kemenangan Setya Novanto tidak terlepas dari campur tangan Istana. Bahkan banyak yang menuduh bahwa Presiden Joko Widodo sengaja menyandera Partai Golkar dengan mendukung kandidat yang terjerat kasus hukum. Selain itu ada juga yang menghembuskan isu politik uang sebagai salah satu faktor penentu kemenangan Setya Novanto.

Sayang tidak ada yang melihat bagaimana proses demokratisasi yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar berjalan dengan sangat kompetitif dan bisa dibilang yang paling demokratis diantara perhelatan serupa dalam parpol-parpol lainnya. Dilihat dari jumlah kandidat yang tampil jelas parpol lain jauh tertinggal dibanding Partai Golkar karena hampir semua parpol lainnya saat ini sengaja ramai-ramai mengusung politik aklamasi, sebut saja PDIP, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, Partai Hanura, dan PPP.

Sementara dalam Munaslub Partai Golkar kandidat yang tampil sebanyak 8 orang yang kesemuanya memiliki kualifikasi dan kompetensi yang tidak jauh berbeda antar satu kandidat dengan kandidat lainnya. Iklim kompetisi sudah sangat terasa jauh hari sebelum perhelatan Munaslub dan puncaknya adalah voting demokratis yang akhirnya memunculkan Setya Novanto sebagai pemenang. Pertarungan demokratis inilah yang tidak bisa disaksikan dalam pemilihan pucuk pimpinan parpol lainnya, hanya PAN saja yang bisa mengikuti Partai Golkar dalam menghadirkan iklim kompetisi meskipun hanya menghadirkan dua kandidat.

Atas terpilihnya Setya Novanto maka patut diselidiki kenapa kader Partai Beringin lebih memilih Setya Novanto padahal yang bersangkutan terjerat kasus ‘Papa Minta Saham’. Ternyata kader Partai Golkar memiliki rasionalisasi tersendiri dalam menentukan pemimpinnya. Partai Golkar adalah partai besar dan partai yang paling dinamis sehingga harus dipimpin oleh figur yang benar-benar sudah teruji dalam melalui berbagai badai polemik.

Dalam perjalanannya, memang nama Setya Novanto sudah beberapa kali dikaitkan dengan berbagai kasus mulai kasus cessie Bank Bali (1999) hingga yang teranyar kasus ‘Papa Minta Saham’. Aneh bin ajaib, Setya Novanto selalu berhasil lolos dari lubang jarum dan selalu menemukan solusi atas berbagai kasus tersebut. Maka tak berlebihan jika kemudian menyandingkan Setya Novanto sejajar dengan Akbar Tandjung, mantan Ketua Umum Partai Golkar yang sudah lebih dahulu dikenal licin bak belut dan yang berhasil membawa Partai Golkar keluar dari krisis politik di awal-awal era reformasi dan akhirnya membawa Partai Golkar menjadi terunggul di Pemilu 2004 dengan memperoleh 120 kursi atau 22,44% penguasaan di parlemen.

Para kader Partai Golkar pasti memiliki cita-cita agar Partai Golkar kembali menduduki peringkat teratas dalam perhelatan Pemilu. Maka tidak ada jalan lain kecuali harus memiliki pemimpin yang ulet dan licin bak belut. Dan harapan tersebut ada dalam diri Setya Novanto yang diharapkan mampu mengatasi krisis merosotnya perolehan kursi dari Pemilu ke Pemilu. Fenomena Akbar Tandjung pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, ingin kembali diulang pada Pemilu 2019 yang kali ini di bawah kepemimpinan Setya Novanto.

Mengenai Setya Novanto yang pernah heboh dengan kasus ‘papa minta saham’, ternyata jika diamati secara seksama hampir semua elit politik Indonesia pernah terkait kasus hukum. Misalnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pernah dikaitkan dengan kasus SKL BLBI, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar pernah dikaitkan dengan kasus suap kardus durian, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh pernah dikaitkan dengan kasus suap Bansos Sumatera Utara, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo dan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto juga pernah dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM tahun 1998, dan bahkan Presiden Joko Widodo pun namanya pernah dikait-kaitkan dengan kasus impor bus Transjakarta dari China semasa masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Berbagai kasus yang pernah melingkupi para elit tersebut ternyata tidak menghalangi kepemimpinannya dalam partai politik.

Partai Golkar saat ini telah memiliki pemimpin baru dan siap bertarung dalam setiap kompetisi politik baik itu Pilkada 2017, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Selain ketua umum baru, dalam struktur kepengurusan terpampang nama Idrus Marham sebagai Sekretaris Jenderal, juga dikenal sebagai seorang politisi yang sarat dengan pengalaman. Diyakini duet Setya Novanto dan Idrus Marham akan membawa Partai Golkar mampu meraih kemenangan demi kemenangan dalam setiap rivalitas demokratis. Partai Golkar di bawah kepemimpinan yang baru siap menebar ancaman bagi parpol-parpol lainnya. Tidak menutup kemungkinan sukses Partai Golkar di Pemilu 2004 akan kembali terulang dalam Pemilu 2019.

Jakarta, 20 Mei 2016
SYA’RONI
Sekretaris Jenderal Himpunan  Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika)
Komentar

Tampilkan

Terkini