-->




Aceh Kehilangan Jati Diri, Benarkah?

22 Desember, 2019, 06.25 WIB Last Updated 2019-12-21T23:25:31Z
"Ketika diplomasi berhenti, disitulah perang akan dimulai".

MEMINJAM kalimat tersebut sangat cocok dengan konteks sekarang ini. Bagaimana tidak bahwa setiap persoalan membutuhkan seseorang yang bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Nah ini yang terkadang kita sebut orang ketiga atau istilah modernnya 'Negosiator'.  Selain itu untuk memecahkan dan mencari solusi terhadap masalah yang dialami disebut diplomasi.

Di dunia modern hampir setiap mahasiswanya dilatih dan diwajibkan untuk berkemampuan layaknya seseorang diplomat, bahkan tak jarang hal tersebut menjadi PR khusus bagi negara-negara Post-Mo. Berbeda dengan negara berkembang yang masih belajar dalam semua hal, sehingga ada anekdot yang mengatakan bahwa "Negara maju sudah berfikir bagaimana tinggal di bulan sedangkan negara berkembang bagaimana cara membuang sampah dengan benar". Paradigma berfikir seperti ini membandingkan bagaimana peradaban cara berfikir setiap negara. Dalam konteks ini, penulis tidak menyalahkan siapapun, karena sadar bahwa kemajuan dan kemampuan itu berbanding lurus dengan apa yang di pikirkan.

Sekarang apa yang terjadi? Kemunduran dan kemajuan terlihat nyata saat negara berkembang dan negara maju berhadapan. Bukan maksud men-justifikasi, tetapi lebih tepatnya tentang bagaimana meluruskan persoalan untuk kemudian bisa mendapatkan jalan keluar. Benar memang pemerintah harus bertangungjawab dalam melahirkan generasi unggul dalam setiap kelulusan, tapi adakah yang lulus itu berfikir demikian? Kita bisa-bisa selalu menyalahkann otoritas negara dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Indonesia bisa saja berbangga dengan raihan lembaga internasional, tetapi jangan lupa bahwa kita juga harus melahirkan diplomat handal di setiap persoalan.

Aceh khususnya, wilayah yang pernah dilanda konflik berkepanjangan. Bahwa kita harus mengakui negosiator hebat ikut andil dalam proses perdamaian. Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah cukup demikian? atau jangan-jangan Aceh sudah kehilangan rasa yang demikian? Jawabannya, penulis kembalikan ke setiap personal. Karena tidak mungkin kita menghakimi setiap personal dengan segala latar belakang. Inilah yang harus diperbaiki oleh instansi pemerintahan Aceh untuk masa depan yang lebih cemerlang. Banyak persoalan yang akan datang baik membahas pembangunan maupun program masa depan. 

Apalagi tentang situasi dan kondisi di masa sekarang, apa yang sudah kita persiapkan untuk Aceh yang akan datang? Bagaimana kehidupan anak cucu di masa depan? Itu semua kembali lagi apa yang  kita kerjakan. Pepatah mengatakan bahwa apa yang di semai, itu yang di tuai.  Hal inilah penulis rasakan bahwa Aceh belum melakukan gebrakan dalam mencari solusi terhadap kesenjangan melalui diplomator handal. Boleh saja menggantung diri pada Pemerintah Pusat untuk segala hal, tapi ingat Aceh boleh saja berharap burung terbang tinggi tapi mulai di tangan jangan di lepas (Ust.Zainuddin:2008). Artinya, Aceh boleh saja berharap baik budinya Pemerintah Pusat, tapi jangan pernah lupa bahwa Aceh punya masa kelam dengan 'Pemerintah Jawakarta'.

Selayaknya dan sepatutnya Aceh harus lebih mandiri dalam melihat politik Jawakarta di era perdamaian ini. Penulis tidak mengatakan bahwa kita harus menjauh dari Jakarta, tetapi Aceh harus lebih tegas dalam menjamin atas nama masyarakat Aceh. Negara maju mereka mereka berfokus bagaimana mensejahterakan warga negaranya bukan memberi kesenjangan pada masyarakatnya.

Ayok sama-sama dalam menuntaskan berbagai persoalan bukan untuk taraf kehidupan yang sejahtera. Sudah cukup menyalahkan orang lain atas apa yang kita kerjakan, zaman terus berkembang dan  terus berjalan. Aceh harus maju di berbagai bidang bukan terus menerus saling menyalahkan... Bangkitlah wahai anak muda,, masa depan ada di tangan kita.

Wassalam dari Gunong Tiro, Halimon

Penulis: Ikhwanur Rijal (Mahasiswa Ilmu Politik, Fisip UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Komentar

Tampilkan

Terkini