-->




Kotak Suara dari Kardus, Amankah?

18 Desember, 2018, 09.03 WIB Last Updated 2018-12-18T02:36:00Z
BELAKANGAN ini muncul polemik pro dan kontra terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) selaku lembaga penyelenggara pemilu untuk menggunakan kotak suara tambahan yang terbuat dari bahan kardus, dan dianggap oleh banyak pihak tidak aman dan rawan terhadap upaya manipulasi. 

Argumentasi yang melandasi pendapat ini sederhana, bagaimana mungkin warga bisa mempercayakan keamanan setumpukan dokumen penting yang menjadi “alat penentu hidup mati” bagi partai politik dan calon anggota legislatif kepada sebuah kotak yang terbuat dari kardus? 

Polemik ini kemudian menjadi makin ramai dan bias ketika banyak pihak maupun perseorangan yang memviralkannya di media sosial melalui berbagai bentuk status ataupun komentar, bahkan turut dilengkapi dengan segala macam bumbu dari mulai lelucon hingga meme. KPU seolah-olah menjadi bulan-bulanan. 

Dalam menghadapi situasi ini, penulis melihat sepertinya KPU dan jajarannya agak kewalahan, dan mencoba menjawab persoalan ini dengan melakukan “uji kekuatan” kotak suara kardus tersebut, merekamnya dalam bentuk video lalu menyebarluaskannya ke dunia maya sebagai salah satu upaya counter issue dan pembelaan diri. 

KPU juga terlihat bersusah payah untuk berupaya meyakinkan publik dengan mengatakan bahwa kotak kardus dengan kualitas yang lebih buruk sudah pernah digunakan pada pemilu 2014 lalu, dan tidak ada persoalan keamanan yang mencuat pada saat itu. 

Namun upaya dari pihak KPU tersebut kelihatannya tetap saja tidak merubah keadaan, karena mulai dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu. 

Sebagai mantan penyelenggara pemilu, penulis mendapatkan banyak pertanyaan dan dimintai pendapat oleh berbagai pihak terkait polemik kotak kardus ini. Benarkah tidak aman? Atau sebaliknya?Berbagai penjelasan yang bersifat normatif telah penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang bertanya. 

Inilah penjelasan yang penulis sampaikan dan akan penulis tuangkan dalam bentuk tulisan singkat, dan diharapkan agar dapat memberikan sedikit penjelasan, juga pencerahan bagi kita semua, baik masyarakat awam maupun peserta pemilu yang diakui atau tidak, banyak yang kurang memahami prosedur dan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang digunakan dalam menjalankan seluruh proses pemilu di Indonesia. 

Kembali ke pertanyaan awal, benarkan kotak suara yang terbuat dari kardus tidak aman dan rawan penyimpangan? Untuk memberikan jawaban yang “adil” bagi pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus memahami dengan benar sekaligus menyamakan persepsi tentang makna kata “aman” yang diharapkan dari kotak suara kardus tersebut. 

Satu hal yang seringkali tidak dipahami oleh orang yang awam terhadap prosedur penyelenggaraan pemilu bahwa kotak suara bergembok dan berbalut segel itu esensinya adalah tidak ditujukan untuk memberikan pengamanan secara fisik terhadap isi kotak seperti layaknya pengamanan dokumen dengan menggunakan sebuah peti brankas yang tahan api dan air serta tahan terhadap perusakan. 

Penyimpanan surat suara, berita acara serta dokumen lainnya di dalam kotak suara sebenarnya ditujukan tidak lebih sebagai sebuah prosedur standar pengamanan dokumen secara administratif yang disimbolkan dengan menempatkannya ke dalam sebuah kotak suara yang tertutup, bergembok dan diberi segel. 

Sebab jika menggunakan defenisi pengamanan dalam arti yang sebenarnya, penggunaan kotak suara yang terbuat dari aluminium juga sebenarnya sama sekali jauh dari yang namanya aman. 

Kotak suara yang terbuat dari aluminium yang sebelumnya pernah (dan masih) digunakan juga dengan mudah dapat dibongkar, bahkan hanya dengan menggunakan sebuah obeng kecil. 

Demikian juga halnya dengan gembok yang digunakan. Seberapa besar kita dapat mempercayai daya tahan sebuah gembok seharga lima ribu rupiah? Pertanyaan selanjutnya : Pada tahapan mana status “rawan keamanan” akan terjadi dalam proses pemilu nanti jika seandainya KPU tetap menggunakan kotak suara yang terbuat dari kardus? 

Selama ini, banyak pihak beranggapan bahwa peluang kecurangan terbesar akan terjadi pada saat dilakukan pergeseran/pengiriman kotak suara yang berisi dokumen dari desa ke gudang penyimpanan logistik pemilu di kecamatan pasca pemungutan dan penghitungan suara di TPS. 

Mereka berasumsi bahwa di tengah perjalanan, kotak suara kardus tersebut akan dengan sangat gampang dibongkar dan diganti isinya dengan dokumen lain untuk tujuan memenangkan partai politik atau calon anggota legislatif tertentu. Akan sesederhana itukah alur ceritanya? 

Perlu diketahui bahwa pada hari pencoblosan, setelah seluruh proses pemungutan dan penghitungan suara secara terbuka selesai dilaksanakan, kegiatan di TPS akan ditutup dengan 
penyerahan dokumen Berita Acara Hasil Penghitungan Suara (yang biasa dikenal dengan nama Model C1) oleh ketua KPPS kepada masing-masing saksi partai politik serta Pengawas TPS dan/atau PPL. 

Selain itu,1exemplar Model C1 akan ditempelkan di papan pengumuman, dan 1 exemplar Model C1 berhologram dimasukkan ke dalam kotak suara bersama berbagai dokumen dan perlengkapan pemungutan suara lainnya, lalu digembok dan diberi segel. 

Selanjutnya kotak suara bersegel tersebut langsung diantar oleh ketua serta anggota KPPS ke gudang logistik PPK di kecamatan dengan pengawalan melekat dari petugas Polisi PAM TPS, Linmas dan Panwas TPS, atau PPL. 

Memperhatikan SOP pemungutan dan penghitungan suara seperti yang penulis ceritakan di atas, apakah masih memungkinkan untuk dilakukan manipulasi dengan penggantian isi dokumen saat pergeseran logistik pemilu dari TPS ke gudang PPK di kecamatan? 

Menurut logika penulis, hal itu hanya mungkin dilakukan apabila empat pihak di atas, yaitu KPPS, Polisi PAM TPS, Linmas dan Panwas TPS atau PPL secara bersama membuat persekongkolan untuk melakukannya, dan ini tentu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. 

Lalu, seandainya persekongkolan itu benar terjadi, apakah manipulasi data hasil suara tersebut dapat digunakan Jawabannya, tidak bisa. Karena manipulasi data Model C1 di dalam kotak suara tersebut akan terdeteksi pada saat pembacaan rekapitulasi suara di tingkat kecamatan, karena angka hasil yang terdapat pada dokumen Model C1 yang berasal dari dalam kotak suara akan berbeda dengan data C1 yang dipegang oleh masing-masing saksi partai politik. 

Kesimpulannya, dari penjelasan di atas, kita pahami bahwa hakikat pengamanan dokumen pemilu yang sesungguhnya bukan bergantung kepada seberapa kokoh kotak suara yang digunakan, melainkan ada pada seberapa baik SOP yang dibuat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan dan Keputusan KPU. 

Juknis maupun surat edaran yang mengatur secara detil langkah-langkah dan urutan prosedur yang wajib untuk dipedomani oleh penyelenggara sesuai tingkatannya, yang berlaku sama dimanapun kegiatan tersebut dilaksanakan.

Pada hakikatnya, kotak suara atau SOP pemilu tak lebih dari sebuah tools. Bagian terpenting dari sebuah proses pemilu yang sempurna itu sesungguhnya adalah integritas penyelenggara itu sendiri. 

Seandainya penulis diminta untuk memilih, menggunakan kotak suara yang terbuat dari kardus tapi disertai dengan SOP yang baik, atau menggunakan kotak suara dari plat baja namun tanpa SOP yang jelas, maka penulis tanpa keraguan akan mengatakan : Saya Akan Memilih Kotak Suara Dari Kardus Tapi Disertai Sop Yang Baik.

Penulis : Ir. Izuddin (Mantan Ketua KIP Aceh Tamiang Periode 2008-2013, Mantan Komisioner KIP Aceh Tamiang Periode 2013-2018. Saat ini menjadi Calon Anggota Legislatif DPRK Aceh Tamiang dari Partai PAN)
Komentar

Tampilkan

Terkini