PADANG - Pelaksanaan Hari Pers Nasional di Kota Padang, Sumatera Barat yang dihadiri langsung Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan sejumlah menteri kabinet termasuk Kepala Kepolisian Republik Indonesia Tito Karnavian, rupanya tidak memberi pencerahan bagi aparat penyidik Polda Sumatera Barat untuk menyelesaikan sengketa pers sesuai UU No.40 tahun 1999 tentang Pers.
Wartawan Koran Jejak News Ismail Novendra hingga kini tetap saja diproses sebagai tersangka dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan terkait berita yang dimuatnya di koran Jejak News pada (28/08) tahun lalu.
"Untuk itu kami dengan tegas meminta Kapolri segera mencopot Inspektur Jenderal Polisi Fakhrizal dari jabatan sebagai Kapolda Sumbar," tandas Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia Heintje Mandagie dalam siaran persnya, Kamis (15/03/2018).
Kapolda Sumbar, menurut Mandagi, memiliki conflict of interest terkait kasus ini karena ikut disebut dan dikaitkan dalam pemberitaan koran Jejak News yang diliput Ismail Novendra.
Mandagi juga menegaskan, dalam menangani kasus ini oknum penyidiknya bertindak tidak profesional karena menggunakan pasal pidana penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap sebuah karya jurnalistik yang dihasilkan Ismail Novendra.
Seharusnya Kapolda bisa memerintahkan penyidik menggunakan pasal-pasal di dalam UU Pers yang mengatur tentang hak jawab, hak koreksi dan kewajiban koreksi dalam menangani sengketa pemberitaan pers, sehingga korban pemberitaan, dalam hal ini pimpinan PT Bone Mitra Abadi dapat menggunakan hak jawab di koran Jejak News untuk mengklarifikasi kasus yang dituduhkan kepadanya.
Lebih jauh dikatakan, Kapolda Sumbar tidak mengindahkan sama sekali nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Kapolri terkait penanganan pengaduan perkara pemberitaan pers, karena penetapan Ismail Novendra sebagai tersangka pasti diketahui Kapolda karena ada aksi unjuk rasa penolakan keras dari wartawan rekan-rekan sejawat Novendra.
DPP SPRI menilai, nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Kapolri tersebut memang tidak memiliki dasar hukum, terlebih kesepahaman tersebut dibuat antara Kapolri dengan Dewan Pers namun bukan dengan Jaksa Agung. Sehingga pada prakteknya nota kesepahaman tersebut tidak berjalan sesuai harapan, dan justeru pada prakteknya wartawan sering dikriminalisasi terkait pemberitaan pers.
Sementara itu, Dewan Pers sebagai lembaga yang dilahirkan oleh UU Pers dengan tujuan untuk mengembangkan kemerdekaan pers justeru tidak berbuat apa-apa ketika Ismail Novendra terancam dipidana. Surat permohonan bantuan yang dilayangkan Ismail kepada Dewan Pers agar dirinya tidak dipidana terkait pemberitaan hanya dijawab Dewan Pers dengan surat yang berisi penjelasan dan saran. Tidak ada tindakan bantuan dari Dewan Pers untuk menghentikan upaya penyidik Polda Sumbar mempidanakan karya jurnalistik yang dibuat Ismail Novendra, padahal dalam kasus ini kemerdekaan pers jelas-jelas tercederai.
Bagi SPRI sesungguhnya Kapolri tidak perlu membuat Nota Kesepahaman dengan Dewan Pers jika semua penanganan sengketa pers merujuk pada UU Pers karena sudah ada Yurisprudensi putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung RI terhadap mantan Pemred Majalah Tempo Bambang Harymurti. Ketika itu Mahkamah Agung memutuskan membebaskan Bambang dengan pertimbangan bahwa UU Pers adalah Lex Spesialis atau aturan khusus di atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Putusan kasasi MA itu juga untuk melindungi kebebasan pers dan tugas-tugas kewartawanan.
"Mengacu dari keputusan tersebut seharusnya Kapolri dan Jaksa Agung lah yang paling tepat membuat nota kesepahaman agar di kemudian hari tidak terjadi lagi kesalahan yang sama dalam penanganan kasus sengketa pers, sehingga kemerdekaan pers benar-benar dijamin oleh aparat penegak hukum bukannya Dewan Pers yang selama ini terbukti gagal menegakan kebebasan pers," ujar Mandagi mengusulkan.[*]