-->








Kecewa, Aceh Selatan Tidak Membuka Peluang Kursi Panas Untuk Perempuan

18 Desember, 2019, 11.22 WIB Last Updated 2019-12-18T04:22:23Z
PEREMPUAN sering dijadikan sebagai kambing hitam pecobaan politik di Indonesia. Bahkan hanya menjadi pelengkap kuota dalam parlemen politik semata. Keterwakilan politik perempuan sangat tidak memadai di tingkat manapun, selalu menjadi permasalahan dikarenakan perempuan sering dipandang sebelah mata oleh oknum politik yang bedebah. Ketidakdilan terhadap perempuan sudah lama berjalan dari abad-abad yang telah terdahulu, tidak terbebasnya perempuan di kalangan manapun. 

Seperti di Afghanistan perempuan selalu diperlakukan keras, tidak membebaskan kaum perempuan berkecimpung dalam bidang manapun bahkan tidak diperbolehkan ikut serta dalam pemilu. Jika hal ini tidak diatasi oleh pemerintah pusat maka porsi perempuan untuk terjun ke dunia politik akan semakin minim bahkan akan memudahkan terhapusnya persyaratan adanya 30% keterwakilan perempuan di partai politik tersebut. 

Seperti halnya Aceh Selatan, tidak sama sekali memberi kursi parlemen untuk perempuan. Lalu, sudah pantaskah negara ini disebut negara yang berdemokrasi? Sedangkan tidak adil memberi hak kewenangan kepada perempuan. Pada Pilkada 2018 di Aceh Selatan yang lalu, Bakal Calon (Balon) Bupati dan Wakil Bupati tidak memberi kesempatan kepada keterwakilan perempuan untuk mencalonkan sebagai bupati atau wakil bupati dari keseluruhan pasangan calon tersebut. 

Daerah Kota Naga yang berlegenda Tuan Tapa ini memiliki luas 3.841,60 km2, memiliki 18 kecamatan dan 260 desa atau gampong. Penduduk Aceh Selatan dipadatkan dengan keberagaman suku baik itu suku Kluet, Aceh dan Jamee. Penduduk perempuan di Aceh Selatan sebanyak 106.535 sedangkan penduduk laki-lakinya 103.536 jiwa, disini bisa dilihat studi banding bahwasanya penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki di Aceh Selatan. 

Sering sekali dianggap lemah, perempuan di Aceh Selatan juga tidak diberi kesertaan yang diakui keterwakilannya. Lebih puluhan calon legislatif perempuan yang berupaya ikut serta dalam partisipasi di parlemen tingkat kabupaten (DPRK), namun kesempatan untuk perempuan kembali tidak diberikan peluang. 30 anggota DPRK sudah dilantik pada tanggal 2 september 2019 yang lalu, 27 orang keterwakilan laki-laki sedangkan keterwakilan perempuan hanya sedikit 3 orang. Dimana 30%  keterwakilan perempuan di Aceh selatan tersebut?

Dalam sebuah penelitian yang mempertanyakan, seberapa kenal masyarakat Aceh terhadap caleg perempuan, menunjukkan hanya sedikit yang dikenal. Pada umumnya nama-nama yang sudah tekenal sebelum mencalonkan diri sebagai anggota dewan seperti Darwati A. Gani, istri dari gubernur Aceh non aktif Irwandi Yusuf, dan Illiza Sa'aduddin Djamal, Mantan Wali Kota Banda Aceh periode 2014-2017. Caleg yang diusung partai politik hanya sekedar untuk memenuhi kuota, padahal seharusnya perempuan harus bisa tampil di dunia politik serta jenjang pekerjaan apapun, harus menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai, sehingga memiliki peran penting dan mampu bersaing dengan kaum laki-laki.

Permasalahan tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan di dunia politik Aceh Selatan, disebabkan munculnya sikap ketidakpercayaan pemilih terhadap kepemimpinan perempuan, karena dalam pandangan kaum laki-laki perempuan hanya mampu di bidang dapur, sumur kasur saja. Disini juga ditemui kasus bahwasanya kaum perempuan justru enggan memilih caleg perempuan, serta lebih yakin kepada kepemimpinan laki-laki, termasuk ketidak seriusan partai politik dalam menyiapkan kader perempuan. 

Faktor lain juga disebabkan karena adanya budaya Parthiarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama, dan perbedaan pemahaman agama tehadap kepemimpinan perempuan. Solusi yang bisa diterapkan dalam kasus kekecewaan ini yaitu dengan mengedepankan konsep kesetaraan atau keadilan gender, bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara, dan tidak yang bersifat kodrati. Sementara dalam perspektif agama selama tidak bertentangan dengan persoalan akidah, perempuan dibolehkan untuk terlibat dalam politik maupun bidang lainnya.

Penulis: Zarmiati (Sekbid Infokom, Mahasiswi Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Salah Satu Masyarakat Aceh Selatan)
Komentar

Tampilkan

Terkini