-->




Mata Rantai 'Amoral' di Bumi Muda Sedia

24 April, 2017, 14.16 WIB Last Updated 2017-04-24T07:47:05Z
IST
NEGERI yang terkepung oleh Hak Guna Usaha (HGU) berbagai perusahaan perkebunan para kapitalis (pemilik pemodal_red), bernama Kabupaten Aceh Tamiang terindikasi kuat sebagai kabupaten darurat moral. 

Semenjak resmi dimekarkan menjadi kabupaten pada tanggal 10 April 2002 lalu, Aceh Tamiang yang terletak di sebelah timur provinsi bersyari'at Islam, Aceh dan tergolong kaya dengan sumber daya alamnya 'belum' mampu mendirikan Masjid Agung, karena baru tahap pelaksanaan pondasi saja sudah dikorup oleh panitia pembangunan.   

Hutan di daerah hulu dan juga hilir telah dibelah menjadi perbagai program aneh. Oknum abdi negara yang diduga kuat sebagai pembelah hutan, yakni Kadishutbun Pemkab Aceh Tamiang, hanya diganjar dengan sanksi pencopotan jabatan saja. Lalu tidak lama kemudian dilantik kembali menjadi Kadisbudparpora dan saat ini dirinya dikabarkan terindikasi melakukan sejumlah kejahatan korupsi.

Tragisnya lagi, bukan pejabat negeri saat ini terkesan berlagak seperti diktator yang kebal hukum. Terendus kabar bahwa hampir sebagian besar pejabat di Pemkab Aceh Tamiang takut kepadanya, bahkan wartawan yang menyajikan berita secara benar 'berani' dia tuduh sebagai berita yang melanggar hukum dan mengeluarkan ancaman bila kembali memberitakan tentang dirinya karena dia mengaku sebagai isteri sang penguasa Aceh Tamiang.

Indikasi kejahatan penyelewengan terjadi hampir semua lembaga pemerintahan. Bahkan di Departemen Agama Islam Kabupaten Aceh Tamiang yang dijabat oleh abdi negara berpeci dan takut dosa juga tidak  lepas dari tindakan kejahatan penyelewengan. 

Penyelewengan-penyelewengan juga tak hanya dilakukan kalangan atas atau kalangan politisi dan pejabat namun juga rakyat biasa. Seperti sogok menyogok yang dilakukan oleh oknum pengurus kelompok tani di desa-desa kepada para oknum mantri tani dan oknum lainnya demi tujuan tertentu. Tragisnya hal demikian sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa.  

Selain itu, serunya lagi adalah pelaksanaan Pilkada Aceh Tamiang kemarin juga tidak terlepas dari berbagai trik kecurangan. Bahkan ada kandidat yang tidak ikhlas atas kekalahan dan berupaya mengajukan gugatan dengan cara memaksa pihak-pihak lain agar bersedia menjadi saksi sehingga akhirnya harus berurusan dengan polisi.

Virus judi juga sangat marak berkembang di kabupaten yang bergelar Bumi Muda Sedia dan pelakunya mulai dari kelas pengangguran sampai dengan pejabat negara yang terhormat. Tapi anehnya, yang kena cambuk hanyalah kelompok rakyat jelata semata. 

Akhir-akhir ini, dari berbagai media massa dikabarkan bahwa puluhan kilogram narkotika, baik jenis ganja dan juga sabu-sabu ditangkap oleh aparat penegak hukum. Minuman keras dengan berbagai merek juga seakan tidak mau ketinggalan untuk hadir ditengah-tengah masyarakat Aceh Tamiang.

Bahkan beberapa hari yang lalu, hampir seluruh media massa, baik cetak maupun elekronik mengabarkan tentang terbongkarnya praktik pelacuran (prostitusi) anak dibawah umur dan perdagangan orang serta aksi pemerkosaan seorang oknum sopir yang turut dibantu isterinya oleh pihak Polres Aceh Tamiang.  

Sebenarnya, sejumlah kejahatan tersebut diatas adalah akibat dari terkikisnya moral masyarakat yang disebabkan jauhnya masyarakat dari agama. Masjid-masjid dan majelis agama seringkali sepi dari kaum muslim. Beda halnya dengan tempat-tempat hiburan, tempat rekreasi, pasar-pasar yang semakin hari makin ramai. 

Lebih dari pada itu, hilangnya nilai-nilai dalam masyarakat yang materialistis dan individualis, mengakibatkan ketimpangan terjadi dimana-mana. Perayaan hari-hari besar seringkali menjadi ajang "buang-buang" duit, kontras dengan kondisi masyarakat yang melarat, pengemis, pengangguran dan peminta sedekah di bawah umur. 

Semangat gotong royong yang sebenarnya adalah identitas masyarakat negeri ini semakin tak mendapat tempat di hati rakyat. Di lain pihak, antara pemerintah dan rakyat terdapat jurang pemisah yang semakin dalam. Kepercayaan publik terhadap para pemimpin memudar seiring banyaknya pelanggaran yang dilakukan kalangan atas yang seringkali dilakukan secara "berjamaah".

Sementara itu, sekolah-sekolah belum mampu memberi solusi dan berfungsi selayaknya. Hingga saat ini, sekolah hanya menjadi tempat tranformasi ilmu belaka, tanpa ditopang dengan nilai-nilai sosial dan agama. Juga, kurikulum yang diterapkan di banyak sekolah negara hanya berorientasi pada aspek materi sehingga hanya melahirkan anak-anak yang materialistik. 

Sehingga kesuksesan seringkali diukur dari banyaknya materi yang dimiliki. Itulah salah satu penyebab banyaknya kasus korupsi selain nafsu yang tak terbendung dan bisikan setan. Para murid juga tak dibekali dengan pengetahuan agama yang memadai. Kemudian, kontrol keluarga dan masyarakat (sosial control) juga semakin menghilang di masyarakat. 

Masyarakat terkesan acuh tak acuh dengan problem yang terjadi di sekitarnya. Hal ini semakin "membebaskan" para pelaku kejahatan untuk beraksi. Masyarakat hanya akan tersentak ketika hal yang tak diharapkan terjadi.

Jika Hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka bukan tidak mungkin jika dalam beberapa tahun ke depan, Kabupaten Aceh Tamiang akan semakin berbeda dan jauh dari harapan para pendahulunya. Dampaknya, Tamiang yang dikenal sebagai daerah yang berpenduduk muslim akan kehilangan identitasnya. 

Maka, sebelum moral para anak bangsa di Tamiang benar-benar hilang, perlu adanya gerakan perbaikan diri, terutama kalangan generasi muda. Alasannya simpel, karena generasi muda adalah pelanjut estafet perjuangan bangsa. 

Eksis tidaknya suatu kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa yang akan datang dapat diukur dari kualitas generasi mudanya. Artinya, rusaknya moral generasi muda akan berakibat fatal terhadap masa depan suatu daerah ataupun bangsa.

Perbaiki Pendidikan!

Untuk menciptakan generasi yang baik dan juga "memutus" mata rantai mafia dan sindikat kejahatan di negeri ini, maka sektor pendidikan mesti diperbaiki. Karena dari sekolahlah akan muncul para penerus bangsa. 

Untuk itu, sudah saatnya pemerintah bertindak. Kurikulum untuk sekolah-sekolah  harus memperhatikan aspek spiritual peserta didiknya. Penanaman nilai-nilai agama benar-benar perlu diperhatikan. Hal ini untuk menguatkan keyakinan agama sehingga akan menjadi pencegah ketika mereka berkesempatan melakukan penyelewengan.  

Setelah dua hal diatas dapat direalisasikan, sosial control harus terjalin dengan baik. Karena bagaimanapun, diera globalisasi seperti sekarang ini, melakukan kejahatan adalah hal yang sangat mudah.

Jika masyarakat tetap cuek dengan sekitarnya, kejahatan-kejahatan sekecil apapun akan terlihat seolah-olah mendapat pembenaran. Sehingga akan dilakukan terus-menerus dan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.

Untuk itu, semua harus melibatkan diri, terutama "orang-orang rumah". Alasannya, rumah adalah "sekolah pertama" bagi anak. Sehingga orang tua harus menjadi teladan dan memperhatikan moral anak-anaknya sejak dini. Ajarkan mereka tentang nilai-nilai yang baik.

Oleh karena itu, mari kita saling bergandengan tangan. Bersama, ciptakan lingkungan yang kondusif dan jauh dari hal-hal negatif. Ciptakan hubungan harmonis dengan sekitar. Jadikan hidup kita lebih bermakna dengan kepedulian sosial. Cetak generasi penerus yang bermoral untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Wallahu a’lam bisshawab

Penulis: Nasruddin (Mantan aktivis '98/Ketua Forum Peduli Rakyat Miskin/FPRM Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini