-->








GNPHI Aceh: Miris dengan Kasus Pemukulan Perawat di Aceh Timur

12 Desember, 2019, 11.52 WIB Last Updated 2019-12-12T04:53:52Z
BANDA ACEHDalam profesi keperawatan semua tindakan yang diberikan kepada pasien yang sedang dirawat memiliki Standart Operasional Pelaksanaan (SOP) yang jelas, bukan berdasarkan pemikiran dan seenaknya perawat saja dalam melakukan tindakan keperawatan. Termasuk dalam memberikan informasi, edukasi kapada pasien. 

Jadi, sangat miris dengan adanya berita tentang dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat publik karena tidak sepatutnya melalukan tindakan kekerasan fisik.

Hal ini merupakan penggalan rilis resmi Anita Safitri selaku Devisi Hukum dan Diplomasi Gerakan Perawat Honorer Indonesia (GNPHI) Provinsi Aceh, yang diterima redaksi LintasAtjeh.com, Kamis (12/12/2019).

Sebelumnya diberitakan tentang adanya dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh Wakil Bupati Aceh Timur terhadap seorang perawat di RSUD SAAS, yang di-posting akun Facebook  Said Faisal Al-Idrus, Rabu (11/12/2019).

Berikut kutipan lengkap pernyataan Anita Safitri selaku Devisi Hukum dan Diplomasi Gerakan Perawat Honorer Indonesia (GNPHI) Provinsi Aceh, menyikapi kasus tersebut:

Tulisan ini ditulis bukan saja karena saya tergabung dalam forum resmi yang bergerak dan meperjuangkan nasib perawat Non PNS akan tetapi saya tergerk atas nama profesi yang saya geluti sejak hampir 15 belas tahun yang lalu. Profesi perawat salah satu profesi yang diakui oleh negara terhadap lisensi pelayanan yang akan diberikan kepada pasien yang membutuhkan.

Dalam profesi keperawatan semua tindakan yang diberikan kepada pasien yang sedang dirawat memiliki Standart Operasional Pelaksanaan (SOP) yang jelas, bukan berdasarkan pemikiran dan seenaknya perawat saja dalam melakukan tindakan keperawatan. Termasuk dalam memberikan informasi, edukasi kapada pasien. Semarah dan sesalah apapun penyampaian yang dilakukan tidak sepatutnya melalukan tindakan kekerasan fisik apa lagi sampai menendang seseorang.

Saya secara pribadi dan kami secara keseluruhan pengurus GNPHI (Gerakan National Perawat Honorer Indonesia ) Aceh sangat menyayangan terhadap kejadian yang menimpa sejawat kami di kabupaten Aceh Timur tersebut. Hal serupa juga pernah terjadi tahun lalu yng menimpa perawat di kota langsa, ini semakin meruncingkan pemikiran kita bahwa ada yang tidak beres dengan emosi para pejabat kita sehingga tidak bisa membendung emosi secara maksimal.

Saya miris melihat kasus ini dari sudut pandang psikologis dan kultur budaya, bukan dari aspek hukum atau sebagainya karena hukum hanya boleh dikupas oleh Ahli hukum . Secara psikologis seharunya pada usia dewasa kita sudah mampu menekan emosi yang kita rasakan dan sudah mampu mengelola emosi itu dengan baik. Karena pengelolaan emosi yang tidak baik akan mengakibatkan hal- hal yang buruk untuk diri kita dan juga orang lain. 

Secara kultur budaya, aceh adalah sebuah daerah yng mendapat julukan serambi mekkah dan di akui oleh seluruh dunia tempat lahirnya para ulama. Marwah tanah rencong terlalu hina bila di kotori oleh tindakan pribadi yang terekpos secara global.

Hemat saya, hal ini seharusnya bisa di hindari apabila Semua Aparatur Negara memiliki pemahaman konsep yang sama terhadap pelayanan publik. Pelayanan publik bukan saja milik pemerintah daerah akan tetapi hak pakai untuk seluruh masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Dan sebagai rumah sakit yang sudah terakreditasi tentunnya mereka memiliki alur yang jelas dalam memberikan pelayanan. Unit Gawat Darurat tentunya memiliki prosedur yang harus di ikuti oleh seluruh pemakai jasa yang berkunjung ke Rumah Sakit termasuk pejabat apabila membutuhkan.

Tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat daerah yang seharusnya mengayomi dan memberikan perlindungan hukum kapada masyarakat bahkan melalukan kekerasan secara fisik kepada salah satu perawat di Rumah Sakit Daerah Sultan Abdul Azissyah. Tidak bisa kita pungkiri hal ini aka berdampak negatif terhadap korban, secara psikologis seseorang yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan akan mengalami trauma dan bahkan bisa menuju ke arah depresi.

Kami secara profesional sangat berduka dengan kejadian ini dan lagi-lagi perawat dalam balutan profesi menangis dalam diam. Kami juga sudah menduga ujung dari penyelesain kasus ini adalah perdamain dan pemintaan maaf. Apakah ini menjamin trauma korban terobati? Apakah ini menjamin hati profesi kami bisa menerima? Entah apa yang merasuki bapak wakil bupati tersebut.

Dengan adanya kasus ini kami menghimbau agar selektif calon pejabat dapat dilakukan dengan seksama, salah satu persyaratan yang harus dilengkapi adalah hasil tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory ). Tes ini akan menjawab tentang kesiapan dan kestabilan emosi seseorang apakah layak untuk mendapatkan beban kerja atau tidak. 

Dan bahkan test ini juga bisa menunjukkan apakah seseorang sehat secara spikologis atau mengalami gangguan jiwa. Mungkin ini salah satu dari syarat yang di anggap tidak begitu berperan dalam kelengkapan administrasi, akan tetapi ini sangat berpengaruh untuk waktu kerja lima tahun dalam jabatan.

Kalau kita membaca kronologis kejadian yang tertulis dalam BAP singkat, dapat kita simpulkan bahwa bapak wakil bupati sedang butuh istirahat dan pengobatan instensif. Namun sepertinya beliu salah memilih rumah sakit untuk hal tersebut, kami yang juga perawat jiwa  sepertiya lebih berkompetensi untuk melakukan perawatan dan asuhan keperawatan keadaan beliau. 

Salam sehat jiwa, tantrum milik anak-anak yang belum bisa menyampaikan keinginannya, bila orang dewasa masih tantrum hanya personal yang tahu sebab dan akibatnya.[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini