-->








Paradigma Pendidikan Indonesia Dalam Semangat Nawacita

29 Juli, 2016, 23.57 WIB Last Updated 2016-07-29T16:57:36Z

IST
PUBLIK terkejut dengan diberhentikannya Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Awak media mempediksi ini terjadi karena dia mengabaikan instruksi Presiden menjelang perombakan kabinet. Beberapa kalangan menuding Presiden Jokowi tidak pandai berterimakasih kepada mantan rektor Universitas Paramadina itu; padahal dia berada di garis depan dalam pemenangan Jokowi menjadi presiden. Namun beberapa pengamat kenegaraan menganggap itu adalah langkah wajar. Anies dinilai jauh dari capaian gagasan-gagasan yang disusun Pesiden dalam Nawacita terkait pendidikan.

Nawacita atau Nawa Cita, adalah sembilan prioritas yang ingin dicapai Presiden Jokowi. Tujuannya adalah mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Terkait langkah-langkah yang harus ditempuh terkait pendidikan, alih-alih mengarah kepada harapan tersebut, bahkan sepertinya Anies Baswedan gagal memahami maksud Nawacita.

Selama menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan dalam langkah praktisnya hanya berfokus pada penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan menyudutkan Kurikulum 2013. Anies lupa bahwa penataan kembali kurikulum hanyalah sarana untuk mencapai revolusi karakter bangsa. Bahkan Anies tidak melakukan pendekatan dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Dia malah menerapkan sistem liberasi pelajar yang menyebabkan siswa menjadi keras kepala, tidak patuh pada peraturan sekolah dan menyamakan guru dengan pembantu rumah tangga yang bekerja karena diupah oleh siswa.

Tak heran selama Anies menjabat Menteri Pendidikan, banyak terjadi tindakan tak bermoral yang dilaukan siswa. Bahkan guru-guru dengan sangat mudah diseret ke pengadilan hanya karena persoalan sepele yang seharusnya dapat diselesaikan antara guru dengan siswa berkangkutan. Latar belakang Anies Baswedan sebagai seorang pakar ilmu politik tidak dapat dipungkiri, sadar maupun tidak, mempengaruhi paradigmanya dalam memaknai pendidikan. Teori politik yang berlandaskan pada cara pandang transaksional, menyebabkan cara pandang hubungan antara guru dengan siswa seperti sebuah transaksi politik.

Padahal, dalam Nawacita telah dengan tegas memaktubkan bahwa menata kurukulum pendidikan harus mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Siswa tidak hanya dibimbing untuk sadar bahwa mereka adalah bagian dari lingkungan belajar, namun juga adalah bagian dari keseluruhan warga negara yang di pundak mereka masa depan bangsa digantungkan. Bila kesadaran ini terwujudkan dalam diri siswa, maka jangankan terhadap guru, kepada seluruh elemen bangsa mereka akan hormat. Mereka akan sadar bahwa setiap elemen bangsa punya tugas dan tanggungjawab yang sama dalam rangka memajukan negara Indonesia. Integritas ini dimulai dengan kesadaran akan kesatuan antara guru dan murid, bukan parsialitas peran sebagaimana dilihat oleh siswa belakangan ini, yang mana siswa melihat guru hanya sebagai orang yang bertugas mentransformasi informasi karena telah mereka dibayar.

Revolusi karakter bangsa dimulai dari revolusi karakter siswa. Cita-cita ini harus dilaksanaka secara proporsional antara pendidikan, pengajaran dan pelatihan. Sekolah bukan hanya sebuah tempat seorang guru mentransformasi data-data yang tertulis di dalam buku ke dalam kepala siswa. Sekolah adalah lembaga mengajarkan, mendidik dan melatih siswa agar dalam diri mereka terdapat nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan menjadi insan berbudi pekerti luhur.

Pendidikan harus dimaknai secara utuh. Ia adalah suatu proses gerak jiwa menuju kesempurnaannya. Tujuan pendidikan bukanlah membentuk otak siswa yang penuh dengan data-data dari teori-teori yang tertulis di dalam buku ajar. Karena itulah Nawacita melihat kesatuan antara pendidikan, pengajaran dan pelatihan.

Siswa perlu dididik melalui pengajaran sejarah pembantukan bangsa. Mereka harus diberikan informasi yang akurat tentang latar belakang bangsa. Data-data sejarah harus dibebaskan dari kepentingan-kepentingan politis dalam penyajiannya. Siswa harus dilatih untuk menjadi subjek yang kritis sehingga pengetahuan yang mereka bukan hanya berdasarkan emosi sementara. Pengetahuan berdasarkan rasionalitas dapat menumbuhkan budi pekerti luhur, semangat  patriotisme, dan cinta Tanah air. Langkah ini memberi jalan kepada penguatan jati diri bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. Sehingga dapatlah terwujudnya peningatan kualitas hidup manusia Indonesia dan terciptanya produktivitas dan daya saing, maju, bangkit serta terhirdarlah bangsa kita sebagai bangsa lemah.

Peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan untuk menolak negara lemah dapat terlaksana dengan membangun negara dari pinggiran sehingga keppercayaan publik terhadap konstelasi  perpolitikan dapat dikembalikan. Membangun masyarakat yang selama ini termarginalkan.

Membangun masyarakat yang selama ini termarginalkan, sehingga mereka memiliki daya kritis yang rasional, adalah prasyarat memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan mencipkakan ruang-ruang dialog.

Pesiden Jokowi bersama rakyat Indonesia menaruh harapan yang besar kepada Menteri Pendidikan yang baru, Prof. Muhadjir Effendy. Kita mengharapkan beliau dapat mewujudkan ppendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional dengan secara tepat menafsirkan dan menerapkan Nawacita sehingga mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian. Tentunya ini hanya akan dapat terlaksana dengan dukungan maksimal dari segenap masyarakat, khususnya elemen pendidikan.

Penulis : Miswari, S.Pd, M.Ud (Dosen Filsafat Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa)
Komentar

Tampilkan

Terkini