-->








Implementasi Hak Azasi Warga Negara Masih dalam Ruang Imajinasi

30 Desember, 2018, 23.33 WIB Last Updated 2018-12-30T16:33:28Z
IST
BANDA ACEH - Sejak tahun 1995, LBH Banda Aceh sebagai bagian dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang telah berkiprah dalam bidang bantuan hukum dan HAM selama puluhan tahun mewarisi paradigma dan visi misi Bantuan Hukum Struktural (BHS). Sesuai dengan paradigma dan visi misi BHS, LBH Banda Aceh terus mengabdikan diri dalam memberikan layanan bantuan hukum dan penegakan prinsip serta implementasi nilai-nilai HAM. 

"Dalam setiap penanganan kasus, LBH Banda Aceh selalu melihat dari perspektif penegakan HAM sebagai pondasi dasar dalam menyusun langkah strategi advokasi. Dalam kondisi apapun, pembelaan terhadap penegakan hukum dan HAM selalu menjadi karakter khas LBH secara kelembagaan. Bahkan dalam kondisi darurat sekalipun, LBH masih tetap memberikan pelayanan bantuan hukum dan HAM bagi masyarakat miskin dan marginal yang membutuhkannya," demikian kata Direktur LBH Aceh, Mustiqal Syah Putra, S.H., M.H, dalam rilisnya tentang catatan akhir Tahun 2018, Minggu (30/12/2018). 

Dilanjutkannya, pelanggaran dan pengabaian hak warga negara terus saja berulang dari masa (lah) ke masa (lah) seperti mata rantai yang tak terputus dan terus saja membelenggu hak warga negara, terutama kaum miskin dan rentan. Kasus penangkapan dan penahanan secara melawan hukum, penyiksaan, konflik agraria yang merampas ruang hidup dan diikuti pemidanaan warga negara, konflik perburuhan dan pengabaian atas hak kesehatan merupakan contoh nyata terbelenggunya hak asasi warga negara.

"Dalam kasus konflik pertanahan, penguasaan atas tanah di negeri ini selalu diwarnai oleh banyaknya kebijakan pertanahan yang kapitalistik. Kebijakan-kebijakan kapitalistik tersebut tidak dapat dipungkiri telah melahirkan ketidakadilan yang harusnya ditanggung oleh negara, yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada seluruh warga negara. Namun, kondisi objektif yang ada justru menunjukkan bahwa negara malah menggunakan otoritas kekuasaannya dengan secara sengaja menjadikan sekelompok orang untuk dapat menguasai sumber daya agraria melebihi batas maksimal yang diperkenankan menurut undang-undang," bebernya. 

Tindakan pemerintah yang tak berpihak pada warganya, kata dia,  terutama rakyat miskin dan kaum rentan sesungguhnya adalah bentuk yang paling nyata dari tindakan kekerasan dan penindasan oleh negara terhadap rakyat. 

Kemudian, lanjutnya, dalam konteks isu perburuhan, lemahnya pengawasan dinas terkait terhadap ketenagakerjaan sebagaimana mandat peraturan perundang-undangan menjadi salah satu penyebab tenaga kerja berada dalam kondisi yang rentan. Selain itu, perbandingan jumah tenaga kerja dan mediator tenaga kerja yang timpang juga menjadi faktor lain rendahnya efektifitas penyelesaian kasus ketenagakerjaan. Setali tiga uang, dalam isu pemenuhan hak atas kesehatan, kasus malpraktik dan dan akses layanan kesehatan yang buruk menunjukkan bahwasanya Negara juga masih belum maksimal melakukan kewajibannya.

"Praktik penangkapan dan penyiksaan juga masih saja memberi noda buruk dalam catatan penegakan hukum. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang serta penyiksaan ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Umum HAM, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dan UU Nomor  12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR, serta UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia," sebut Mustiqal Syah Putra. 

Peningkatan kinerja kepolisian mutlak harus dilakukan secara kontinue dan konpherensif. Menurut dia, lemahnya fungsi kontrol selama ini sudah seharusnya dibenahi dengan baik. Masih saja terdapat kasus aparat yang melakukan pelanggaran hukum tapi tidak menjalani rangkaian proses hukum dan tidak mendapatkan sanksi maksimal, berbeda dengan masyarakat yang disangka melakukan tindak pidana. Perlu dipahami bahwa kita hidup dalam negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum, bukan negara yang berdasarkan kekuasaan semata. Tentunya, segala tindakan penegakan hukum harus memenuhi standar yang berlaku yang ditetapkan menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan.

"Sepanjang tahun 2018, LBH Banda Aceh menangani 59 kasus yang terdiri dari 11 kasus yang berdimensi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), 6 kasus yang berdimensi hak sipil dan politik (sipol), 7 kasus yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak, kasus keluarga sebanyak 4 kasus dan 31 kasus khusus, dengan total penerima manfaat yang berjumlah 404 jiwa," ungkapnya. 

Dalam konteks hak ekosob, lanjut dia, LBH Banda Aceh menangani 11 kasus yang didominasi oleh kasus hak atas tanah dan tempat tinggal, kasus perlindungan hak buruh, kasus pemenuhan hak kesehatan, serta kasus yang berkaitan dengan pemenuhan hak atas usaha/ekonomi. Sedangkan dalam aspek hak sipol, LBH Banda Aceh menangani 6 kasus, yang terdiri dari 2 kasus pengabaian hak untuk bebas dari penangkapan dan penyiksaan sewenang-wenang dengan dalih penegakan hukum dan ketertiban, 2 kasus pengingkaran hak persamaan di hadapan hukum, 1 kasus pengingkaran hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan 1 kasus pengabaian hak berpolitik.  

"Prinsip BHS yang dipedomani oleh LBH Banda Aceh tidak hanya diwujudkan dalam pelaksanaan layanan bantuan hukum semata, namun juga dilakukan dalam bentuk pendidikan hukum kritis dan pengorganisiran sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman publik terkait hukum dan HAM," katanya. 

Dijelaskannya juga, dalam rangka advokasi kebijakan, LBH Banda Aceh telah menggagas penyusunan Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanahan. Di samping itu, LBH Banda Aceh juga melakukan inisiasi lahirnya Instruksi Gubernur Nomor 10 Tahun 2016 tentang Moratorium Izin Prinsip Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Bidang Perkebunan Kelapa Sawit, dengan masa berlaku selama 1 tahun. Melalui Instruksi Gubernur Nomor 05 Tahun 2017, moratorium izin tersebut diperpanjang hingga Juni 2018. 

"LBH Banda Aceh menyimpulkan bahwa di tahun 2018 ini penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Aceh masih mengalami proses yang kelam. Negara, sebagai alat (agency) yang mengatur dan mengendalikan persoalan bersama atas nama rakyat sudah seharusnya berusaha mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur dalam berbagai aspek kehidupan warga Negara. Berbagai kebijakan yang merugikan warga Negara, pola pengawasan dan upaya yang lemah dalam mewujudkan pemenuhan hak warga, serta sikap pengabaian terhadap kondisi kehidupan rakyat pada dasarnya adalah wujud kejahatan yang terstruktur dan sistemik yang masih terjadi sepanjang tahun 2018" tegas Direktur LBH Aceh, Mustiqal Syah Putra, S.H., M.H.

Untuk itu, LBH Banda Aceh dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemerintah harus lebih berkomitmen dan lebih serius dalam menjalankan perannya sesuai dengan aturan hukum yang berkeadilan dan menunjukkan perspektif keberpihakan terhadap perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.

2. Pemerintah harus lebih serius melakukan upaya maksimal dalam upaya penyelesaian konflik-konflik agraria yang tersebar di berbagai wilayah di Propinsi Aceh dengan menjunjung tinggi prinsip perlindungan kedaulatan hak atas tanah bagi warga negara.

3. Pemerintah harus menjamin pemenuhan hak atas kesehatan yang berkualitas, terjangkau dan aman bagi seluruh warga Negara, serta melakukan penyediaan seluruh sarana dan prasarana pendukung terlaksananya layanan kesehatan yang optimal. 

4. Kepolisian harus lebih serius melaksanakan upaya penegakan hukum secara transparant, profesional dan akuntabel serta mengedepankan aturan hukum yang berlaku yang sesuai dengan cita-cita negara hukum dan Hak Asasi Manusia, serta melakukan penguatan terhadap pengawasan, monitoring dan evaluasi kinerja di institusi kepolisian.[*/Red] 

Komentar

Tampilkan

Terkini