-->








Bupati Mursil Fokuskan Pengembalian Istana Karang Menjadi Situs Sejarah Tamiang

29 Desember, 2019, 22.06 WIB Last Updated 2019-12-29T15:06:00Z
ACEH TAMIANG - Bupati Aceh Tamiang, Bupati H. Mursil, SH, M.Kn, dikabarkan selama ini sangat berkeinginan untuk menjadikan Istana Karang sebagai simbol peradaban kebudayaan dan sejarah.

Hal tersebut disampaikan Bupati Mursil saat bertemu dengan Anggota Anggota DPD RI asal Aceh, Abdullah Puteh dan ahli waris Kerajaan Karang, Sabtu (28/12/2019) kemarin.

Bahkan, pada pertemuan yang berlangsung di ruang utama Istana Karang tersebut Bupati Mursil mengaku sudah tiga kali ke Pertamina bagian aset di Jakarta dalam upaya meminta dikembalikan Istana Karang ke aset pemda, namun masih terhambat oleh regulasi.

Perwakilan dari ahli waris istana, Tengku Haris, mengapresiasi perjuangan yang dilakukan Bupati Mursil dan memberikan dukungan sepenuhnya terhadap upaya Pemkab Aceh Tamiang untuk menjadikan Istana Karang sebagai pusat sejarah dan budaya Tamiang.

Sementara itu, Anggota DPD RI asal Aceh, Abdullah Puteh menilai Istana Karang sangat berpotensi menjadi daya tarik wisatawan, bila dikelola dengan baik. 

Puteh yang menjabat Wakil Ketua Komite II DPD RI memang fokus membenahi perekonomian di daerah. Agar tak salah dalam 'menjemput' anggaran ke pusat, Puteh mengaku akan terlebih dahulu mencoba melihat dan mendengarkan potensi yang bisa diusulkan ke masing-masing kementerian. 

"Komite saya bermitra dengan sepuluh kementerian. Ini harus dioptimalkan, termasuk perawatan Istana Karang. Ini ada biayanya," ujar Puteh.

Lebih jauh dia mengatakan, Istana Karang nantinya tidak hanya menumbuhkan perekonomian masyarakat, tapi juga sebagai rujukan generasi muda untuk menelusuri sejarah kehidupan Bumi Muda Sedia di masa lampau.

Sejumlah data yang dihimpun LintasAstjeh.com, diketahui bahwa eks Istana Kerajaan Karang', terletak di Jalan Haji Juanda (Jalan Lintas Medan-Banda Aceh), tepatnya di Dusun Istana, Kampung Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru.

Istana yang bergaya bangunan Belanda tersebut dibangun oleh Raja Karang X (terakhir), T Mohd Arifin pada tahun 1927 lalu. 

Raja Karang X mangkat tahun 1962, kemudian pada tahun 1963 oleh ahli warisnya menjual Istana Karang kepada Almarhum H. Abdul Azis Karim, selaku pemilik PT Sumber Asih waktu itu.

Akibat dari pengeboran sumur KSB-54, di Kampung Dalam, Kecamatan Karang Baru, pada tahun 1997 lalu, terjadi blow out (semburan minyak/gas setelah terjadi ledakan) sehingga puluhan rumah penduduk di sekitar sumur mengalami kerusakan, bahkan ada rumah yang tenggelam ditelan bumi.

Peristiwa blow out juga mengakibatkan rusaknya bangunan Istana Karang, yang akhirnya pada 13 April 2000 lalu, pihak Pertamina melakukan pembayaran ganti rugi kepada pemilik eks Istana Karang, yakni ahli waris Alm H. Abd Azis dengan nilai sebesar Rp. 1,8 Miliar.

Lalu pada tanggal 24 Desember 2014, PT Pertamina yang diwakili Manager Divestasi PT Pertamina (Persero) Tri Sutanti Martaningsih menyerahkan kembali Istana Karang kepada Pemkab Aceh Tamiang melalui Bupati H. Hamdan Sati ST.

Ternyata penyerahan tersebut menimbulkan persoalan baru bagi Pemkab Aceh Tamiang, yang hingga kini belum terselesaikan, yakni saat prosesi penyerahan Istana Karang oleh Pertamina harus disertai biaya pengembalian anggaran dari Pemkab Aceh Tamiang kepada pihak Pertamina mencapai Rp. 4,5 miliar.

Namun saat acara penyerahan yang diiringi acara adat dengan digelarnya pentas berbagai kesenian khas Aceh Tamiang tersebut tidak pernah diungkapkan secara transparan ke publik oleh pihak Pemkab Aceh Tamiang maupun pihak Pertamina.

Semenjak itu, anggaran sebesar Rp. 4,5 miliar menjadi hutang Pemkab Aceh Tamiang, dan kemudian Pemkab Aceh Tamiang melalui Disbudparpora yang saat itu dikepalai oleh Yetno S.Pd, mengajukan anggaran untuk pembayaran utang daerah kepada DPRK Aceh Tamiang, namun pengajuan tersebut dinolkan oleh DPRK Aceh Tamiang. 

Proses penyerahan Istana Karang yang tidak terbuka antara pihak pertamina dengan Pemkab Aceh Tamiang saat itu, telah mengakibatkan kondisi Istana Karang yang disepakati untuk cagar budaya kembali menuai banyak masalah, dan akhirnya terlantar karena tidak terurus.[ZF]
Komentar

Tampilkan

Terkini