IST |
JAKARTA -
BRIGADIR Jenderal Supardjo merupakan salah satu tokoh penting dalam Gerakan 30
September (G30S) 1965. Sebelum ditangkap, Panglima Komando Tempur IV Komando
Mandala Siaga ini sempat menulis Kritik Oto Kritik (KOK) tentang G30S.
Tulisan ini dianggap bebas dari tekanan tentara dan
bukan untuk memenuhi keinginan para integrator, karena ditulis sebelum Supadjo
ditangkap. Dengan demikian, tulisan ini dianggap memiliki bobot kejujuran yang
tidak diragukan lagi.
Dokumen Supardjo itu diberinya judul "Beberapa
Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja G30S, Dipandang dari Sudut Militer."
Di dalam dokumen itu, Supardjo dinilai berusaha sangat rasional di dalam
menuliskan analisisnya tentang G30S.
John Roosa dalam bukunya "Dalih Pembunuhan Massal,
Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto" menyatakan, dokumen Supardjo
istimewa karena dia orang "luar" yang bergabung dengan G30S hanya
tiga hari, sejak 30 September hingga 2 Oktober 1965.
"Hingga sekarang para peneliti tidak mengakui
dokumen ini sebagaimana adanya: sumber utama terpenting tentang G30S. Ini
satu-satunya dokumen yang tersedia sampai sekarang yang ditulis oleh pelaku
G30S sebelum ia tertangkap," terangnya.
Supardjo merupakan tentara profesional yang karirnya
sangat gemilang. Dari seluruh pimpinan G30S, pangkatnya lah yang paling tinggi.
Dia menjadi brigadir jenderal pada usia 40 tahun, karena prestasinya dalam
berbagai pertempuran.
Sampai 1965, Supardjo telah mengabdikan dirinya sebagai
tentara selama 20 tahun, dari saat perang kemerdekaan. Karir militernya mulai
melambung saat pertempuran di Jawa Barat melawan pasukan Belanda dengan taktik
kuda Troya-nya.
Dia mencegat kereta api dan diam-diam menaikkan 300
prajurit ke dalam gerbong-gerbongnya. Saat kereta api melintas di kubu
pertahanan Belanda, para prajurit itu berhamburan keluar langsung menyerang dan
menghancurkan pertahanan lawan.
Pada akhir 1950 dan awal 1960, Supardjo juga memainkan
peran penting dalam menumpas pemberontakan Darul Islam (DI). Dia juga pernah
mengikuti pendidikan di sekolah staf tentara Pakistan, di Quetta, dan menulis
naskah perang gerilya.
Sebagai tentara terlatih, Supardjo paham betul bagai
mana menghancurkan musuh. Menarik diperhatikan adalah bagai mana dia tertarik
terlibat dalam G30S pimpinan Letnan Kolonel (Letkol) Untung yang pangkatnya
lebih rendah darinya?
Tidak hanya itu, saat G30S mengumumkan penurunan
pangkat di atas letnan kolonel, Supardjo juga telah mengorbankan karir militer
yang telah dirintisnya sejak 20 tahun. Apa motivasinya? Tidak lain karena isu
Dewan Jenderal itu sendiri.
Supardjo disebut-sebut masuk ke dalam anggota Dewan
Jenderal. Dia bahkan yang menyampaikan setiap perkembangan dalam rapat-rapat
Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965
bertepatan dengan Hari ABRI.
Supardjo menulis KOK-nya pada pertengahan 1966, setelah
G30S dihancurkan. Karir militernya saat itu sudah hancur. Begitupun dengan
hidupnya. Istri dan sembilan anaknya ditinggalkan, dan selalu mendapatkan
pengawasan ketat dari tentara.
Pada situasi yang sangat menekan psikologi inilah, dia
menulis kritiknya dengan jernih tanpa membawa serta emosinya. Dalam dokumen
penting itu, Supardjo tidak menganggap dirinya sebagai salah satu pimpinan yang
bertanggung jawab dalam G30S.
Dia tidak punya pasukan dan tidak diberikan kepercayaan
mengambil alih pimpinan untuk melakukan gerakan militer. Namun dapat diduga dia
menulis KOK itu untuk Sudisman, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
masih hidup.
Supardjo memulai kritiknya dari awal keterlibatannya
dalam G30S, yakni pada 30 September 1965. Sebagai prajurit terlatih, dia
merasakan betapa G30S tidak memiliki perencanaan matang, pasukan yang jelas,
dan kepemimpinan komando yang lemah.
Saat operasi militer dilangsungkan, Komandan G30S
Letkol Untung keletihan karena sudah tiga hari berturut-turut mengawal Presiden
Soekarno. Bahkan saat G30S akan dilancarkan, malamnya dia masih mengawal
Soekarno di Istora Senayan.
Untung juga dianggap tidak bisa mengkoordinasikan
pasukannya di Lobang Buaya. Hingga larut malam, kegiatan di Lobang Buaya masih
terus berlangsung dan pasukan belum disiapkan. Bahkan, peluru-peluru dalam peti
masih tersegel dan belum dibuka.
Saat malam jelang persiapan, pasukan yang siap dengan
G30S hanya dari Tjakrabirawa. Bahkan, ada pimpinan dari G30S yang tiba-tiba
mengundurkan diri dengan terang-terangan. Hal ini dipicu tidak adanya tujuan
yang jelas dari G30S.
Sampai detik dilangsungkannya gerakan, tidak ada
gambaran perang yang jelas dari pimpinan G30S. Apa yang harus dilakukan setelah
peristiwa penyergapan tidak ada, bagaimana situasi lawan, dan kekuatan pasukan
sendiri tidak ada gambaran.
Dalam situasi-situasi genting, pimpinan G30S bahkan lebih asyik diskusi antara pimpinan dari kelompok militer dan sipil. Kelompok militer di bawah kendali Untung, Latief dan Sudjono, serta sipil di bawah kendali Sjam, Bono dan DN Aidit.
Dalam situasi-situasi genting, pimpinan G30S bahkan lebih asyik diskusi antara pimpinan dari kelompok militer dan sipil. Kelompok militer di bawah kendali Untung, Latief dan Sudjono, serta sipil di bawah kendali Sjam, Bono dan DN Aidit.
"Ketika masuk berita bahwa Nasution tidak kena dan
melarikan diri, kelompok pimpinan menjadi terperanjat, kehilangan akal, dan
tidak berbuat apa-apa.. Selama 12 jam, jadi satu siang penuh, musuh dalam
keadaan panik," terang Supardjo.
Dalam hukum militer, membiarkan musuh istrihat dan
menyusun kekuatan adalah kesalahan yang sangat fatal. Namun, hal itulah yang
terjadi. Nasution dan Soeharto akhirnya menyerang markas G30S di Halim dan
berhasil menghancurkan gerakan itu.
Bahkan saat AURI menawarkan diri bergabung dengan G30S
untuk melawan serangan Soeharto, pimpinan G30S sudah kehilangan semangat untuk
menyerang. Akhirnya, pasukan dari RPKAD menyerang G30S dan situasi yang menjadi
sangat kacau.
"Pasukan-pasukan pemuda belum biasa menghadapi
perang yang sesungguhnya. Pada moment yang gawat itu, saya mengusulkan agar
semua pimpinan saya pegang. Nanti bila situasi bisa diatasi, saya kembalikan
lagi. Tetapi tidak ada jawaban," jelasnya.
Sebaliknya, pimpinan G30S malah menghentikan perlawanan
masing-masing dan meminta semua pasukannya membubarkan untuk diri, sambil
menunggu adanya perundingan. Tetapi yang terjadi, pasukan RPKAD malah terus
menyerang dan menghancurkan PKI.
Beberapa hal lain yang menjadi catatan Supardjo adalah
tidak dipenuhinya kebutuhan makan para prajurit, sehingga banyak prajurit G30S
yang masuk ke Kostrad untuk mendapatkan makanan. Padahal, sebenarnya mereka
sama juga menyerahkan diri.
"Akhirnya Nato (Nasution-Soeharto) cs memegang
inisiatif dan memulai tegen offensifnya. Kekuatan G30S mereka kejar dan kesempatan
yang lama mereka tunggu tidak disia-siakan, yaitu mengobrak-abrik PKI,"
terangnya.
Pada akhirnya, Supardjo menyalahkan Aidit karena telah
membawa PKI ke dalam kehancuran yang sulit dipulihkan. Menurutnya, rencana awal
revolusi akan dilakukan bertingkat. Tetapi tiba-tiba diubah oleh Aidit menjadi
gerakan PKI seluruhnya.
Tingkat pertama dari revolusi bertingkat adalah
menjadikan gerakan di dalam tubuh AD dengan jalan merebut pimpinan AD, mulai
dari mengganti panglima, dan para komandannya dengan perwira-perwira yang
demokratis revolusioner.
Tahap kedua, revolusi dipimpin oleh partai. Dimulai dengan mengerahkan massa partai yang dibayangi oleh militer-militer progresif, persis seperti yang dilakukan oleh kubu Nato cs saat menghancurkan PKI dan pemerintahan Soekarno.
Tahap kedua, revolusi dipimpin oleh partai. Dimulai dengan mengerahkan massa partai yang dibayangi oleh militer-militer progresif, persis seperti yang dilakukan oleh kubu Nato cs saat menghancurkan PKI dan pemerintahan Soekarno.
Bila rencana revolusi bertingkat ini berhasil, maka
keuntungannya adalah ketika tentara dipukul, maka partai yang tetap mempunyai
legalitet untuk dapat melindungi militer. Tetapi yang terjadi sebaliknya,
revolusi dipimpin partai.
"Kegagalan revolusi kita, disebabkan di antaranya
dipindahkannya rencana operasi yang semula bersifat intern AD menjadi operasi
yang langsung dipimpin partai, sehingga menyebabkan terseratnya partai dan
obrak-abriknya partai," tukasnya.
Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang
dokumen Supardjo dalam mengungkap kegagalan Gerakan 30 September 1965. Semoga memberikan manfaat.
Sumber Tulisan:
*Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Penerbit
Buku Kompas, Juli 2010.
*H Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan
Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66, Cetakan Ketiga, 2008.
*Victor M Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi
tentang Konspirasi, Yayasan Obor Indonesia, Cetakan ke-4, September 2007.
*John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30
September dan Kudeta Suharto, Hasta Mitra, Cetakan 1, 2008.
[SINDOnews]