-->








Suara Buruh Migran Hongkong, Bisakah Pengaruhi Hasil Pilpres 2019

15 April, 2019, 22.05 WIB Last Updated 2019-04-15T15:05:15Z
Kesadaran politik di antara pekerja domestik dalam Pilpres 2019 lebih tinggi dari sebelumnya. Mereka juga lebih mengetahui tentang hak-hak buruh, dengan laporan yang diajukan di konsulat melampaui 1.300 tahun 2018, menurut konsulat jenderal. Saat ini diperkirakan ada 180 ribu WNI di Hong Kong, 165 ribu dari mereka adalah pekerja rumah tangga.
Oleh: Raquel Carvalho (South China Morning Post)
Ketika sekitar 192 juta rakyat Indonesia bersiap memberikan suara pada hari Rabu, 17 April dalam Pilpres 2019, para pekerja migran Indonesia telah lebih dulu memilih antara kandidat presiden petahana Joko "Jokowi" Widodo dan capres oposisi Prabowo Subianto.
Di Hong Kong saja, 180.000 warga negara Indonesia telah terdaftar untuk memberikan suara dalam Pilpres 2019. Sebanyak 54.000 orang di antara mereka telah mengonfirmasi keinginan mereka untuk memilih. Beberapa orang telah mengirimkan suara mereka melalui surat dan sebagian besar berencana untuk mendatangi tiga tempat pemungutan suara yang didirikan di seluruh kota hari Minggu (14/4).
Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong, Tri Tharyat, mengharapkan jumlah pemilih dalam Pilpres 2019 kali ini akan jauh lebih tinggi daripada Pilpres 2014.
"Kesadaran politik lebih besar saat ini," tutur Tri Tharyat, dilansir dari South China Morning Post, Senin (15/4). "Dan, kedua, keinginan untuk berkontribusi dalam proses politik juga lebih tinggi. Itu yang saya perhatikan sejak tahun lalu."
Pada Pilpres 2014, hanya kurang dari 20 persen pemilih yang memenuhi syarat di Hong Kong mengikuti pemungutan suara. Tahun 2019, tempat pemungutan suara (TPS) tersedia di tiga lokasi, Yuen Long, Tsim Sha Tsui, dan Wan Chai, dibuka hari Minggu (14/4), hari libur bagi sebagian besar pekerja domestik yang tinggal di kota. Sekitar sembilan juta warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri membentuk komunitas yang lebih besar dari populasi sebagian besar provinsi di Indonesia.
Ini adalah tugas terakhir bagi konsulat jenderal Tri Tharyat di Hong Kong, karena ia akan meninggalkan kota akhir bulan April 2019 karena akan menggantikan sebagai duta besar Indonesia di Kuwait. Masa jabatannya di Hong Kong, yang dimulai tahun 2016, ditandai oleh beberapa kontroversi, termasuk dakwaan terhadap seorang mantan bankir Inggris yang telah membunuh dua warga Indonesia di kota itu dan berita yang menghubungkan pekerja domestik di Hong Kong dengan ISIS.
Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong Tri Tharyat akan meninggalkan jabatannya pada akhir bulan April 2o19. (Foto: David Wong)
Sebuah laporan yang dirilis oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang berbasis di Jakarta bulan Agustus 2017 mengatakan bahwa setidaknya terdapat 50 pekerja domestik di Asia Timur yang mengambil bagian dalam kelompok diskusi ekstremis, dengan 43 orang dari mereka bekerja atau pernah bekerja di Hong Kong.
"Saya pergi ke Jakarta dan bertemu semua menteri terkait, dan kami sepakat untuk mengambil tindakan tentang hal ini. Fakta bahwa ada beberapa tersangka teroris yang memikat pekerja domestik di Hong Kong, itu bisa jadi bermakna sesuatu, jadi kami memerhatikan hal itu," kenang Tri.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong meluncurkan kampanye yang meliputi pemutaran film dan mengundang para pakar serta seorang mantan teroris, yang sekarang mengelola restoran di Indonesia, untuk berbicara dengan para pekerja di kota.
"Kami juga berbicara dengan orang-orang dari berbagai sektor di Hong Kong untuk mengurangi risiko pekerja domestik tertarik bergabung dengan jaringan ini," katanya. "Dan kami memperkuat kerja sama antara polisi Indonesia dan Hong Kong." Diplomat itu mengatakan bahwa upaya semacam itu tampaknya membuahkan hasil. "Saya belum melihat adanya laporan lain tentang masalah tersebut setelah itu. Dan, tentu saja, saya tidak ingin melihat laporan seperti itu lagi."
Menurut statistik resmi, 165.000 dari 180.232 warga negara Indonesia yang tinggal di Hong Kong adalah pekerja domestik.
Tri mengatakan bahwa salah satu prioritasnya adalah senantiasa meningkatkan perlindungan bagi para pekerja tersebut. "Saya menyampaikan kode etik kepada para agen tenaga kerja, mereka yang memiliki lisensi untuk merekrut pekerja Indonesia untuk datang dan bekerja di Hong Kong. Sejak itu, lebih dari 30 lembaga telah menerima sanksi, yang jarang terjadi sebelumnya."
Selain itu, menurut Tri, KJRI juga mulai mengizinkan pembaruan kontrak dengan setiap majikan tanpa keterlibatan agen perekrutan tenaga kerja.
Tri mengatakan bahwa pekerja domestik saat ini lebih menyadari akan hak-hak mereka daripada ketika dia pertama kali tiba di kota itu bulan September 2016. "Mereka sekarang memiliki lebih banyak keberanian untuk melapor ke konsulat, sebelumnya mereka takut," katanya. "Dan mereka juga sudah lebih pintar, mereka mencatat semuanya, seperti menggunakan kamera ponsel mereka. Majikan kini tidak dapat dengan mudah menyangkal fakta-fakta tertentu. Segalanya telah berubah."
Tahun 2017, KJRI menangani hampir 600 kasus. Tahun berikutnya, jumlahnya bertambah dua kali lipat, mencapai 1.341 pengaduan. Sebagian besar kasus terkait dengan pembebanan biaya yang berlebihan/overcharging (238), penahanan paspor secara tidak sah (207), pemutusan kontrak secara tidak sah (112), dan sakit (84).
Meskipun terdapat berbagai masalah seperti itu, "hanya Taiwan yang lebih populer daripada Hong Kong, jadi saya pikir jumlah pekerja domestik dari Indonesia akan terus bertambah di kota ini," tutur Tri.
Dalam beberapa bulan terakhir masa jabatannya, Tri telah berfokus pada membuka jalan bagi pekerja Indonesia untuk mengambil peluang di masa depan sebagai perawat di kota. "Saya telah membahas hal ini dengan kepala eksekutif dan dia setuju ini harus dibahas secara lebih rinci sesegera mungkin, karena, suka atau tidak, populasi menua dengan cepat di Hong Kong dan harapan hidup di sini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Jadi, pada titik tertentu, pemerintah Hong Kong akan membuka pasar untuk perawat asing," katanya.
"Mungkin akan butuh beberapa tahun. Tapi semakin dini kita mempersiapkan, akan semakin baik. Jadi ketika mereka membuka pasar, kita memiliki orang untuk mengambil tawaran pekerjaan itu."
Tri mencatat bahwa bekerja di sektor perawatan akan meningkatkan kesejahteraan para pekerja Indonesia di Hong Kong. "Banyak pekerja rumah tangga saat ini melakukan segala macam pekerjaan. Mengategorikan pekerjaan secara tepat merupakan sesuatu yang kami inginkan."
Keterangan foto utama: Pekerja rumah tangga Indonesia di sebuah acara tahun 2017 saat bertemu dengan Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo di Hong Kong. (Foto: Edward Wong/South China Morning Post).[Mata-mata Politik] 
Komentar

Tampilkan

Terkini