-->

Ekonomi Islam dan Politik Kapitalisme

02 April, 2018, 11.34 WIB Last Updated 2018-04-02T04:34:21Z
PENGEMBALIAN kaedah ekonomi berlandaskan Hukum Islam dari konvensional merupakan langkah kongkrit untuk menguatkan pondasi akidah umat dalam bermuamalah. Prinsip Islam yang menjunjung tinggi nilai falah (kesejahteraan) sangat bertolak belakang dengan ekonomi konvensional yang mengutamakan keuntungan bisnisnya daripada fungsi sosial. Seperti yang diajarkan Adam Smith seorang tokoh ekonomi kapitalis dalam teori klasiknya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem ekonomi demikian. Hal yang membedakan kapitalis klasik dan modern terletak pada praktisinya, kapitalis klasik dimainkan oleh para pengusaha dan bangsawan, sedangkan kapitalis modern ini negara langsung yang menjadi aktornya. Kebijakan demi kebijakan yang diterapkan oleh negara sangat bertolak belakang dengan peradaban Islam di tanah nusantara.

Hal ini secara jelas dilihat dalam dunia perbankan, ekonomi laksana "berlian" yang diperebutkan secara hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang akan mendapatkannya. Penyaluran kredit (pembiayaan) yang pada dasarnya untuk pemberdayaan ekonomi rakyat tapi nyatanya makin menyengsarakan masyarakat dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang berlaku.

Mungkin hal ini dikarenakan kita masih terbiasa dengan pola ekonomi yang dimainkan oleh penjajah bangsa kita dahulu. Aceh merupakan sebuah daerah yang telah menerapkan syariat Islam, di bidang perekonomian konversi Bank Aceh merupakan sebuah bukti nyata keseriusan Pemerintah dalam membumikan syariat Islam secara kaffah dalam bidang ekonomi di bumi serambi Mekah.

Akan tetapi eksistensinya masih seakan-akan syariat Islam itu hanya sebuah formalitas saja tanpa murni tulus karena Allah. Berlakunya syariat Islam di Aceh bisa dikatakan paksaan dari masyarakat Aceh bukan niat tulus dari pemimpin negeri dan kesiapan para praktisi, sehingga saat syariat Islam telah disahkan. Pemerintah seakan tidak tegas dalam mengawasinya, langkah apa yang harus dijalankan, program apa yang harus dibuat untuk mendukung penegakan syariat Islam di Aceh dapat berjalan sebagaimana mestinya (kaffah).

Lahirnya perbankan syariah diharapkan dapat membantu Pemerintah dalam mengembangkan perekonomian rakyat melalui pembiayaan-pembiayaan yang disalurkan, akan tetapi pembiayaan yang diharapkan dalam meringankan masyarakat dalam menjalankan perekonomiannya belum bisa menjawab kondisi tersebut.

Bukan maksud penulis mengatakan sama saja seperti konvensional, akan tetapi pada kenyataannya pembiayaan yang diberikan tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan setoran yang harus diulurkan oleh masyarakat yang mengambilnya (nasabah) kepada bank dalam kurun waktu bertahun-tahun sesuai kesepakatan yang dibuat. Bahkan bisa jadi pengembalian pinjaman tersebut mencapai dua kali lipat lebih dari modal yang diberikan.

Disini bank berdalih sebuah lembaga bisnis bukan lembaga sosial, yang juga menjunjung tinggi profitabilitas. Jika ini alasan yang diutarakan, maka penulis rasa ini tidak ada bedanya dengan sistem kapitalis yang berkembang di negara-negara kafir. Apakah perbedaan perbankan syariah dengan konvensional hanya terletak pada akad transaksinya saja, seperti ijab kabul pada prosesi pernikahan untuk membedakan pasangan yang sah dengan perzinahan? Bukankah dalam Islam nilai Falah lebih di utamakan?

Dimanakah letak keberkahan jika keuntungan bisnis yang kita cari dari hasil kesusahan dan kesengsaraan saudara-saudara kita, jika menyoal masalah kerelaan. Iya mereka rela dikarenakan keterpaksaan yang menimpanya, tapi apakah itu sebuah kebaikan jika proses yang terjadi begitulah kejam? Oleh sebab inilah masyarakat sering mengibaratkan perbankan konvensional menyembelih sapi secara membabi buta sedangkan Perbankan Syariah menyembelih babi dengan membaca bismillah.

Pada hakikatnya kedua hasil sembelihan itu adalah haram, sapi yang pada dasarnya adalah halal namun karena proses penyembelihannya yang membuat sapi itu menjadi haram, begitu juga dengan babi, hukum memakan babi tetap haram walaupun dilakukan dengan cara terpuji yaitu menyembelih dengan membaca bismillah.

Apakah Pemerintah tidak melihat itu ? Tidak mungkin mereka buta dari hal seperti itu, akan tetapi apa boleh buat, kepatuhan syariat kita telah di nodai oleh politik-politik kapitalis yang telah duluan melekat dalam darah daging kita. Sungguh kesannya sangat jauh dari "Aceh-Meuadap" seperti yang di sinyalir oleh Pemerintah kita sekarang.

Bukan maksud meragukan kualitas para pejabat kita saat ini, akan tetapi hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian serius dari Pemerintah guna untuk mendongkrak perekonomian masyarakat kelas bawah, produk-produk perbankan yang mendukung produktivitas ekonomi masyarakat harus terus di tingkatkan, sehingga roda perekonomian masyarakat kelas bawah dapat terus berkembang. Kemiskinan bukan merupakan pilihan yang mereka inginkan akan tetapi jangan sampai kemiskinan yang mereka dera diakibatkan ulah kita dalam mengelola harta.

Alhamdulilah beberapa hari yang lalu Gubernur Aceh telah menghimbau agar perbankan Syariah tidak hanya covernya saja, tapi isinya juga harus syariah, jika ini benar-benar dapat diterapkan di Aceh. Insyaallah Aceh bukan hanya menjadi role model bagi daerah lain tapi juga menjadi bangsa yang bermartabat, hebat dan Rahmatalil'alamin.

Ekonomi Islam

Fiqh Muamalah membimbing kita untuk bersikap cenderung lebih memikirkan kemaslahatan daripada kepentingan pribadi dan kelompok, hal inilah yang dinamakan falah.

Keuntungan bisnis adalah tujuan yang harus di capai akan tetapi di samping itu ada fungsi sosial yang harus dipertimbangkan. Dalam artian tidak semata-mata keuntungan bisnis dapat menyebabkan kesejahteraan, akan tetapi yang sebenarnya keuntungan itu adalah saat kita bisa meringankan beban saudara kita melalui keuntungan bisnis tersebut.

Pada dasarnya ekonomi Islam dalam operasionalnya memiliki dimensi ibadah yang teraplikasikan melalui etika dan moral. Hal ini sangat sinkron jika dilihat dengan program Pemerintah kita "Aceh-Meuadab". "Meuadab" berarti punya tata krama, punya nilai moral dan etika dalam bertingkah laku. Saat nilai Islam dan program Pemerintah ini dapat bertemu dalam kinerja praktisi ekonomi di Aceh, maka tidak mustahil perekonomian syariah di Aceh dapat berkembang secara kaffah.

Pola pembiayaan yang pro-rakyat dengan fundamental kesejahteraan rakyat akan dapat mengatasi kemiskinan di Aceh. Dengan demikian kesejahteraan rakyat akan semakin meningkat sehingga "Aceh-Hebat" akan segera dapat terwujud.

Politik Kapitalisme

Berbicara ekonomi memang tidak lepas kaitannya dengan politik. Kenapa tidak, dikarenakan setiap perekonomian selalu diatur oleh kebijakan politik. Dalam berbangsa bernegara semua diatur oleh perpolitikan termasuk masalah perekonomian. Keistimewaan Aceh dalam bingkai Indonesia, menjadikan Aceh sebagai daerah yang dapat menentukan kebijakan politiknya sendiri. Baik dalam penerapan aturan/qanun maupun tata kelola daerah. Dalam perekonomian Pemerintah Aceh mempunyai hak untuk menyelenggarakan dan mengatur kebijakan tentang permasalahan ekonomi rakyatnya.

Ekonomi Islam merupakan cita-cita Bangsa Aceh dalam bermuamalah, hal ini mau tidak mau harus dikabulkan oleh Pemerintah mengingat rakyat merupakan pondasi yang paling kokoh dalam berbangsa dan bernegara. Menanggapi hal tersebut dalam beberapa tahun terakhir hampir semua lembaga keuangan di Aceh berubah namanya menjadi syariah. Tak peduli operasionalnya, yang penting namanya sudah syariah, hal ini dilakukan untuk memikat masyarakat Aceh dalam bermuamalah.

Banyak instansi keuangan syariah yang kita jumpai belum sesuai dengan prinsip syariah dalam mekanisme operasionalnya, namun juga tidak melanggar dengan hukum negara. Hal ini dikarenakan kebijakan negara tentang ekonomi Islam dibuat belum sepenuhnya sesuai dengan kaedah syariah. Masih banyak prinsip konvensional yang terdapat dalam kebijakan ekonomi syariah untuk memperoleh keuntungan bisnis yang berlipat ganda.

Prinsip syariah yang berlaku hanya sebagai simbolis saja tidak murni lillahi ta'ala, oleh karena itu kesejahteraan masyarakat yang selalu kita idam-idamkan masih jauh dari pengharapan. Hegemoni politik sosial budaya barat yang telah mendarah daging dalam diri kita membuat kita sulit untuk membumikan syariah secara kaffah di tanah air kita sendiri. Hal inilah yang membuat kebijakan politik pemerintah kita masih berbau kapitalis.

Ekonomi Islam bertujuan untuk mensejahterakan umat, dalam berbangsa dan bernegara kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tanggung jawab setiap individu sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu marilah kita buka mata hati kita untuk mengembalikan kaedah-kaedah Islam dalam bermuamalah supaya mendapat keridhaan Allah SWT.

Penulis: Rizki Ardial (Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi/HMP D-III Perbankan Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini