KSAU Komodor Suryadi Suryadarma (kanan) bersama Jenderal Bo Ne Win (tengah), dan Maryunani, perwakilan Republik Indonesia di Burma (kini Myanmar). Foto: Dok. Adityawarman Suryadarma.
Militer Myanmar menyewa pesawat Indonesia untuk memadamkan pemberontakan suku Karen.
Oleh: Randy Wirayudha
PADA 1948 pemerintah Indonesia membeli pesawat angkut Dakota DC-47 dengan sumbangan dari masyarakat Aceh. Sebagai pesawat kepresidenan, pesawat ini diberi nomor registrasi RI-001 dan dinamakan Seulawah artinya gunung emas untuk menghomati rakyat Aceh. Pesawat ini pernah digunakan menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi, dan obat-obatan dari Burma (kini Myanmar) ke Pangkalan Udara Blangbintang dan Loknga, Aceh. Pesawat ini kemudian punya kisah sendiri di Burma.
Pada Desember 1948, pesawat RI-001 berada di India untuk menjalani overhaul (pemeriksaan/perbaikan) mesin dan pemasangan long range tank (tangki bahan bakar jarak jauh). Namun, pesawat ini tidak bisa kembali ke Indonesia karena Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Akhirnya, pesawat ini dioperasikan sebagai penerbangan sipil di luar negeri. Namun, pemerintah India tidak memberikan izin karena sudah memiliki Indian National Airways.
Menurut Irna HN Hadi Soewito, dkk. dalam Awal Kedirgantaraan Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950, pada Januari 1949, Maryunani, kepala perwakilan Indonesia di Myanmar, mememberi tahu bahwa pemerintah Burma membutuhkan pesawat angkut untuk operasi memadamkan pemberontakan golongan kiri (The White Flag People Volunteers Organization) dan golongan ekstrem kanan, suku Karen di perbukitan.
"Berhubung kedudukan para pemberontak sangat sulit dicapai dengan jalan darat, maka keberadaan angkatan udara sangat diharapkan. Pada 20 Januari 1949 semua perbaikan dan penyempurnaan pesawat RI-001 Seulawah selesai dan di waktu yang sama, izin untuk terbang di wilayah Burma keluar," tulis Irna.
Pada 26 Januari 1949, pesawat RI-001 Seulawah diterbangkan dari Kalkuta menuju Rangoon (kini Yangon) dengan dipiloti Kapten James Maupin, kopilot Sutardjo Sigit, operator radio Sumarno dan teknisi Wallace Casselberry dengan mengikut sertakan Wiweko Supono, Sudaryono dan Ali Algadri, staf perwakilan Republik Indonesia di Myanmar.
Berkat bantuan U Maung-Maung, mahasiswa dan redaktur surat kabar The Rangoon Post, pesawat RI-001 Seulawah mendapat izin terbang dan izin usaha dengan badan usaha bernama Indonesian Airways. Kantor dan mess para awaknya bertempat di Thamwee Road 30, Rangoon yang sedianya merupakan kantor perwakilan Republik Indonesia di Myanmar.
Pesawat RI-001 Seulawah disewa oleh Union of Burma Airways dan berada di bawah wewenang skadron angkut Angkatan Udara Myanmar. Tidak hanya untuk mengangkut logistik, tentara, namun juga membawa pemimpin Myanmar dengan tarif 10 Rupee per mil. Sebut saja Perdana Menteri Thakin Nu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Bo Ne Win, Menteri Pertahanan U Win, Menteri Penerangan Myanmar U Tan Pa, hingga Menteri Pendidikan dan Direktur Penerbangan Sipil Bo Se Cha dalam beragam agenda inspeksi dan konsolidasi.
Tidak jarang pula saran tembak senapan mesin hingga meriam penangkis serangan udara pemberontak Karen di perbatasan Myanmar-China yang disokong CIA (Badan Intelijen Amerika Serikat).
Tembakan itu tidak hanya melubangi beberapa bagian badan pesawat. Bahkan, awak operator radio, Sumarno terkena tembakan ketika pesawat mendarat di Lapangan Udara Mingladon, Rangoon. Tidak kapok, Indonesian Airways justru menambah satu armadanya yaitu Dakota C-47 bernomor registrai RI-007 yang dibeli dari Hong Kong.
Dengan bertambahnya awak pesawat, mess dan kantor Indonesian Airways pindah ke Ady Road 6. Mess dan kantor itu dijuluki "The Eagle's Nest" atau Sarang Rajawali. Keuntungan Indonesian Airways tidak hanya bisa membiayai diri sendiri, tapi juga membiayai pendidikan para kadet AURI di India dan Filipina.
Indonesian Airways berhenti beroperasi di Myanmar setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda dan pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Mereka pulang dan tiba di Pangkalan Udara Andir, Bandung (kini Lanud Husein Sastranegara) pada 3 Agustus 1950.
Lewat Surat Perintah KSAU No. 493 tanggal 7 Agustus 1950, pesawat RI-001 Seulawah dileburkan ke Skadron II Transpor kemudian digabungkan ke Dinas Angkatan Udara Militer (DAUM) dengan tugas pengangkutan logistik ke wilayah-wilayah terpencil.
Baru sembilan hari rombongan pesawat RI-001 Seulawah tiba di Pangkalan Udara Andir, datang surat tagihan pajak dari Myanmar. Pemerintah Myanmar menyatakan Indonesian Airways masih punya utang sekitar 235-477 ribu Rupee selama beroperasi di Myanmar sepanjang tahun 1949. Angka itu melebihi harga satu unit pesawat Dakota.
"KSAU Komodor Suryadi Suryadarma mengirim surat kepada Jenderal Bo Ne Win. Misinya permohonan keringanan utang pajak, sekaligus menawarkan pesawat RI-007 (yang masih ada di Rangoon) sebagai pembayaran utang Indonesian Airways kepada pemerintah Burma," kata Adityawarman Suryadarma dalam biografi ayahnya, Suryadi Suryadarma: Bapak Angkatan Udara.
Harga pesawat RI-007 hanya 190 ribu Rupee tidak cukup untuk membayar utang pajak. Namun, hubungan baik Indonesia-Burma membuat Jenderal Bo Ne Win mengabulkan permohonan keringanan dan penyelesaian utang pajak tersebut.
Suryadi Suryadarma secara resmi menyerahkan pesawat RI-007 kepada pemerintah Burma yang diwakili Menteri Pertahanan Myanmar U Win di Lapangan Terbang Mingadon, Rangoon, pada 31 Oktober 1950.
Suryadi Suryadarma sempat bertanya kepada Jenderal Ne Win kenapa memberi izin usaha kepada Indonesian Airways untuk memadamkan pemberontakan suku Karen ketimbang maskapai Asia lainnya?
Jenderal Bo Ne Win menjawab karena Indonesian Airways satu-satunya maskapai di Asia yang manajemennya tidak dipegang perusahaan-perusahaan barat. Oleh karenanya, kerahasiaan gerakan pasukan Myanmar akan terus terjaga dan terhindar dari segala hal yang berkaitan dengan CIA dan sekutu-sekutu baratnya.[HistoriA]