YOGYAKARTA - Hiruk pikuk kritik dari berbagai organisasi pers kepada Dewan Pers (DP) di tahun ini patut jadi bahan renungan seluruh pihak yang diatur Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Hal itulah yang dikritisi Iskandar Sitorus, Ketua Umum Asosiasi Pemilik Media Online (ASPEMO) kepada wartawan di Yogyakarta, Minggu (24/12/2017).
Menurutnya, Aspemo yang terdaftar di Administrasi Hukum dan Umum (AHU) Kementerian Hukum HAM RI nomor 0015900.AH.01.07 sebagai bagian dari ketentuan UU Pers seperti aturan di dalam Bab I romawi ketentuan umum pada Pasal 1 butir 1 yang menyatakan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pada butir kedua juga disebutkan, Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Serta isi Pasal 1 butir lima, menyatakan bahwa Organisasi Pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
“Dan keanggotaan Aspemo sendiri adalah Pers Nasional yakni yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia sesuai butir enam” tegasnya.
Maka, kata Iskandar, sesuai jaminan tersebut di atas, dengan ini Aspemo mencoba memberi masukan dalam bentuk catatan di akhir tahun ini.
Jika menilik pada Pasal 2 yang menyebut kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, maka saat ini Aspemo melihat sudah semakin nyata ada upaya untuk ‘menjajah’ kemerdekaan itu.
“Padahal, Pers nasional yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial sudah dikelabui agar tidak fokus lagi berfungsi sebagai lembaga ekonomi,” ujar dia.
Apalagi Pasal 4 ayat 1 menyebut kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, itu didistorsi dengan ragam ‘aturan’ yang tidak sah. Tidak sesuai UU Pers. Padahal kemerdekaan pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
“Ini pendistorsian terhadap UU Pers secara sistemik,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, Aspemo sebagai subjek hukum seperti aturan pasal 6 butir a sampai e, tetap berniat kuat melaksanakan perannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormat kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Karena Bab IV Pasal 9 butir 1 dan 2, menyebut setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers berbentuk badan hukum Indonesia, maka ‘pernyataan’ yang kerap menyebutkan bahwa badan hukum pers harus perseroan terbatas (PT) adalah tindak pidana melawan UU ini.
Untuk pasal 10 yang mensyaratkan perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lain, itu tetap menjadi hal yang kami perhatikan walau secara nyata ini cukup sulit.
“Namun kami tetap akan berupaya” tegas Iskandar optimis.
Selanjutnya, Pasal 12 yang menyebut Perusahaan Pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan, saat ini Aspemo tegah melakukannya.
“Tampilan dilayar tentu berbeda satu dengan yang lain namun esensinya sama dengan aturan UU Pers’ sebutnya.
“Yang sangat polemik saat ini adalah aturan Bab V, Pasal 15 tentang Dewan Pers. Di ayat 1 disebut dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Sayang, sedari awal di UU itu tidak dijelaskan apa definisi Dewan Pers,” ujar bang Is kerap disapa.
Lalu, ujug-ujug di ayat 2 disebut Dewan Pers untuk melaksanakan fungsi, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; dan mendata perusahaan pers.
“Keberadaan Dewan Pers yang keberadaannya tidak seperti organ lain diatur UU Pers walau sudah berusia 18 tahun terlihat tidak pas menjalankan UU. Lihatlah, mereka mendengungkan verifikasi perusahaan pers, padahal seharusnya hanya mendata. Berbeda jauh arti mendata dengan verifikasi. Kami tidak paham, mereka paham UU atau ada ‘pemahaman’ yang lain,” papar dia.
Akibat ungkapan verifikasi yang mirip lingkup kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu membuat bau perusahaan pers layaknya partai politik. Mulailah diberbagai daerah Indonesia beberapa kantor perwakilan BPK RI dan Pemda mendalihkan verifikasi sebagai sebuah persyaratan jikalau perusahaan pers akan bekerjasama/mendapatkan iklan dari uang negara.
“Tragis, institusi lain menjadi mesin pendorong ‘pembunuh’ perusahaan pers akibat ulah Dewan Pers,” ucapnya.
Bang Is mengaku heran berdasar kebijakan mana Dewan Pers bisa menata kelola organisasi-organisasi pers, seperti terkait apa dan bagaimana perusahaan dan atau wartawan media online.
“Semrawutnya lagi, tidak ada aturan yang sah sesuai perundangan terkait sertifikasi badan hukum dan atau sertifikasi profesi wartawan. Tanpa dasar hukum pula Dewan Pers mendorong pelaksanaan uji kompetensi wartawan (UKW). Ini aib bagi kami. Memalukan. Banyak profesi lain sudah sukses menata dirinya, namun masyarakat pers masih belum memiliki ukuran sertifikasi yang valid,” ungkap dia.
Terkait Bab VI Pasal 16 tentang peredaran Pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, belum di temukan dengan jelas aturan tentang itu.
“Lihatlah, bagaimana tampilan media online milik perusahaan pers nasional ditumpangi tampilan media asing milik perusahaan asing, berjalan terus tapi belum lahir juga aturan untuk mengikatnya” tutur dia.
Lebih lanjut kata dia, dari pantauan Aspemo, ada media nasional dengan nama PT yang sama di dompleng oleh media asing dengan ditambah kata Indonesia. Padahal, informasi yang terus berkembang menyatakan bahwa ada aturan Dewan Pers kalau satu media satu badan hukum.
“Bagaimana pula tentang pemberlakuan aturan tersebut, masa melawan UU PT. Kalau benar begitu, kenapa Dewan Pers tak memberi teguran kepada perusahaan media nasional tersebut. Apa karena diduga perusahaan pers itu kerap ‘memberi’ bantuan dana besar buat Dewan Pers, atau hal lain,” ujarnya.
Apalagi, bertumbuhan bagai media online yang dimiliki perusahaan modal asing lalu bebas menghimpun pemberitaan media online nasional kemudian ditayangkan layaknya media online, itu juga tidak bisa diatur.
“Apakah DP dengan esensif bisa memahami media online? Masa perusahaan pers pemilik media online harus sampai berfikiran bahwa yang bisa memahami dunia mereka adalah Dewan Pers Online (DPO) yang belum ada ketimbang DP?” tukasnya.
“Inikah buah 18 tahun usia UU Pers? imbuhnya.
Bang Is menyarankan, jangan sampai terbentuk pemikiran di kalangan organisasi pers bahwa individu di dalam DP melakukan hal-hal di luar UU Pers. Itu bisa dikategorikan melakukan seperti yang dilarang pasal 18. Isinya ini: “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (Lima ratus juta rupiah)”.
“Keanggotaan DP yang ditetapkan dengan keputusan Presiden selayaknya harus semakin dicermati oleh DPR RI. Jangan biarkan DP yang tugas pokok dan fungsinya sebagai fasilitator berubah ‘kelamin’ menjadi regulator. Itu melawan UU Pers,” tegas dia.
Karena kata dia, dunia pers belum pernah disentuh Presiden RI Joko Widodo. Semoga saja Presiden berkenan meluangkan waktu ditengah kesibukan kenegaraan untuk menerima organisasi kewartawanan.
Kemudian, kata dia, DPR RI jangan membiarkan DP ‘terjerembab’ jadi ikut merampas kemerdekaan pers dengan berbagai produknya yang bertentangan terhadap UU Pers, sebab Aspemo selaku steakholder akan menjadi ikut malu.
“Itulah catatan akhir tahun ASPEMO yang juga ditujukan kepada kami sendiri,” tutup Bang Is.[*]