-->








Uroe Raya dan Pantangan Bagi Lelaki Aceh

05 Juni, 2019, 08.46 WIB Last Updated 2019-06-05T01:46:32Z
USIA perdamaian Aceh sudah menginjak angka 15 tahun. Tak ada lagi perang terbuka antara TNI/Polri versus GAM. Wacana referendum yang disuarakan Muzakir Manaf tempo hari nyaris membuahkan riak konflik, merangsang munculnya militansi Aceh menjelang Lebaran tiba.

Seperti di tempat lain di Nusantara, Lebaran di Aceh dirayakan dengan sukacita. Mulai dari tradisi mudik perantau ke kampung halaman, konvoi takbiran, pesta kembang api dan toetkarbet (jugabeudetrieng) sebagai simbol kemenangan.

Lebaran atau uroe raya di Aceh tergolong unik. Dalam hal makanan, misalnya, penganan yang tidak boleh absen adalah timphan, kue khas Aceh dari adonan ketan yang isinya selai atau kelapa parut dicampur gula. Di tempat lain, makanan yang tidak boleh alpa mungkin belah-ketupat. Tuan rumah akan merasa malu jika tidak menyediakan penganan khas Aceh ini tiap hari raya.

Snouck Hurgronje, penulis Belanda yang meneliti adat dan budaya Aceh, menulis, pada malam hari raya lelaki Aceh pantang bersetubuh dengan sang istri. Ada keyakinan di masyarakat Aceh, siapa pun yang bersetubuh dengan istri di malam Lebaran dan membuahkan kehamilan, maka anak yang lahir akan memiliki jumlah jari tangan atau kaki lebih dari lima. [Baca Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid I, Yayasan Soko Guru, Jakarta (1985)]
Karenanya, pada malam Lebaran lelaki Aceh lebih memilih berada di luar rumah, berkumpul di meunasah (surau) dan masjid untuk mengumandangkan takbir, yang belakangan digantikan dengan pawai takbiran. Para orang tua lebih memilih poh cakra (kongkow) di pos jaga atau warung kopi. Berdiam diri di rumah di malam Lebaran akan mengundang cemoohan atau ejekan dari warga lain.

Dulu, sebelum konflik membuncah di Aceh, orang di kampung merayakan Lebaran dengan cara unik. Tua-muda menyiapkan meriam bambu (beudetrieng) yang diletakkan berjejer di pematang sawah atau bantaran sungai menghadap ke kampung tetangga. Malamnya, meriam bambu yang sudah diisi dengan bensin disulut dengan api untuk menghasilkan suara dentuman.

Masyarakat kampung tetangga juga tidak mau kalah. Mereka seperti berlomba-lomba agar dentuman meriam bambu milik kampung mereka lebih besar suaranya. Belakangan, tradisi membakar meriam bambu sudah mulai digantikan dengan mercon, kembang api, dan meriam karbit.

Tradisi begini bisa dirunut ke belakang, ke masa kesultanan Aceh. Pengumuman berpuasa di masa kerajaan Aceh, misalnya, dimulai dengan menembakkan meriam dari Dalam (istilah untuk Istana Sultan Aceh). Demi menarik perhatian, meriam itu ditembakkan tujuh kali.

Begitu pula saat menyambut hari raya, meriam ditembakkan dari Dalam kala matahari terbenam pada hari terakhir puasa. Ini sebagai tanda bahwa bulan perayaan sudah tiba. Tembakan meriam itu terus berlanjut, dimulai pukul 4 pagi hingga sore harinya.

Di Aceh, hari raya dikenal juga dengan istilah uroeseumumah (hari penyembahan). Istilah ini merujuk pada kebiasaan dalam masyarakat Aceh tiap hari raya tiba. Istri sembah-salam kepada suami, anak-anak kepada orang tua, pasangan suami-istri ke rumah mertua, santri kepada gurunya, dan sebagainya.

Di masa kesultanan Aceh, pada hari kedua atau ketiga lebaran, para ulee balang (hulubalang) yang tinggal di dekat Dalam dan beberapa ulama terkemuka akan menghadap Sultan sebelum tengah hari. Di kesempatan tersebut, mereka menerima hadiah beberapa potong pakaian. Snouck menulis, kunjungan tersebut berbeda dari pertemuan-pertemuan sosial orang Aceh, karena tak melibatkan kepandaian berpidato seperti biasanya.

Sementara Teuku Kadi Malikul Ade yang sering memimpin upacara di istana dan mempunyai hubungan lebih akrab dengan keluarga Sultan, datang pada hari pertama lebaran. Seperti anggota keluarga Sultan dan para pembantu rumah tangganya, dia mendapat bagian dari hewan yang disembelih oleh Sultan. [Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid I, hal 272]

Kebiasaan berkunjung ke orang yang memiliki pangkat lebih tinggi sampai hari ini masih terjaga. Tiap Lebaran, gubernur dan bupati/walikota menggelar open house di rumah atau di pendapa, dan siapa pun boleh datang bertamu untuk mengucapkan selamat hari raya kepada gubernur atau bupati/walikota. Biasanya, yang berkunjung lebih banyak para bawahan atau orang-orang yang berhasrat memperoleh keuntungan ekonomis dari sang pejabat.

Taufik Al Mubarak
[Kumparan] 
Komentar

Tampilkan

Terkini