-->








Realisasi UU PA dan MoU Helsinki, Jalan Tengah 'Referendum'

13 Juni, 2019, 12.33 WIB Last Updated 2019-06-13T09:39:50Z
BANDA ACEH - Merealisasikan segera butir-butir UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh yang merupakan buah hasil kesepakatan MoU Helsinki merupakan win-win solution dan langkah bijak yang mesti segera dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mengantisipasi berhembusnya kembali wacana referendum dan gejolak di Aceh.

"Pemerintah Pusat mestinya sedikit lebih bijak, wacana referendum yang sempat dilemparkan oleh Muzakir Manaf itu mestinya tidak serta merta ditafsirkan dan dikaitkan dengan Pilpres. Jika kita lihat masifnya respon masyarakat Aceh, maka semestinya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat itu adalah bagaimana mampu menjawab kegelisahan sejumlah tokoh dan masyarakat Aceh terkait nasib UU PA setelah hampir 14 tahun MoU Helsinki ditandatangani," ungkap Direktur Yayasan Aceh Kreatif (AK) Delky Nofrizal Qutni kepada media ini, Kamis (13/06/2019).

Menurut Mantan Pengurus Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) ini, jika pasal-pasal yang termaktub dalam UU PA dan butir-butir MoU Helsinki tidak segera direalisasikan, hal ini justru akan menjadi bom waktu yang bisa menghadirkan gejolak-gejolak baru di Aceh. 

"Tentunya kita menginginkan Aceh tetap aman dan damai. Namun demikian untuk menjaga itu Pemerintah Pusat diharapkan dapat menunjukkan kearifan dan kebijaksanaannya dalam merealisasikan butir-butir kesepakatan Helsinki yang menjadi pondasi dan dasar perdamaian itu dapat diwujudkan," jelasnya.

Delky menambahkan, sejauh ini, setidaknya terdapat 5 pasal UU PA yang dianggap bermasalah, diantaranya ada yang telah dibatalkan MK melalui mekanisme judicial review, dicabut oleh DPR melalui proses legislatif review dan ada pula yang diabaikan sama sekali oleh Pemerintah Pusat.

Dijelaskannya, kelima pasal tersebut adalah sebagai berikut: 

Pertama, pengabaian Pasal 74 UUPA oleh MK. Satu klausul pasal yang diabaikan sejak Undang-Undang Keistimewaan ini disahkan terkait dengan ketentuan Pasal 74 UUPA yang menentukan bahwa sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah di Aceh diselesaikan melalui Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, MA tidak pernah mengadili sengketa hasil Pilkada Aceh karena MA menilai kewenangan mengadili sengketa pilkada telah dialihkan ke MK. 

Kedua, pengangkatan Kepala Badan Reintegrasi dan Kependudukan Aceh oleh Mendagri yang menimbulkan polemik antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan Pemerintah Aceh mengklaim sesuai Pasal 110 dan 111 UUPA, kepala dinas, badan, dan kantor diangkat dan diberhentikan oleh gubernur dan bupati/wali kota atas usul Sekretaris Daerah. Sedangkan Mendagri berpendapat bahwa pemerintah berwenang mengangkat Kepala Badan Reintegrasi dan Kependudukan Aceh berdasarkan Pasal 83A UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Permendagri No.76 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat yang Menangani Urusan Administrasi Kependudukan di Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Ketiga, pencabutan Pasal 256 UU PA yang mengatur calon perseorangan dalam Pilkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d dibatalkan oleh MK yang memberikan peluang bagi daerah lain untuk dapat mengajukan dirinya sebagai calon kepala daerah dari jalur perseorangan. Putusan ini pula yang membuka "keran" demokratisasi di Indonesia, sehingga MK membolehkan calon kepala daerah di provinsi lain mencalonkan diri melalui jalur independen tanpa dukungan partai politik sama sekali. Satu hal yang belum pernah terjadi di Indonesia pada masa-masa sebelumnya. 

Keempat, pencabutan Pasal 67 ayat (2) huruf g oleh MK yang mengatur tentang persyaratan calon kepala daerah yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan dengan hukuman penjara minimal 5 tahun yang diajukan oleh mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh. MK menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945. 

Dan terakhir, kelima, pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 UU PA melalui UU Pemilu yang disahkan oleh DPR beberapa waktu lalu. Di dalam Pasal 571 huruf D UU Pemilu disebutkan bahwa Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), (2), (3) serta (4) UU PA dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Keseluruhan pasal yang disebutkan dalam Pasal 571 huruf D itu berkaitan erat dengan penyelenggara pemilu di Aceh, yakni Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan Panwaslih Aceh yang menurut pembentuk harus dicabut dan disesuaikan dengan UU Pemilu, namun akhirnya berhasil digugat kembali oleh sejumlah tokoh Aceh.

"Pencabutan sejumlah pasal itu menjadi katalisator pemicu hadirnya kembali ketidakpercayaan banyak masyarakat Aceh terhadap Pemerintah Pusat dan menghadirkan ruang argumentasi diwarnai kekhawatiran masyarakat Aceh bahwa satu persatu pasal UU PA akan dicabut dan tragedi Lamteh yang memilukan terulang kembali. Hal-hal seperti itu pula yang menjadi bom waktu bagi hubungan harmonis Aceh dan Indonesia yang telah dirajut kembali sekitar 14 tahun silam," ujarnya.

Delky juga menyarankan, Pemerintah Pusat hendaknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya mampu merealisasikan pasal-pasal UU PA yang belum juga selesai.

Dia memaparkan, dari 71 Pasal MoU Helsinki, setidaknya terdapat 10 Pasal yang sampai saat ini belum terealisasi. Ada yang sudah diupayakan realisasinya oleh Pemerintah Aceh, namun terkendala di tingkat Pemerintah Pusat. 

Diantaranya yaitu, pertama, poin 1.1.3 menyangkut dengan nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh Legislatif Aceh setelah pemilu yang akan datang (2009). Kedua, poin 1.1.4 perbatasan Aceh (dengan Sumatera Utara, pen) merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Ketiga, poin 1.1.5 Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang dan hymne. Keempat, poin 1.3.1 Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh juga berhak menentapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral RI (Bank Indonesia). 

Kelima, poin 1.3.8 Pemerintah RI dan Aceh menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara pusat dengan Aceh. Keenam, poin 1.4.3 suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi dibentuk di Aceh dalam sistem peradilan RI. Ketujuh, poin 1.4.5 semua kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil (Pengadilan Negeri, pen) di Aceh. Kedelapan, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh untuk diberikan kepada semua mantan pasukan GAM, semua tahanan politik yang memperoleh amnesti dan rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian jelas akibat konflik. 

Kesembilan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terealisasikan. Kesepuluh, pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar Nasional.

Menurut Delky, demi menjaga harkat dan martabat pemerintah pusat dan menumbuhkan kembali tingkat kepercayaan masyarakat Aceh dan Dunia kepada pemerintah RI, maka hendaknya hal tersebut direalisasikan segera.

Delky juga menyebutkan, jika memang masih ada pasal-pasal yang terlalu sulit untuk dikabulkan oleh pemerintah pusat maka pemerintah bisa saja meminta pendapat masyarakat melalui referendum terkait pasal tersebut.

"Jadi, karena referndum itu artinya jejak pendapat bukan konflik seperti opini yang digiring tokoh tertentu dan referndum itu bukan pula makar. Maka, kenapa tidak untuk pasal-pasal UUPA itu dilakukan referendum. Referendum dimaksud untuk mendengar pendapat masyarakat Aceh, apakah setuju atau tidak setuju terkait pasal tersebut. Jadi referendum itu bukan cuma bicara pisah atau bergabung dengan suatu negara poin yang ditawarkan, pasal-pasal dalam UUPA itupun bisa dimintai pendapat masyarakat melalui jejak pendapat (referendum), gitu lho," tandasnya.[*/Red] 
Komentar

Tampilkan

Terkini