IST |
TSUNAMI konflik dan ganja merupakan tiga hal yang melekat pada Aceh. Dari berbagai jenis narkoba, ganja justru menjadi kasus terbanyak sehingga stigma sebagai negeri ganja masih belum terlepas dari provinsi Aceh. Dari banyaknya identitas positif yang dimiliki Aceh, ganja justru menjadi yang salah satu yang paling dipertanyakan oleh masyarakat diluar provinsi ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa stigma ini memberikan pandangan yang negatif terhadap Aceh, bahkan dalam bidang lainnya seperti pariwisata. Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Penjajah Belanda menggunakan ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau.
Dalam perkembangannya ganja dengan cepat menyebar ke seluruh negeri, apalagi Aceh memiliki tanah yang subur. Disisi lain, temperatur udara yang relatif stabil dan kondisi geografis yang sesuai menjadikan Aceh cocok untuk tanaman ini. Walau demikian perkembangan zaman malah merubah fungsi tanaman ini karena disalahgunakan untuk hal yang negatif. Tarmizi A Hamid, seorang kolektor manuskrip kuno di Aceh menyebutkan bahwa dalam Kitab Tajulmuluk yang dimilikinya, ganja memang sudah menjadi komoditi penting untuk menyajikan masakan yang lezat masa kerajaan Aceh dulu.
Tanaman ganja bahkan menjadi penghias di halaman rumah. Tidak mengherankan peran sejarah dan perkembangan zaman telah menjadikan Aceh menjadi darurat narkoba. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh Mahdi Effendi bahkan menyebut Aceh menduduki peringkat 8 nasional dengan penyalahgunaan narkoba sebanyak 60.486 (jiwa dari total 5.024. 300).
Bahkan untuk narkoba jenis ganja Aceh menjadi peringkat 1 di Indonesia. Tidak hanya ganja, kini berbagai jenis narkoba juga semakin banyak yang masuk ke Aceh, terutama sabu. Narkotika jenis ini banyak yang dikirimkan dari luar negeri seperti Malaysia untuk selanjutnya di distribusikan ke wilayah lainnya di Indonesia. Ini tentu menyedihkan mengingat dulunya Aceh sebagai pintu masuk agama islam kini justru menjadi salah satu pintu masuknya narkoba.
Berdasarkan UU No. 40 tahun 2009, setiap pemuda berhak mendapatkan perlindungan, khususnya dari pengaruh destruktif (bahaya narkotika dan zat adiktif). Apalagi, berdasarkan data yang dihimpun oleh komuntas Indonesia baik menunjukan bahwa setiap harinya 40-50 orang di Indonesia meninggal karena narkoba.
Penyalahgunaan Narkoba di kalangan pemuda semakin memprihatinkan. Banyak dampak negatif akibat penyalahgunaan narkoba, seperti, perubahan sikap, perubahan perangai dan kepribadian, sering membolos, menurunnya kedisiplinan, menjadi mudah marah, malas dan tidak mempedulikan kesehatan. Gangguan yang lebih buruk yaitu pada kesehatan fisik (gejala putus obat, kerusakan otak, jantung, paru-paru, hati, ginjal, organ reproduksi sampai kematian yang sia-sia. Penggunaan narkotika dengan jarum suntik malah dapat menimbulkan resiko tertular HIV/AIDS, Hepatitis B, C maupun penyakit infeksi lainnya.
Narkoba merupakan fenomena yang multidimensi, berkaitan ke seluruh aspek kehidupan mulai dari kesehatan, hukum, sosial dan ekonomi. Narkoba merupakan salah satu faktor yang dapat mengancam masa depan Aceh karena dalam perkembangannya penyalahgunaan narkoba oleh generasi muda dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Maraknya penyimpangan perilaku generasi muda dapat membahayakan keberlangsungan hidup bangsa ini di kemudian hari. Karena pemuda sebagai generasi yang diharapkan menjadi penerus dan pemimpin bangsa, semakin hari semakin rapuh digerogoti oleh zat-zat adiktif penghancur syaraf otak. Hal ini akan berdampak hilangnya suatu generasi bangsa di masa depan.
Pemberantasan narkoba memang menjadi tugas dari BNN (Badan Narkotika Nasional) di tiap wilayah pemerintahan, sebagai bentuk terwujudnya komitmen untuk menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di gampong-gampong di Provinsi Aceh. Namun upaya ini tidak akan terjadi dengan mudah apabila tidak ada kerjasama dari berbagai pihak dalam bahu membahu membumihanguskan narkoba dari Aceh. Memang tidak akan mudah pula menghapus stigma Aceh sebagai negeri narkoba, tetapi melalui kesadaran dini oleh pemuda maka harapan ini akan terwujud.
Edukasi dini sangat penting bagi masyarakat dari berbagai lapisan untuk lebih bisa menjaga diri terhadap bahaya narkoba. Apalagi narkoba tidak pernah mengenal usia, jabatan maupun status sosial. Sangat penting untuk pengetahuan dini mengenai bahaya narkoba bagi setiap kalangan. Edukasi yang menyeluruh diharapkan akan dapat mengurangi jumlah peredaran narkoba di Provinsi Aceh.
Semoga kita semua dapat menghentikan peredaran narkoba di Aceh, dimulai dari diri sendiri untuk tidak mencoba menggunakannya. Melalui pendidikan dini juga kita bisa membangun generasi pemuda Aceh yang bebas dari narkoba dan menghapus stigma negeri narkoba (ganja).
Penulis: Mulkan Kautsar (Duta Wisata Bireuen 2018)