-->








Ciptakan Aceh yang Maju Tanpa LGBT!

11 Februari, 2018, 20.01 WIB Last Updated 2018-02-11T13:01:32Z
ACEH adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di ujung utara pulau Sumatera dengan beribukotakan Banda Aceh. Provinsi yang mempunyai 5 juta penduduk ini dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif  atau dengan Sangat menjunjung tinggi nilai agama. Persentase penduduk Muslim yang tertinggi di Indonesia dan hidup dalam keaadaan makmur dan sejahtera mejadikan Aceh sebagai Barometer peradaban di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain, Aceh memiliki otonomi dan keistimewaan yang khusus di Indonesia karena alasan sejarahnya.

Letak daratannya yang lebih dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia pada tahun 2004 menjadikan Aceh luluh lantak di terjang gempa dan tsunami, hingga mengakibatkan sekitar 170.000 orang tewas dan hilang dalam bencana tersebut. Gejolak perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun terhenti sejenak, dan Atas iktikad baik antara kedua pihak menghantarkan mereka ke meja perundingan pada 15 Agustus 2005 di Finlandi sehingga melahirkan sebuah Nota Kesepahaman yang dinamakan MOU Helsinki untuk memperkuat kekhususan Aceh di Mata Indonesia.

Begitu banyak hikmah yang didapat oleh masyarakat Aceh setelah bencana alam yang dahsyat itu terjadi. Namun kini, huru hara kembali terjadi. Banyak bermunculan golongan yang akan membuat perdamaian aceh menjadi runtuh. Salah satunya yang sangat marak saat ini adalah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

Saya pernah membaca di salah satu sumber, istilah LGBT ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang disebutkan. Akronim tersebut dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Terkadang istilah LGBT digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksualbiseksual, atau transgender. Istilah LGBT sangat banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga digunakan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender di Amerika Serikat.

Sejauh ini hukum nasional Indonesia tidak mengkriminalisasikan homoseksualitas. Hukum pidana nasional tidak melarang hubungan seksual pribadi dan hubungan homoseksual non-komersial antara orang dewasa yang saling bersetuju. Hal ini berarti, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menganggap perbuatan homoseksual sebagai suatu tindakan kriminal (secara tidak langsung mendukung). Selama tidak melanggar hukum-hukum lain yang lebih spesifik, antara lain hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak, kesusilaan, pornografi, pelacuran, dan kejahatan pemerkosaan. Perbuatan homoseksual tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, selama hanya dilakukan oleh orang dewasa (tidak melibatkan anak-anak atau remaja di bawah umur), secara pribadi (rahasia/tertutup, tidak dilakukan di tempat terbuka/umum, bukan pornografi yang direkam dan disebarluaskan), non-komersial (bukan pelacuran), dan atas dasar suka sama suka (bukan pemaksaan atau pemerkosaan). Sebuah RUU nasional untuk mengkriminalisasi homoseksualitas, beserta dengan hidup bersama di luar ikatan pernikahan (kumpul kebo), perzinahan dan praktik sihir, gagal disahkan pada tahun 2003 dan tidak ada undang-undang berikutnya yang diajukan kembali.

Namun begitu UU Polisi No. 22 tahun 2002 menjadikan polisi sebagai salah satu institusi yang mempunyai peran tidak hanya dalam masalah menegakkan hukum dibidang kriminalisasi, akan tetapi juga penertiban terhadap Penyakit masyarakat demi memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Hal demikian sangat sinkron apa yang dilakukan oleh Kapolres Aceh Utara Untung Sangaji saat menjalankan fungsi dan perannya dalam penertiban penyakit masyarakat (LGBT di Aceh Utara) serta melakukan pembinaan supaya mereka kembali kepada Kodratnya yang diciptakan Allah SWT. Betapaun usaha membantahnya yang di lakukan oleh Aktivis HAM, dengan Kedok Kebebasan Hak Asasi Manusia mereka mendukung penuh LGBT menjalankan perannya di Aceh sesuai dengan  apa yang mereka inginkan dengan perlindungan Hukum HAM Internasioanal.

Walaupun begitu kekhususan Aceh menolak itu semua, UU No 44 tahun 1999 yang di perkuat dengan UU No 11 tahun 2006 mematahkan semua Argumen Orator Aktivis HAM tersebut. kebebasan menerapkan syariat Islam di Aceh membuat Aceh sebagai "Singa" dalam tatanan Hukum di Indonesia. Logika hukumnya, saat Peraturan Khusus berlaku di sebuah daerah maka Peraturan Umum di daerah tersebuat akan terkesampingkan. Oleh karena itu Legalitas Hukum di Aceh secara Tegas Menolak Keberadaan LGBT.

Jika dianalisa menggunakan Pikiran yang Sehat, maka akan terdapat sebuah titik temu yang bahwa LGBT itu merupakan sebuah kriminalisasi yang harus di tanggani secara lebih serius. Kenapa tidak, Indonesia hanya mengakui dua jenis Kelamin yaitu Laki-Laki dan Perempuan, hal ini merujuk pada UU No 1 tahun 1974 pada BAB 1 pasal 1 menjelaskan yang bahwa Perkawinan adalah  Ikatan Bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Disitu jelas tertera Perkawinan antara pria dan wanita, tidak ada disebutkan pria dengan pria dan wanita dengan wanita, maka oleh sebab itu pelaku LGBT telah melanggar ketentuan Hukum yang ada di Republik Indonesia, karena mereka telah melakukan perkawinan sesama jenis, sedangkan tidak ada hukum yang melegalkannya. Oleh sebab itu maka dengan jelas mereka ada pelaku kriminal dan mereka harus di beri sanksi atas perbuatannya tersebut.

Akal sehat manusia telah membuktikan bahwa tidak ada untungnya sama sekali melakukan LGBT tersebut selain kepuasan hatinya sendiri. Hubungan sejenis tidak akan bisa menghasilkan keturunan. Bayangkan jika generasi masa depan Aceh diramaikan oleh komunitas-komunitas LGBT. Akan menjadi seperti apa Aceh ini di masa depan kelak?. Sudah menjadi sebuah keharusan kita sebagai masyarakat Aceh untuk mencegah LGBT yang mewabahi bumi Aceh. Bayangkan, jika sebagian besar masyarakat Aceh penyuka sesame jenis di kemudian hari, mustahil generasi Aceh akan bertambah dan melanjutkan sejarah gemilang "indatu"nya. Sebaliknya, jika LGBT tidak ada di Aceh, generasi akan bertambah, dan bangsa Aceh tidak akan kehilangan penerus dan Insyaallah era keemasan Aceh akan kembali terwujud seperti masa Silam sultan Iskandar Muda. Dengan demikian pembentukan Karakter remaja sangat perlu di lakukan untuk membina generasi Islam di masa yang akan datang.

Perlu diketahui bahwa perbuatan homoseks, dalam islam disebut dengan istilah liwath, adalah perbuatan dosa besar, bahkan lebih besar dari dosa zina.

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan yang ringkasnya: "Telah terjadi perselisihan tentang hukuman liwath apakah lebih keras daripada hukuman zina, atau hukuman zina yang lebih keras, ataukah sama? Ada tiga pendapat:

Yang pertama, bahwa hukuman liwath lebih keras daripada hukuman zina, yaitu hukumannya dibunuh, baik sudah menikah atupun belum. Ini adalah pendapat, seperti: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Zaid, Abdullah bin Ma'mar, Az-Zuhri, Rabi'ah bin Abi Abdurahman, Malik, Ishaq bin Rahuyah, Imam Ahmad –dari dua riwayat yang paling shahih dari beliau-, dan Asy-Syafi'i pada salah satu pendapat beliau. (Dan ini adalah pendapat yang paling kuat). Yang kedua, bahwa hukuman liwath sama dengan hukuman zina. Ini adalah pendapat 'Atha bin Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bashri, Sa'id bin Al-Musayyib, Ibrahim An-Nakha'i, Qataadah, Al-Auza'i, Asy-Syafi'i -pada pendapat beliau yang zhahir-, Imam Ahmad –pada salah satu riwayat dari beliau-, Abu Yusuf dan Muhammad. Yang ketiga, bahwa hukuman liwath lebih ringan daripada hukuman zina, hukuman ialah ta'zir (hukuman yang ditetapkan oleh imam). Ini adalah pendapat Al-Hakam dan Abu Hanifah.

Golongan pertama menyatakan bahwa tidak ada kemaksiatan yang lebih besar kerusakan/bahayanya dari pada bahaya dosa liwath ini. Bahaya dosa liwath ini di bawah bahaya kekafiran, dan kemungkinan lebih besar daripada bahaya pembunuhan.

Kaum Nabi Luth adalah yang pertama kali melakukan dosa besar ini dan Allah menghukum mereka dengan hukuman yang tidak pernah ditimpakan kepada umat yang lain. Allah mengumpulkan berbagai hukuman atas mereka, yang berupa pembinasaan, dijungkir-balikkan kampung mereka lalu ditimpakan atas mereka, dibenamkam di dalam tanah, dilempari dengan batu dari langit. Kemudian dalil bahwa hukuman liwath lebih keras daripada hukuman zina adalah bahwa Allah menjadikan hukuman atas pelaku pembunuhan itu terserah pilihan pihak wali yang terbunuh, jika dia mau bisa balas bunuh dan jika dia mau bisa memaafkan. Sedangkan hukuman liwath, Allah telah menetapkannya, sebagaimana hal itu telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW. Yang hal itu ditunjukkan oleh sunnah beliau yang shahih lagi jelas dan tidak ada yang menentangnya, bahkan diamalkan oleh para sahabat beliau dan para Khalifah Rasyidin pengganti beliau.

Dari hukum syariah dalam agama Islam saja, kita dapat mengetahui bahwa hubungan LGBT haram dan dosa besar bagi yang melakukannya. Maka dari itu, awali dengan meyakinkan diri sendiri banwa LGBT mampu menghancurkan masa depan kita dan juga anak-anak penerus bangsa Aceh. Jauhi zina! Jauhi liwat! Ciptakan Aceh yang maju tanpa LGBT!

Penulis: Rizki Ardial (Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP) D-III Perbankan Syariah UIN Ar-Raniry, dan juga Kader HMI Cabang Banda Aceh.)
Komentar

Tampilkan

Terkini